Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 2 Januari 2011
Rubaiyat Kalung Matahari :Adelina
"kau tak cocok pakai songkok
kepalamu peyang tak seperti puyang"
semalam, ketika yakin akan meninggalkan ulayat
ia khidmat menitipkan kalung dan beberapa ayat
: semoga anjing tak mudah masukliurnya membuat pagarmu lapuk
di batas kampung, dekat tugu seungu terung
bebatang pisang kipas tunai melepas
meski tak semua bisa dilipat dalam koper dan tas
karena di jantung, ada silsilah yang ia junjung
tetapi ia selalu merapikan matahari
di bandul kalung
ia suka berkunjung ke kepalaku
katanya, rambut kusut kerap bermuatan
hingga harus kerap dikibaskan
agar rontok dan berjatuhan segala hantu
itulah sebab ia tak suka melihatku berpeci
karena merasa seperti ingin diziarahi
atau dikubur
dalam kelimun puisi
Tanjungkarang, 2010
Syair Penyihir
: APHpernah kutanya tentang 114 surat
apakah ada cerita tentang nabi dan ikan
lalu merapal beberapa nubuat
maka lekang segala kutukan?
tapi tidak serupa dimakan ikan Nun
sekarang ia banyak ditelan lamun
sampai habis juga desember
18 ribu lapis makna tak ketemu sumber
sekarang ada yang datang lagi
menyamar menjadi biji kopi
tentunya dengan bunga putih berias
dan jelujur batang yang keras
tapi di Telukbetung, di seputar Telukbetung
memang takdir laut menenung gunung
hingga air yang berada di paling pucuk
turun dengan ricik paling khusyuk
kalau begitu, ayo ikuti perapal mantra
siapa tahu benar itu amalannya
kau cuma mengangguk kecil
"Jim, aku sudah kebal dari jampi
jadi tak mudah sebal karena janji"
Baturaja, 2010
Lukisan di Kelok Tangga
Dinihari sebelum berangkat, kau duduk di undak tangga paling muda, sedang aku tergeletak di sofa menghadap beranda. Aku lupa berapa jumlah anak tangga yang biasa mengantar kakiku ke lotengmu tetapi kanvas kecil yang dipulas cokelat tua, membuatku terus berdosa karena juga tak hafal jalan dolorosa.
"Cincin matahari dan lukisan Maddona menggendong Dia tetap utang yang harus kau lunasi semua!” Tetapi sekarang, biarkan aku mencuci kakimu, baskom dan handuk sengaja kubeli baru sedang airnya kutadah dari cucur hujan 1 minggu."
Melengkapi tangkai gordin emas, selimut sisa remas, dan guci keramik berlubang gemas, pernah kau menagih. Aku lupa, apa alasanku malam itu sehingga tak ikhtiar utang dibayar. Hanya, di sela-sela keloneng lonceng peronda dan cericit kalong pemberi tanda, aku bertanya sekenanya.
"Apa yang kau ingin dari cincin dan lukisan kalau kita kasmaran pada lain tuhan?"
Palembang, 2010
Ulu Musi
aku memperkirakan betapa alotnya
merawi ujung kelokan rambutmu
dengan sejarah sungai di bagian ulu
di mana putus silsilahnya?
bebatang kayu mati, gabus sungai beliti
dan perempuan bersarung di atas titi
terus bergerak di atasmu
tapi tak ada yang singgah di keyakinanku
juga saat kuterka kenapa bandang
terus menerus bertandang
melampaui ibu batu-batu
dan segenap pertanyaanmu?
jika sudah ada jawaban darimu
tentang riwayat kali dan muara musi
kirimlah kabar segera
toh aku sudah akil baligh
dan kau pernah mengajakku telanjang
menyeretku hanyut dan menggelinjang
Lubuk Linggau, 2010
Firman Pertama
seperti akar beringin tua
tapi bukan memilin di permukaannya
seperti kembang ketapang
tapi bukan yang berulat berlubang
seperti bunyi serangga
tapi bukan sunyi pujangga
seperti salak anjing
tapi bukan kaing
seperti tebal batang lilin
tapi lebih kebal akan dingin
seperti liur di bibirmu
tapi bukan membalur leherku
seperti belajar mengeja
tapi syahwat tak butuh tanda baca
seperti siul kanak-kanak
tapi kerap masygul dan bersorak
Padang Pariaman, 2010
Jimmy Maruli Alfian, lahir di Telukbetung, Lampung, 3 Maret 1980. Bergiat di Komunitas Berkat Yakin serta menetap di Bandar Lampung dan Baturaja. Menerima Anugerah Puisi Terbaik Pena Kencana 2008. Buku puisi, Puan Kecubung (2009) masuk nomine lima besar Khatulistiwa Literary Award.