Sabtu, 05 Februari 2011
SAJAK-SAJAK Dahta Gautama
Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 6 Februari 2011
Ingatan-ingatan tentang Gerimis
dan Sore yang Lapuk oleh Cuaca
yang diterbangkan angin
adalah sehelai daun
ia tertelungkup di rumputan
sebagai benda yang dilapukkan cuaca
dan ranting-ranting berdentingan
dan gerimis pun basah
daun-daun berkibaran
sebagai helai yang merdeka
terlempar di wilayah batang
ke wilayah danau dan kali.
II
aku membacanya, setiap huruf yang terbit dari celah angin
merabanya dengan bahasa tangan.
seperti kesetiaan bulan pada kata-kata pujian.
adalah luka ketika engkau rangkul pundakku
dengan kerling mata bisu.
kekasihku hanyalah helaan panjang yang mengaji
di rumah bambu, merangkai bunga-bunga melati.
adalah rindu yang telah almarhum di telan ombak
yang berdebur dimatamu
adalah sepi yang kujadikan istri kedua.
suatu malam, kubangun istanamu dari sisa-sisa gerimis
dari kotoran cicak
pesta perkawinan kita, barangkali bukan persenggamaan
atau rintihan.
tamu yang hadir: kalong, burung hantu, jangkrik
dan beberapa tamu istimewa: sahabat, pelacur juga
penyair itu.
pada episode pertama acara dibuka dengan minum bersama
diakhiri dengan obrolan pendek
kemudian percakapan malam pertama:
memandangi wajahmu, menelanjangimu dengan puisi-puisi
mendekatkan telingaku di dadamu, yang mengalirkan ayat-ayat
melirihkan desir angin di halaman rumah
menerbangkan ruh pada rintihan ibu yang kesepian.
perkawinan ini melahirkan kembali anak yang telah lama
mati terbunuh.
bagai episode dalam serial kelahiran
pertemuan dua ruh
saling pandang, menangis, merangkul
kemudian hidup kembali.
tuhan, ternyata engkau pernah tak ada.
III
begitulah. akhir dari pergulatanmu
mengejar matahari.
segala ujudmu yang serupa marmer itu meleleh
perlahan-lahan kau ubah menjadi lempengan-lempengan
logam yang bisa disabetkan serupa mata pisau.
bermula dari pencarianmu akan ombak
kau lukis tepian laut dengan warna-warna perak
namun potret-potret nasib terlanjur memuntung
di balik rahasia jalan raya
kau kejar lagi dan lagi, tetapi masih darah
cat pergulatan itu.
kelak menjadi cerita manis
bagi anak cucu.
begitulah kisah-kisah sejatimu
segalanya akan menjadi usang
dan engkau cukuplah dikenang saja.
IV
sungguh. Aku luka kawan
ketika tak kudengar lagi suara-suara
orang berkata tentang cinta.
pasti ada yang
merasa kehilangan waktu untuk tersipu
dan senyum pun sudah menjadi sesuatu yang paling
mahal.
padahal dikerenyahan tawamu aku ingin
menawarkan sejarah.
tentang kematian sejumlah lelaki
usai perang melawan kota.
aku serupa orang yang terbuang di trotoar
lupa arah jalan untuk pulang.
maka. aku akan selalu mengenangnya
jalan-jalan sunyi yang pernah kutelusuri.
disana ada sejumput gelap dan luka
yang telah mengoreng.
kita tahu benar, bahwa hantu-hantu
di telaga itu akan bangkit.
maka untuk mengusir rasa takut
engkau dan aku
mesti berangkulan.
gerimis turun dan melati di ladang kita
berbunga. aih, aku menjadi paham
bahwa bau ditubuhmu
adalah harum bunga di surga.
engkau menjadi paham. bahwa bunga-bunga
yang engkau taburkan
di keremangan malam kemarin
telah menjadi sejarah.
kini, engkau mati
malaikat maut
mencabut akar kornea matamu
VI
aku menunggumu di rumah tua
yang pernah kita bangun bersama ayah.
namun engkau tidak juga pernah
memahami bahwa dengan menjadi
tamu di rumah kita sendiri
sesungguhnya kita akan tetap menjadi
iblis yang menakutkan.
karena kita bias brnostalgia
bahkan sekadar untuk mengenang cinta
yang pernah ada. maka aku ingin mengawinimu
dan mengajakmu berbulan madu di gigir waktu.
VII
sore ini, kuterima kabar dari kotamu.
ada yang terbakar
bangunan-bangunan kekekalan
telah menjadi abu.
langit sore kusam.
tak ada deru dan siulan panjang
cuma lolong anjing memecah sunyi.
dan setelah engkau pulang dari masa silam
tiba-tiba engkau menjelma daun.
berguguran ditiup angin barat.
maka. diri yang kau biarkan mabuk
terhempas di pucuk-pucuk angin.
VIII
serupa angin, aku larung di parit-parit langit
terbang bebas menembus batas cakrawala
menyentuh bulan dengan jari-jari
bahasa sunyi membelah tubuhku peragu.
runtuh. runtuhlah aku, sebagai pengembara
tanpa bahasa pulang sebab tanpa kampung halaman.
masa lalu menyabit cintaku yang pernah
bergelora. maka tuntaslah sebait cita-cita untuk ziarah
atau kembali ke kanak-kanak.
setiap aku merindu selalu lolong anjing
memecah sepi, rahasia yang tak mungkin di eja.
bangunan-bangunan kekekalan, alang-alang di kebun kelapa.
ya, sejarah runtuh di padang rumputan
dan aku terbang disana, diantara ranting-ranting
cemara. sebab aku telah menjadi camar.
Taman Gunter, 12 Januari 2011
--------------
Dahta Gautama, Lahir di Hajimena, Natar, 24 Oktober 1974. Belajar sastra secara otodidak sejak 1993. Kini menderma di NGO Badan Logistik Informasi dan Pemimpin Redaksi Mingguan Dinamika News. Sajak-sajaknya dimuat di sejumlah media dan antologi bersama.