Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 25 Juli 2010 |
Asrina Novianti Ciumanmu aku lengkapkan cuaca seperti terus kuburu dirimu di sepanjang musim tahun-tahun yang sengat berteduh di hutan lebat merasakan aliran tubuhmu semacam sengat yang menjerat semua gemuruh memburu lelah tubuh tapi hari teduh bibirmu tak mau jauh mengumpulkan segenap rapuh lumpuh dan jenuh aku lengkapkan dirimu menuliskan sebuah agenda tentang rencana menghapus semua tangis yang luntur dari pipimu mengiris bayangan hari amis orang-orang bergegas tergesa mengisap diri masing-masing terlalu asing seperti layar bergerak di menit ini mendekap segala sunyi di pojokan ruang tersembunyi getar hujan dingin menyemai nyali dan kenangan serupa derap langkah pendemo bergerak dari bibirmu yang terus mengisap padahal aku ingin menggoda dengan sekelumit harap yang mungkin bisa kelebat dari masalalumu /Jakarta 2010 Ke Laut teduh biru bayangan angin mengibar angan di tiang-tiang sunyi tentang kita tapi air garam tak kunjung berkabar semua kisah terbuka lalu tak ditutup dengan bahagia jangkar kapal bunyi peluit menanam wangsit dengan semacam angan mengembara ke teduh biru ke laut /2010 Teduh Hujan yang kau tebak cuma mendung nyatanya hujan yang mampir dan kau berteduh di bawahnya mengingat anak-anak juga lelakimu betapa jauh sudah kenangan melintas sebagaimana genang hujan mengalir di relung-relung jalan harimu juga hatimu yang kau bagi di bawah hujan tubuhmu menjelma jadi payung melupakan murung begitu ramainya hatimu seperti riak hujan membasah itu /2010 Laela Awalia Bahasa Kita : RinduApa kabarmu, rama? Dari beranda rumahku, hujan mulai menyapa Sama seperti senja kala itu Ketika masing-masing kita hanya punya satu bahasa : kau bilang itu cintaBagiku, rama Kita hanya bisa melafalkan cinta tanpa pernah bisa menerjemahkannya Sama seperti hujan kali ini Kita hanya bisa merasakannya sebagai luruhan doa-doa Tanpa pernah bisa menerjemahkan tiap rintik yang jatuh di gigil daun dan pucuk rumput Apa kabarmu, rama? Dari beranda rumahku, hujan mulai menyapa Sama seperti senja kala itu Tapi kini kita punya dua bahasa : cinta : rinduPalembang, 25 Juni 2010 Dari Jhon : kepada perempuanAku hanya ingin kau : perempuan berambut ikal panjang yang memilih hujan sebagai kenanganbukan sebagai anugrah yang diberikan tuhan lewat kumpulan awan aku hanya ingin kau : perempuan bermata kelereng yang memilih senja sebagai pajanganbukan sebagai tirai yang menutup hari penuh kelelahan padahal puas sudah kau berteman dengan mentari sepanjang pagi dan siang tadi aku hanya ingin kau : perempuan.Palembang, 6 Juli 2010 Merindumu : RanMerindumu, Ran, adalah denyut yang tak pernah hilang dari nadiku kau mungkin tak pernah tahu aku telah mengenali hujan dari matamu yang basah sore itu ketika ku bilang jangan pernah merinduku untuk satu masa setelah ini aku tak berani menatap mata yang bening sebagai telaga pada wajahmu sungguh merindumu, ran, adalah sebuah napas yang kini mulai tersendat sebab air mata yang menyesakkan merindumu, ran, adalah butir-butir doa yang kukumpulkan tiap detik waktu kau mungkin tak pernah tahu aku telah memahat wajahmu di sekeliling dinding yang mengungkungku kian dalam tiap detiknya dinding senyap yang makin beku tanpa tawamu merindumu, ran, adalah malam-malam lambat yang terasa diam menjangkau pagi kau mungkin tak pernah tahu aku telah menganggapmu pagi yang menebarkan embun pada tiap helai daun dan kelopak bunga ilalang merindumu, ran, adalah air mata yang kian menggumpal di pelupuk mata entah sampai kapan akan tertuang Palembang, 6 Juli 2010 ------ Asrina Novianti, lahir di Lahat, 11 November 1980. Alumnus Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Lampung saat ini berdomisili di Jakarta. Tulisan berupa puisi, opini, dan resensi buku dimuat di berbagai media. Salah satu sajaknya Tenung Asmara Telukbetung menjadi nominasi Krakatau Award 2006 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Lampung (DKL). Laela Awalia, lahir di Natar, Lampung, 5 April 1986. Cerpen dan sajak-sajak anggota Forum Lingkar Pena (FLP) ini dimuat berbagai media. |