Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 18 Juli 2010
Secangkir Kopi dan Bunga Putih
Akan kutaburkan sejuta mawar memenuhi telagamu
Agar kita bisa berenang di antara bunga-bunga
Entah di tepi entah di tengah
Akan kubawakan burung-burung ke atas dermagamu
Agar kita bisa bersenandung seperti sepasang elang
Yang riang menari di antara awan-awan
Akan kutiupkan angin dari bebukitan ke ujung rambutmu
Agar dia bisa membelai matamu yang indah
Dan kita bertatapan sepanjang pagi, siang, dan petang
Mengangkat secangkir kopi
Di antara buket bunga di atas meja
Kau merasakan tawa yang menerobos jendela
"Aku belum mau ke surga
Aku tak suka yang ungu," katamu
Sebuah rindu
Seperti perahu yang dikayuh
Menuju pelabuhan yang jauh
18 Mei 2010
Mata Waktu atau Sajak Rindu (12)
Kau tarik aku ke bola matamu
Sambil berkata, "mari jelajahi waktu"
Aku ragu masuk ke pintu
Yang dulu pernah kugenggam kuncinya
Meski hanya sejenak
Ada lorong
Ada gua
Ada bayangan kepak lelawa
Ada sketsa
Ada remah roti sisa
Yang ditinggalkan para pemburu
"Lihat, itu jejak kakimu"
(kubayangkan kolam air mata)
"Itu kan potretmu"
(terlihat sebuah vas bunga)
Kulangkahi pasir dan tanah
Dengan gumam dan sedikit kata tanya
"Itulah istana yang dulu kuimpikan
Tapi tak sempat kau gambar"
Kulewati batu-batu
Di tengah godaan rasa cemburu
"Mengapa di tamanmu ada bunga layu
Bahkan tupai seperti termangu"
Ternyata kita tak bercakap
--malah seperti berdebat--
Meski tangan sempat bergenggam
Ada danau
Ada siul burung-burung
Ada padang rumput
Dan saung dengan bangku-bangku
“Ini bukan pelabuhan yang kau sangka” katamu
(kutegaskan dalam hati)
Sambil menambahkan
Kita mungkin perlu istirahat
Rebahan menikmati harum kembang
Kulangkahi tumpukan janji
Yang dulu membawamu pergi
Kusibak reranting buaian manis
Yang mengikatmu pada suatu hati
Aku ingin berkata
"Ayo kita menepi
Perjalanan ini seperti takkan berhenti"
Mengapa tak terdengar suara?
Jumat pahing
9 April 2010
Sajak Rindu (8)
Perempuanku,
Akan terus kuraut ujung pinsil ini
Agar selalu dapat menulis puisi
Tentang kamu yang dikurung dingin
Saat malam atau pagi
Kan kujadikan lembar kertas putih
Berisi rayu dan kata-kata manis
Menjadi dinding rumah impian kita
Yang beratap mega
Yang berjendela surga
Berpagar kasih
Berhalaman rindu tak habis
Kau telah terpatri abadi
Dari pertemuan titik demi titik
Yang diterjemahkan jemari
Dari luapan hati
Kau akan terus kuingat
Dengan mengeja kata demi kata
Yang tersusun di tiap sudut bangunan
Agar tak pernah padam
Gelora dan bara cinta
Agar selalu hangat
Ruang-ruang pertemuan kita
Akan terus kutulis puisi
Untuk cinta abadi
Sanur, 3 April 2010
Sajak Rindu (10)
Rindu ini
Bukan kumpulan huruf, permainan kata
Dan perasaan yang dibuat-buat
Rindu ini
Seperti gulungan kabut
Ingatan yang mengurung
Mata basah
Putus asa dan pasrah
Begitu jauh kau disana
Tak ada tangga
Tak ada karcis untuk berjumpa
Atau chatting berbagi rasa
Rindu ini
Adalah hati yang terjaga
Setiap saat, semaunya
Saat melintas di jalan itu
Melihat wajah si bungsu
Membaca coretanmu
Atau foto yang tertawa
Semakin kutanam
Semakin tumbuh
Bahkan seribu tunas
Di setiap halaman hati
Mungkin karena pupuk
Yang 25 tahun kita taburi
Dengan kasih, amarah, limpahan cinta
Rindu inilah
Yang setiap kali menarik
Tiap kali kucoba sembunyi atau berlari
Yang membasuh tiap kali dahaga
Membayangkanmu
Yang membuatku mengira
Mungkinkah kau juga menangis di sana
Negeri yang melulu bahagia
Rindu inilah
Yang menjadikanku bertanya
Jangan-jangan tiap malam kau datang ke ranjang kita
Hingga aku merasa hangat dan bisa nyenyak
Namun begitu pagi ditusuki seribu sepi?
Ah cintaku
Betapa seiring waktu
Aku makin kehilanganmu
2 April 2010
Catatan Senja atau Sajak Rindu (6)
Ini bukan dermaga
Tempat orang bertolak ke pelabuhan tak bernama
Senja muram tanpa kepak camar
Tak kelihatan barang satu kapal
Terkurung amis dan bau asin
Sebab kau hanya bisa termangu
Bukan menunggu
Kau sudah berangkat
Kita berpisah tanpa lambai tangan
Mengucapkan salam
Yang barangkali tak perlu
Karena telah begitu diatur waktu
Yang tertinggal hanya jejak sepatu
Setumpuk kartu, sekotak lagu
Sebetulnya aku tak perlu risau
Setiap saat tokh kita bisa berpegangan
Dan potongan gambar yang sudah lama terrekam
Ada kau, ada taman, ada akasia,
Ada tawa, ada semua
Tapi kau tahu
Aku kerap sulit membedakan
Garis laut dan fatamorgana
Itu sebabnya aku ingin sekadar menyentuhmu
Bilang betapa besar cintaku
Lalu tidur