Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 20 Februari 2011 |
Dua Butir Benih
perempuan
menebar sebutir benih berwarna putih
di tanah
benih itu tertidur lelap
dan bermimpi
bertemu seorang bocah
yang berjalan
di sekitar taman
bocah itu berhenti
lalu menebar benih lain
di sampingnya
keduanya bicara
tentang warna tubuh mereka
yang berbeda
mereka berpandangan
hingga pusat
benih pertama
pecah
ia terbangun
tubuhnya
berubah
coklat.
(2011)
Di Antara yang Berputar
aku akan selalu mengintarimu
meski tubuhku kelak terbakar
lalu lesap ke dadamu
namun aku ingin terus berjalan
sebagaimana kau juga berjalan
memastikan peredaran
yang digariskan waktu
di tubuhku tafsir lahir
menjadi tujuh kata yang mengambang di udara
maka dengar dan percayalah
samar suara yang mengatur nafas manusia
adalah untaian doa agar kita selalu berjumpa:
melahirkan siang dan malam
serta memutar musim
di rahim semesta
temuilah aku dalam setiap wujud dan rupa:
gelak tawa bocah-bocah di lapangan becek
kelepak elang di angkasa
deram kendaraan di tengah kota
keheningan para pertapa di gua-gua
kemilau cahaya di tepi dermaga
salju yang luruh di puncak Himalaya
agar kau tahu
di antara kehadiranmu
gejolak terus berputar
bunga-bunga mekar
dan aromanya
sanggup membuka ratusan pintu
di dadaku
dewa-dewa keluar dari lembah dan pegunungan
menjalin pahala dan malapetaka
yang tiada henti
karenamu,
air menjadi tahu
bagaimana mengalir dan bermuara
benih-benih musim memahami
mengapa masa mesti berganti
maka demi usia yang terperangkap di tubuhku
tetaplah kau dalam alurmu, matahari
agar tafsir terus terlahir.
Tanjungkarang, 2010-2011
Taman dan Pemiliknya
desember kali ini, aku melihat daun-daun terjatuh dari tanganmu
tangan yang semula begitu hati-hati menjaga setiap tanaman
yang hendak tumbuh di tubuhku, tanah yang merasakan kemarau
hingga tiba musim semi, sesuatu tumbuh dalam diam
bersemi dalam pemeliharaanmu
dari telapak tanganmu daun-daun itu bicara
tentang empat musim yang bersatu
sayap-sayap angin puyuh
dan awan merah yang mendekap keluh
aku merasakan ketabahan majnun di gurun sahara
aku melihat arah perjalanan yudistira di puncak himalaya
namun daun-daun itu kini menyentuhku
dan tubuhku berubah kering
semua benih yang hendak tumbuh
memendam tubuhnya
ke tempat yang lebih dalam lagi
di langit, matahari seperti hilang dan menjelma lingkaran abu-abu
apakah kau salah menanam benih atau tubuhku
yang gagal menafsir musim, duhai pemilik taman.
Desember, 2010
Sabtu Pagi
ketika semua ombak
memutih
dan berlutut
di tepi laut,
seekor camar
merendah
ke dermaga.
(2010)
Liontin Matahari
cahayanya
seperti ribuan bintang
yang gemetar
jika kau lingkarkan
di leherku
ia menjadi bunga
mekar.
(Tanjungkarang, Januari 2011)
-----
Fitri Yani, lahir di Liwa, Lampung, 28 Februari 1986. Menyelesaikan pendidikan sarjana di FKIP Universitas Lampung. Selama kuliah, belajar di Divisi Teater dan Sastra Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila. Buku puisinya, Dermaga Tak Bernama (2010).