Senin, 07 Juni 2010

SAJAK-SAJAK Indrian Koto

Lampungpost, Minggu, 6 Juni 2010

SENI BUDAYA


Dirimu yang Tak Pulang

Akan kuberikan semua yang kau minta. Tak ada yang kuambil darimu

selain kenangan. Aku khawatir kau membuangnya di jalan. Ketika

kau merindukannya, aku masih punya. Percayalah, hidup hanyalah

lingkaran kecil yang itu-itu juga.

Kukembalikan semua yang pernah kuambil. Tak ada yang kusembunyikan darimu

selain ingatan. Aku khawatir masa lalu tumbuh besar di musim hujan.

Kau akan terjerat oleh akar-akarnya, hingga tak bisa ke mana-mana. Percayalah, dunia

hanyalah bulatan sederhana yang memulangkanmu ke jalan yang sama.

Telah kuberikan semuanya. Telah kukembalikan seluruhnya. Apa yang pernah kuambil,

apa yang sempat kau pinta. Keseluruhan yang merupakan dirimu yang tak pulang.

2009


Doa Selamat

masih adakah yang mendoakan aku kini?

setiap kali tersesat aku menemukan jalan untuk kembali

menemukan ia yang tengadah kepada tuhan

siapakah lagi yang mendoakan aku dengan sungguh

menggantikan ibu yang nyaris habis batang tubuhnya

untuk segala yang kuambil, untuk semua doa yang kuborong

aku menginginkan sebuah doa

dari seseorang selain ibu, seperti dulu

—yang aku yakini benar akan adanya—

untuk seluruh diriku yang pencemas

untuk seluruh pulang yang melulu gamang

agar aku tak ragu untuk menyeberang

selamatkan aku dari fitnah

dengan doamu yang tulus dan diam-diam

meski tak kutemukan dirimu sedang tengadah

ketika aku selamat pulang

2009


Hujan Kecil

sebagai hujan telah ia maklumi takdirnya

-lenyap sebelum sampai lautan.

"hujan sialan," jerit seorang gadis

dari jendela kamarnya, membayangkan

kencan yang barangkali berantakan.

hujan sialan katanya. inilah yang

ia susahkan dari putaran takdir
:satu berkehendak, yang lain menolak.

padahal sebagai hujan

ia maklumi nasib buruknya;

mengulang-ulang itu kisah

dari langit kembali ke langit

dari laut berhasrat ke laut

dari yang banyak ke tiada.

betapa payah ia mengangkut

ingatan demi ingatan.

kesedihan menggayut di tetesnya yang kecil

kenangan selalu begitu tak mau jauh, tak pernah jemu
:padang hijau, rumah tenggelam, tanah retak,

hutan merana, ember kecil

dan ludah si jalang itu

padahal sebagai hujan

telah ia maklumi takdirnya

sejak mula.

des 08


tersebab rindu

sebab rindu tak memiliki pintu

kau boleh memasukinya dari arah mana pun

salipkan aku kekasih, di hatimu

agar tak ada lagi yang pergi

sesiang ini, di kota yang ramai ini

orang-orang hibuk dengan diri sendiri

dan enggan berbagi dingin

aku tak berani keluar rumah

tak bisa ke mana-mana

lalu jika kau pergi, aku bisa menguntit diam-diam

aku ingin melihat keramaian

tanpa terlihat siapa pun

di hatimu, di hatimu

kutemukan tempat ternyaman untuk

berbagi rindu dan rasa sepi

jangan biarkan dirimu kosong

orang-orang, dengan kesibukan yang monoton

menyembunyikan sepi di ketiaknya

sedang dingin mengepung kita dari sudut mana pun

matahari, matahari menumpangkan lemari es

di kulit kita yang gosong

garam telah diangkut laut ke muara jauh

sebab rindu tak memiliki pintu

biarkan aku sembunyi di hatimu

di luar, terlalu menakutkan

dan aku tak ingin berbagi rasa dingin dengan siapa pun

mungkin juga denganmu, sebenarnya

yogyakarta, 2009

tubuh api

tubuhku adalah api

yang berhadapan denganku

bertarung dengan matahari

diriku menyala-nyala

setiap peristiwa, setiap ingatan

terbakar di kepalaku yang sempit

dadaku telah lama hangus

tulang-tulangku adalah gugusan kayu api

darahku sumber kemarahan

yang terpancar di setiap kata dan tindakan

jika kau menatap mataku

kau akan terbakar oleh amarah

yang tercipta dengan sendirinya

sampai kau tak ada dalam diriku

tubuhku adalah api yang penuh marah;

jari, kuku, rambut,

leher, cuping telinga, hidung, gigi dan lidah

anak-anak api yang menyambar-nyambar

kau yang bermain-main dengan korek dan minyak

bersiaplah untuk terbakar

tinggalkan aku sendirian

atau kau akan musnah bersama diriku

api ini adalah dendam

yang tersusun sedemikian rupa

betapa tipisnya batas antara rindu dan dendam

betapa dekatnya sayang dengan api

kau akan terbakar

setiap kali menatapku, kini

januari 2009

Indrian Koto, lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, kampung kecil di Pesisir Selatan Sumatera Barat. Menyukai sastra dan terus belajar mendalaminya. Mahasiswa Sosiologi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif di Rumahlebah Yogyakarta dan Rumah Poetika. Beberapa tulisannya berupa cerpen dan puisi dipublikasikan di media massa, juga termuat dalam beberapa antologi bersama.