Sabtu, 08 Januari 2011

Sajak-Sajak Heri Maja Kelana

Kampung Daun

kampung daun, aku datang

membaca garis wajahmu

serta seruling mistik

dan perempuan yang mandi di kali

kau ajak aku berkelana lewat mata bocah

mata yang polos seperti kampung daun

di sini, aku tak perlu membaca buku filsafat

atau koran pagi

di sini, aku tak perlu komputer atau handpone

di sini, aku hanya butuh ubi dan semacamnya

aku tak bisa berkata

sedang langit menuju senja

menemu asonansi pada kepulangan bapak desa

aku tak pernah tahu siapa kau

kami tak bertegur sapa

namun kami lahir dengan cara yang sama

kami lahir dari rahim ibu

rahim kenangan yang selanjutnya menjadi tanah

di kampung daun, aku seperti bukan manusia

bukan siapa-siapa

sebab kau bapak desa

atau orang-orang kampung tak pernah baca buku filsafat

dan tak pernah pegang handpone

Sunia, 2009-2010

Kidung Sundamala

siapa yang percaya dengan batu

semua hening dan diam

apakah ada lingga atau yoni

dalam kidung sundamala

mereka misteri seperti batu

seperti juga kelahiran kita

Bandung, 2009


Januari: Potret Jalan Cikapayang


berbahagialah. sebuah kota telah berganti baju

orang-orang mengejar bayangan

bayangan yang mereka cipta dari sebuah rantau yang jauh

sejauh hati kita di puncak gelisah.

siang. juga malam aku tidak mendengar deru angin

atau teriakan anak-anak yang permain petak umpet

juga tidak melihat anak-anak belajar berhitung dengan sempoa

semua sudah seperti mimpi buruk yang panjang

sepanjang langkahku di jalan cikapayang

ingin rasanya aku kembali

berjalan tanpa asap karbon dan nikotin

seperti dulu ketika fajar melingkar membentuk pagar

kemudian aku berlari mencari jamur di bawah pohon-pohon

dan rumput dengan sisa embun payau

Bandung, 2010


Pagi: Potret Jalan Setiabudi


ri kita menyamakan arloji

agar bisa berangkat di waktu yang sama

seperti eksodus burung-burung)

masih ada lingkaran di kepalku

lingkaran yang tercipta dari gelisah

serta amarah yang membuat cintaku kandas

atau surat kabar palsu. seperti kepalsuan calon-calon legislatif

seperti juga resah sopir angkot. atau gerobak sayuran

menyalurkan keringat di dada

membuat hatiku seperti kapas. melayang seperti layang-layang

di tarik ke sana ke mari

pagi. tepat jam tujuh, kepalku menjadi selokan

darah mengalir sebagai penebusan dosa

penebusan yang sekian lama telah kunantikan

seseorang telah mencintaku, mencintai langkah pengembara

pengembara yang lahir dari kota sungsang

kota dengan sejuta perkelahian

(belajar pada kepal sendiri

atau suara lonceng, atau suara ambulan

hingga waktu akan kembali

seperti kelahiran)

bunga-bunga warna kuning melilit lengan

wajah ovalmu membakar ekor kenangan

ekor yang mempertemukan kita

mempersatukan dua simpangan

bagai eksodus burung yang menemukan tempat kedua

kota kita penuh perkelahian

seandainya kita tidak saling mencinta

biarlah itu terjadi. karena kulihat dirimu telah mencintai yang lain

mencintai yang seharusnya kau cintai

seandainya kita tak pernah bersama lagi

biarlah itu terjadi. karena kulihat dirimu telah bersama yang lain

karena kita terlahir sebagai pengembara

kita terlahir dari kobaran api

kobaran cinta pada kota yang penuh perkelahian

kobaran cinta pada persinggahan terahir

seperti upacara pembakaran mayat

dengan tegas orang-orang membuat kehilangan

pratiwi, bulan-bulan ini kulihat dirimu seperti kehilangan sesuatu

kehilangan lagu pagi dan potret jalan setiabudhi

Bandung, 2010

-----------

Heri Maja Kelana, kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPI. Mantan Ketua Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI 2008-2009, sekarang menjadi ketua Pusat Kajian Sasta Institut Cikalong. Tulisan berupa puisi, esei, resensi film dipublikasikan di berbagai media dan antologi bersama.