Rabu, 15 Juni 2011

Sajak Didi Arsandi

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 29 Maret 2009

Sajak Didi Arsandi

Ode Pagi Hari


pagi-pagi aku bangun dan membuka jendela

demi warna lain dari cahaya,

aroma lain dari udara.

pelan-pelan kupunguti remah-remah mimpi

tadi malam, dan melemparnya

ke halaman rumah;

lalu tumbuh sebagai bunga dengan harum yang lain,

lalu muncul belasan mata air.

lalu kusulap daunan kering menjadi kupu-kupu,

batu-batu menjadi belasan ekor katak.

duri dan beling-beling yang berserakan

segera kutimbun dalam-dalam;

enyahlah niat ingin unggul dan ketololan meratapi sepi!

menjauhlah kecenderungan menyendiri!

juga kesenangan berkubang di masa lampau!

aku pun lekas keluar pagar, melangkah kecil-kecil

di jalanan, sambil menyanyikan tembang

dengan lirik pertama: betapa aku cinta kehidupan.

6-8 Januari 2009


Gerimis


adalah pecahan mata gadis kecil

yang bertahun-tahun

menyangkut di pelupuk mata serigala,

yang belingnya semakin hari semakin halus,

kadang serbuk bening itu turut menitik

di malam hari

berbarengan batuk-batuknya

si serigala ketika menggigil demam

sambil mengurut kerongkongan yang tercekat ampas kopi,

ampas kopi yang menumpuk bersama

sebuah pertanyaan goblok:

"kalau bertemu lagi, boleh tidak kugigit lenganmu?"

April 2008

Pengakuan Sumantri


Dik, abang juga mau berlama-lama

mendiami gunung Aksara;

berburu capung, meniru-niru tingkah polah burung,

atau lempar-lemparan tanah lempung denganmu

tapi tak! ada hasrat yang tak kenal ampun

memaksa abang lekas turun gunung

meninggalkan dongeng-dongeng purba

tentang kesetiaan pada samsara

meninggalkan kenangan mengenggam air

dan menyekap kabut dengan kata

meninggalkanmu, Sukrasana, bocah bajang

yang tahu betul alasan untuk bahagia

Dik, tanpa aba-aba, anak panah abang

sampai juga ke jantungmu

ini bukan perkara disengaja-tak disengaja, atau

keterbatasan abang yang bertubuhkan manusia

tapi pemanjat mana yang rela meninggalkan ranum mangga,

setelah susah-payah bertempur melawan serangga?

2007-2009

Sajak Anak-Anak, 2


kami bertanya pada tiang-tiang listrik di sudut-sudut gang, dan mereka bersaksi bahwa benar petugas-petugas sirkus petang tadi meringkus seekor Cerita, anjing kesayangan kami.

awan-awan yang tahu betul niat baik kami, menyaring sinar bulan purnama. udara malam dan gerimis memojokkan petugas-petugas sirkus itu ke pembaringan dalam tenda.

seperti hewan melata, kami menyusup ke pertendaan itu pelan-pelan; merayap di kandang-kandang, dan menemukan Cerita yang panik kehilangan gonggong, sungut dan naluri bercinta.

Agustus-Desember 2008

Reuni di Halaman Puisi


Lama kita tak jumpa. Kulihat sudah banyak kerutan di dahimu. Kedua kantung matamu pun kering kehabisan mata air. Tinggal kerak-kerak lumpur yang masih lengket di lutut-mungkin juga di selangkangan.

Apa kau punya oleh-oleh untukku? Ratusan tahun memikul sesal, menggelandang siang-malam, mungkin kau sudah memungut makna lain ketidakhadiran.

Namun tak pula kulihat senyummu menyambut perjumpaan kembali, atau ciuman gemetar sebagai lambang kangen. Cuma "hai!" terlontar dari bibirmu yang kering terkelupas.

Ah, mestinya kau ingat selalu pesanku sebelum berpisah di gerbang surga, "Demi cinta, bekali dirimu dengan sebotol air mineral sebelum menapaki gurun, ngarai dan bukit-bukit terjal bebatuan".

2008-2009

Kota Pelabuhan, Suatu Pagi


Selamat jalan kapal-kapal bermuatan mimpi dan uap air di langit tinggi! Selamat datang anak-anak bermata bening dan benang-benang sinar pagi! Hari ini aku dibangunkan Kenyataan untuk membuka pintu-jendela menyapu rontokan daun kering dan guguran bintang tadi malam.

Sepasang burung bertengger di kabel listrik. Dan mobil-mobil mengkilap itu bermunculan lagi dengan roda-roda yang meluncur mulus dan jerit klakson di sepanjang jalan.

Sepasang burung bersitatap di kabel listrik. Dan di kiri-kanan jalan, toko-toko china mengangakan pintu menjulurkan ang-pau ke muka perempuan-perempuan harum telanjang.

Sepasang burung bercinta di kabel listrik. Dan di trotoar, para pengemis dan pekerja keras bergegas dengan kepala berantai koin logam dan jari telunjuk yang diacung-acungkan ke langit congkak.

Sepasang burung menyusuri kabel listrik. Dan aku pun mengambil jala, berlarian ke pantai, mengumpulkan bangkai ikan yang banyak mengambang.

Ruang-ruang kota dipenuhi burung dan kabel listrik. Dan jauh di pelabuhan, kapal-kapal besar melego jangkar menurunkan dongeng tentang kota di ujung pulau yang mirip taman gantung Babilonia

-dari kejauhan.

Didi Arsandi lahir di Bandar Lampung, 14 November 1988. Mahasiswa Unila, FMIPA Biologi semester V. Saat ini bergiat di Divisi Teater dan Sastra, UKMBS Unila.