Minggu, 18 Juli 2010

SAJAK-SAJAK: Hendry Ch. Bangun

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 18 Juli 2010


Secangkir Kopi dan Bunga Putih

Akan kutaburkan sejuta mawar memenuhi telagamu

Agar kita bisa berenang di antara bunga-bunga

Entah di tepi entah di tengah

Akan kubawakan burung-burung ke atas dermagamu

Agar kita bisa bersenandung seperti sepasang elang

Yang riang menari di antara awan-awan

Akan kutiupkan angin dari bebukitan ke ujung rambutmu

Agar dia bisa membelai matamu yang indah

Dan kita bertatapan sepanjang pagi, siang, dan petang

Mengangkat secangkir kopi

Di antara buket bunga di atas meja

Kau merasakan tawa yang menerobos jendela

"Aku belum mau ke surga

Aku tak suka yang ungu," katamu

Sebuah rindu

Seperti perahu yang dikayuh

Menuju pelabuhan yang jauh

18 Mei 2010

Mata Waktu atau Sajak Rindu (12)

Kau tarik aku ke bola matamu

Sambil berkata, "mari jelajahi waktu"

Aku ragu masuk ke pintu

Yang dulu pernah kugenggam kuncinya

Meski hanya sejenak

Ada lorong

Ada gua

Ada bayangan kepak lelawa

Ada sketsa

Ada remah roti sisa

Yang ditinggalkan para pemburu

"Lihat, itu jejak kakimu"

(kubayangkan kolam air mata)

"Itu kan potretmu"

(terlihat sebuah vas bunga)

Kulangkahi pasir dan tanah

Dengan gumam dan sedikit kata tanya

"Itulah istana yang dulu kuimpikan

Tapi tak sempat kau gambar"

Kulewati batu-batu

Di tengah godaan rasa cemburu

"Mengapa di tamanmu ada bunga layu

Bahkan tupai seperti termangu"

Ternyata kita tak bercakap

--malah seperti berdebat--

Meski tangan sempat bergenggam

Ada danau

Ada siul burung-burung

Ada padang rumput

Dan saung dengan bangku-bangku

“Ini bukan pelabuhan yang kau sangka” katamu

(kutegaskan dalam hati)

Sambil menambahkan

Kita mungkin perlu istirahat

Rebahan menikmati harum kembang

Kulangkahi tumpukan janji

Yang dulu membawamu pergi

Kusibak reranting buaian manis

Yang mengikatmu pada suatu hati

Aku ingin berkata

"Ayo kita menepi

Perjalanan ini seperti takkan berhenti"

Mengapa tak terdengar suara?

Jumat pahing

9 April 2010

Sajak Rindu (8)

Perempuanku,

Akan terus kuraut ujung pinsil ini

Agar selalu dapat menulis puisi

Tentang kamu yang dikurung dingin

Saat malam atau pagi

Kan kujadikan lembar kertas putih

Berisi rayu dan kata-kata manis

Menjadi dinding rumah impian kita

Yang beratap mega

Yang berjendela surga

Berpagar kasih

Berhalaman rindu tak habis

Kau telah terpatri abadi

Dari pertemuan titik demi titik

Yang diterjemahkan jemari

Dari luapan hati

Kau akan terus kuingat

Dengan mengeja kata demi kata

Yang tersusun di tiap sudut bangunan

Agar tak pernah padam

Gelora dan bara cinta

Agar selalu hangat

Ruang-ruang pertemuan kita

Akan terus kutulis puisi

Untuk cinta abadi

Sanur, 3 April 2010

Sajak Rindu (10)

Rindu ini

Bukan kumpulan huruf, permainan kata

Dan perasaan yang dibuat-buat

Rindu ini

Seperti gulungan kabut

Ingatan yang mengurung

Mata basah

Putus asa dan pasrah

Begitu jauh kau disana

Tak ada tangga

Tak ada karcis untuk berjumpa

Atau chatting berbagi rasa

Rindu ini

Adalah hati yang terjaga

Setiap saat, semaunya

Saat melintas di jalan itu

Melihat wajah si bungsu

Membaca coretanmu

Atau foto yang tertawa

Semakin kutanam

Semakin tumbuh

Bahkan seribu tunas

Di setiap halaman hati

Mungkin karena pupuk

Yang 25 tahun kita taburi

Dengan kasih, amarah, limpahan cinta

Rindu inilah

Yang setiap kali menarik

Tiap kali kucoba sembunyi atau berlari

Yang membasuh tiap kali dahaga

Membayangkanmu

Yang membuatku mengira

Mungkinkah kau juga menangis di sana

Negeri yang melulu bahagia

Rindu inilah

Yang menjadikanku bertanya

Jangan-jangan tiap malam kau datang ke ranjang kita

Hingga aku merasa hangat dan bisa nyenyak

Namun begitu pagi ditusuki seribu sepi?

Ah cintaku

Betapa seiring waktu

Aku makin kehilanganmu

2 April 2010

Catatan Senja atau Sajak Rindu (6)

Ini bukan dermaga

Tempat orang bertolak ke pelabuhan tak bernama

Senja muram tanpa kepak camar

Tak kelihatan barang satu kapal

Terkurung amis dan bau asin

Sebab kau hanya bisa termangu

Bukan menunggu

Kau sudah berangkat

Kita berpisah tanpa lambai tangan

Mengucapkan salam

Yang barangkali tak perlu

Karena telah begitu diatur waktu

Yang tertinggal hanya jejak sepatu

Setumpuk kartu, sekotak lagu

Sebetulnya aku tak perlu risau

Setiap saat tokh kita bisa berpegangan

Dan potongan gambar yang sudah lama terrekam

Ada kau, ada taman, ada akasia,

Ada tawa, ada semua

Tapi kau tahu

Aku kerap sulit membedakan

Garis laut dan fatamorgana

Itu sebabnya aku ingin sekadar menyentuhmu

Bilang betapa besar cintaku

Lalu tidur