Sabtu, 10 Juli 2010

SAJAK-SAJAK M. Harya Ramdhoni Julizarsyah

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 11 Juli 2010

Dikawinkan Kesumat

: Metri Liya Ramdhoni
pun beliau,

kita berjumpa di sini.

di pinggir jurang tempat

leluhur saling bertempur

hingga nyawa tertumpas.

seratus windu terlampau

berat untuk dikenang.

memaksa setiap cicit

sejenak menengok ke belakang.

menyimak semula riwayat

nenek moyang kami yang

terusir dari tanah mereka sendiri.

delapan ratus tahun kemudian

ku buka kembali catatan ini.

tulisan tangan puyang dalom ratu

sekeghumong dalam huruf ka ga nga.

had lappung itu sempurna

tanggal dimakan masa.

tetapi beruntung masih dapat

ku baca walau

harus terus meraba.

entah berapa ribu tangan telah

membuka wasiat keramat ini;

bau kulit kayu mencandra

kehidupan tak lazim.

pun beliau,

pertemuan kita bukan

cerita cinta

abad dua satu.

bacalah wasiat ini maka,

engkau akan insyaf betapa

perbincangan kita sepatutnya

ialah sebuah riwayat tertunda.

seandainya kau anggap

aku hilang ingatan disebab

imani sebuah surat purba

berusia delapan abad,

maka ku pohon tepikan

alam pikirmu nan kaku.

lembar demi lembar

wasiat ini runtuhkan

hujahmu tentang

kenihilan alam arwah.

lembar demi lembar

surat ini kabarkan

kisah yang tak

sepenuhnya bersemadi

di dalam tambo.

tetapi baiklah pun beliau.

aku tak hendak

memaksamu mempercayaiku.

ku hormati hakmu

mendakwaku penipu.

namun dengarlah wahai

lelaki yang ku cinta

sepenuh hati,

betapa percintaan kita

telah dinujumkan sebelumnya.

kita ditakdirkan ke dunia

sebagai peluruh segala

dendam yang pernah singgah.

tahukah engkau bahwa

di pundakku memanggul

beban masa lalu

yang tak dapat ku pikul?

cerita tentang orangorang

yang dikalahkan oleh

para pendatang.

kisah nenek moyang kami

yang terusir dari

rumah mereka sendiri.

lalu mereka harus

telah nista ini :

beralih Tuhan atau

terbunuh demi keyakinan.

orangorang pemberani

memilih mati sebagai

makhluk dewata yang taat.

sementara para pecundang

memeluk ajaran baru

tanpa sepenuh hati.

engkau mungkin pernah

mendengar riwayat nenek

moyang kami yang

tak sudi berserah

kepada Tuhan,

yang menurut mereka,

tak pernah satu.

mereka lompati jurang

di bawah tempat

kita berkencan.

“lebih baik mati

daripada menghamba

di bawah duli Tuhanmu

yang tak nampak”,

begitulah prajurit

tumi pernah berujar.

dan kau pun beliau,

adalah serbuksari

lelakilelaki

penyamun yang mengusir

nenek moyangku dari

kampung halaman sendiri.

persekutuan jahat dari

utara yang memungut

ajaran dari negeri

entah dimana.

alkisah datanglah

empat lelaki.

mereka bermunculan dari

rerimbun pokok manau.

sungging senyumnya jumawa.

ketepikan dewa dewi

leluhurku di tanah sekala.

duhai empat lelaki jumawa,

kalian tentang segala

dewa sesembahan rakyatku.

“jangan kau usik dewa dewi

kami apabila hendak kau

agungkan tuhanmu yang suci”,

seorang tetua pernah

berucap kepada

keempat moyangmu.

namun keempat lelaki

ini berwatak nyinyir

serupa beruk tertawa geli.

mereka umpat dewa dewi

pujaan leluhurku.

mulanya bisikbisik tak

kentara lalu serupa

ejekan yang tak jelas.

hingga suatu waktu yang

tepat mereka tuntaskan

hinaan tak termaafkan

kepada dewa dewi

penguasa kahyangan.

di suatu pagi yang gerah,

mereka tebang

melasa kepappang.

mereka duduki pokok

sesembahan leluhur kami

sambil bersabda lantang :

“wahai rakyat

sekala bgha,

sembahlah Allah kami

yang satu!”

sebuah tamadun

pun tumpas.

lesap satu adab orangorang

dari selatan setelah

kalah bertarung

melawan gerombolan

petualang dari utara.

kisah yang tak boleh

hinggap di telinga

anakku kelak.

pun beliau,

biarkan riwayat

keberanian pengawal

setia puyangku menjadi

teman kembara ke alam mimpi.

biarkan lesap bersama

angin watak

lanun moyangmu

yang berlagak suci.

disini kita selesaikan

perhitungan ini.

mari kita hitung bersama

segala kesumat yang

membakar segala

sumber kehidupan.

beban yang ku panggul,

bebanmu jua.

mimpi yang ku tanak

tak lain adalah mimpimu.

mendekatlah di sampingku,

pun beliau.

lingkarkan tangan

kekarmu di pundakku.

bacalah nujum puyang

dalom ratu sekeghumong

dengan sepenuh

cinta yang kita punya.

kecuplah bibirku sepenuh

rasa sebelum kembara membawa

kita menuju ranah berantah

ratu,

sejak semula nafasmu

semerbak harum

bebutir lada.

kembara orangorang

menuju selatan yang

datang dan pergi karena

pertarungan kuasa.

sejak semula wangi

darahmu siratkan

drama yang ganjil.

tentang tualang

orangorang barbar

penghuni lembah

tak berdasar.

sejak semula kita

telah dikawinkan.

oleh kesumat

penyembah berhala.

oleh kebencian

penyebar risalah.

Jambi-Hentian Kajang, Malaysia, 14-15 Juli 2009 & 2 Agustus 2009

-----

M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Juli 1981. Kandidat PhD Ilmu Politik di Universitas Kebangsaan Malaysia ini merupakan staf Pengajar FISIP Universitas Lampung. Saat ini ia sedang mengikuti Fellowship Program pada Asian Graduate Fellowships Program di National University of Singapore.