Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 29 Maret 2009
Sajak Didi Arsandi
Ode Pagi Hari
pagi-pagi aku bangun dan membuka jendela
demi warna lain dari cahaya,
aroma lain dari udara.
pelan-pelan kupunguti remah-remah mimpi
tadi malam, dan melemparnya
ke halaman rumah;
lalu tumbuh sebagai bunga dengan harum yang lain,
lalu muncul belasan mata air.
lalu kusulap daunan kering menjadi kupu-kupu,
batu-batu menjadi belasan ekor katak.
duri dan beling-beling yang berserakan
segera kutimbun dalam-dalam;
enyahlah niat ingin unggul dan ketololan meratapi sepi!
menjauhlah kecenderungan menyendiri!
juga kesenangan berkubang di masa lampau!
aku pun lekas keluar pagar, melangkah kecil-kecil
di jalanan, sambil menyanyikan tembang
dengan lirik pertama: betapa aku cinta kehidupan.
6-8 Januari 2009
Gerimis
adalah pecahan mata gadis kecil
yang bertahun-tahun
menyangkut di pelupuk mata serigala,
yang belingnya semakin hari semakin halus,
kadang serbuk bening itu turut menitik
di malam hari
berbarengan batuk-batuknya
si serigala ketika menggigil demam
sambil mengurut kerongkongan yang tercekat ampas kopi,
ampas kopi yang menumpuk bersama
sebuah pertanyaan goblok:
"kalau bertemu lagi, boleh tidak kugigit lenganmu?"
April 2008
Pengakuan Sumantri
Dik, abang juga mau berlama-lama
mendiami gunung Aksara;
berburu capung, meniru-niru tingkah polah burung,
atau lempar-lemparan tanah lempung denganmu
tapi tak! ada hasrat yang tak kenal ampun
memaksa abang lekas turun gunung
meninggalkan dongeng-dongeng purba
tentang kesetiaan pada samsara
meninggalkan kenangan mengenggam air
dan menyekap kabut dengan kata
meninggalkanmu, Sukrasana, bocah bajang
yang tahu betul alasan untuk bahagia
Dik, tanpa aba-aba, anak panah abang
sampai juga ke jantungmu
ini bukan perkara disengaja-tak disengaja, atau
keterbatasan abang yang bertubuhkan manusia
tapi pemanjat mana yang rela meninggalkan ranum mangga,
setelah susah-payah bertempur melawan serangga?
2007-2009
Sajak Anak-Anak, 2
kami bertanya pada tiang-tiang listrik di sudut-sudut gang, dan mereka bersaksi bahwa benar petugas-petugas sirkus petang tadi meringkus seekor Cerita, anjing kesayangan kami.
awan-awan yang tahu betul niat baik kami, menyaring sinar bulan purnama. udara malam dan gerimis memojokkan petugas-petugas sirkus itu ke pembaringan dalam tenda.
seperti hewan melata, kami menyusup ke pertendaan itu pelan-pelan; merayap di kandang-kandang, dan menemukan Cerita yang panik kehilangan gonggong, sungut dan naluri bercinta.
Agustus-Desember 2008
Reuni di Halaman Puisi
Lama kita tak jumpa. Kulihat sudah banyak kerutan di dahimu. Kedua kantung matamu pun kering kehabisan mata air. Tinggal kerak-kerak lumpur yang masih lengket di lutut-mungkin juga di selangkangan.
Apa kau punya oleh-oleh untukku? Ratusan tahun memikul sesal, menggelandang siang-malam, mungkin kau sudah memungut makna lain ketidakhadiran.
Namun tak pula kulihat senyummu menyambut perjumpaan kembali, atau ciuman gemetar sebagai lambang kangen. Cuma "hai!" terlontar dari bibirmu yang kering terkelupas.
Ah, mestinya kau ingat selalu pesanku sebelum berpisah di gerbang surga, "Demi cinta, bekali dirimu dengan sebotol air mineral sebelum menapaki gurun, ngarai dan bukit-bukit terjal bebatuan".
2008-2009
Kota Pelabuhan, Suatu Pagi
Selamat jalan kapal-kapal bermuatan mimpi dan uap air di langit tinggi! Selamat datang anak-anak bermata bening dan benang-benang sinar pagi! Hari ini aku dibangunkan Kenyataan untuk membuka pintu-jendela menyapu rontokan daun kering dan guguran bintang tadi malam.
Sepasang burung bertengger di kabel listrik. Dan mobil-mobil mengkilap itu bermunculan lagi dengan roda-roda yang meluncur mulus dan jerit klakson di sepanjang jalan.
Sepasang burung bersitatap di kabel listrik. Dan di kiri-kanan jalan, toko-toko china mengangakan pintu menjulurkan ang-pau ke muka perempuan-perempuan harum telanjang.
Sepasang burung bercinta di kabel listrik. Dan di trotoar, para pengemis dan pekerja keras bergegas dengan kepala berantai koin logam dan jari telunjuk yang diacung-acungkan ke langit congkak.
Sepasang burung menyusuri kabel listrik. Dan aku pun mengambil jala, berlarian ke pantai, mengumpulkan bangkai ikan yang banyak mengambang.
Ruang-ruang kota dipenuhi burung dan kabel listrik. Dan jauh di pelabuhan, kapal-kapal besar melego jangkar menurunkan dongeng tentang kota di ujung pulau yang mirip taman gantung Babilonia
-dari kejauhan.
Didi Arsandi lahir di Bandar Lampung, 14 November 1988. Mahasiswa Unila, FMIPA Biologi semester V. Saat ini bergiat di Divisi Teater dan Sastra, UKMBS Unila.