Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 15 Februari 2009
Sajak Fitri Yani
Pesta Dansa
Dik, pertemuan kita ibarat pesta dansa
Penuh irama
Serupa anggur memabukkan
yang musykil dibuang setelah dituang
ke dalam gelas-gelas kesepian
Juli 2008
Seperti Batu di Jurang
Jurang itu memintaku
untuk tetap tinggal di situ
sementara langit begitu menghiba
menungguku tiba
tak pernah kulihat cahaya
hanya kelam
dan sebuah batu
aku tak begitu tahu
aku atau batu
yang lebih dulu di situ
di tempat amat dalam
lebih gelap ketimbang malam
tiba-tiba aku dikejutkan
oleh derai yang
memeluk tubuhku
ialah hujan
tempat petama kali kusimpan harapan
"pergilah, dan jadilah awan"
ujar batu kepadaku
tapi entah mengapa
aku merasa hampa
mungkin karena terbiasa
"apakah benar-benar
kau mencintai jurang ini?"
tanya hujan amat lirih
"entahlah hujan,
aku ingin sekali pergi"
"aku mencintaimu
aku ingin kau tetap di sini"
ujar jurang
mendengar pengakuanku
hujan pergi
meninggalkan genangan di kakiku
"di langit aku menunggumu"
serunya sebelum berlalu
tapi aku hanya ingin setia
seperti batu
Agustus 2007
Mimpi Pengantin
di langit yang tengah pesta pora cahaya
ada sepasang merpati mabuk asmara
bulu-bulu putih mereka berguguran
serupa hujan salju
menjadi suara-suara di sisi telaga bening;
auman singa, lolong anjing
kepak kelelawar, desis ular
"lihat, itu bulu-bulu kita!"
kata merpati pertama kepada pasangannya
(auman singa, lolong anjing
kepak kelelawar, desis ular
seketika terdiam)
tak lama kemudian
sepasang merpati yang tengah mabuk asmara
terbang merendah ke sisi telaga
meletakkan satu per satu telur mereka
lalu terbang lagi
sebelum lenyap
mereka sempat menoleh ke sisi telaga
seperti tak akan lagi berjumpa
"terbanglah dengan bulu-bulu putih itu kelak"
pesan sepasang merpati dengan mata bercahaya
sementara dari cangkang telur-telur itu
terdengar suara-suara;
"apakah kita satu keluarga?"
"entahlah, rahim kita berbeda"
"aku ingin ke luar saja"
ada yang bergerak-gerak, lalu cangkang pun retak
Juni-Agustus 2008
Penjaga Pelabuhan
"bapak, biarkan kami bersaksi
bahwa kau pernah menjadi ombak
di dada kami
kelak, kami kabarkan kepergian kepada burung laut
sebagai isyarat bagi pelabuhanmu
yang mulai tunai mengatakan perjumpaan"
debur ombak
bergemuruh di dada sepasang remaja
selalu ada tanda bagi segala yang akan tiba
lewat bayang karang dan matahari yang bertegur sapa
Tanjungkarang, Februari 2008
Enam Hari Setelah Tahun Baru
bahagiakah kau sekarang?
bertahun-tahun aku mencari jawaban yang tepat,
dari pesan-pesan singkat yang kau kirimkan
kutelusuri buku catatan lama kalau-kalau kau tinggalkan
isyarat atau semacam laknat jumpa pertama, namun tak juga ada
aku mencintaimu, entah bagaimana mulanya
aku hanya bangun sekali, dan tidur kembali setelah kau pergi
sedikit sekali kulihat kenyataan dalam terjaga yang begitu sebentar
selebihnya aku terus-menerus bermimpi
dan terus-menerus kulihat kau menjelma jurang
jurang yang amat dalam, lebih gelap ketimbang malam
apa pun tak bisa tumbuh di situ, sekali pun sebaris puisi
dan perasaan-perasaan yang kau tinggalkan
tak mampu mengantarkan tubuhku kepadamu
atau pun mengembalikan kau yang kian membatu
dalam sangkar waktu
adakah jembatan bagi asmara yang terlunta?
aku berbisik kepada langit,
ia kirimkan benih-benih bambu bersama musim-musim yang baru,
lalu benih bambu tumbuh seperti usia yang tak terduga
namun bambu bagiku hanyalah bambu; sembilu waktu
ia lebih mencintai rumpunnya ketimbang menjadi jembatan
bahagiakah kau sekarang?
bertahun-tahun kucari jawaban yang tepat
akh, adakah jawaban yang sebenarnya tepat untuk ditemukan
entah bagaimana caranya, terkadang ia amat kuat
dan lebih pandai mengatur pilihan
kau mungkin tak mengerti mengapa cinta adalah luka yang tersisa
seperti harum kopi di meja pagi hari.
Tanjungkarang. Desember 2008
Kisah di Jalan Tanah
di jalan tanah tengah malam
kau dan aku terantuk batu
yang diam sejak dua abad silam
percakapan hanya melintas-lintas
seperti suara angin yang bergerak lekas
dari celah ranting akasia yang renta
mukamu pucat
seperti bulan hampir bulat
lenganmu kaku merengkuh tubuhku
yang terjatuh berkelimun peluh
lalu menghapus embun
yang menitik di mataku
padahal sebagai perempuan
tak pernah kuminta apa pun padamu
selain tatapan yang lekat
sekejap nikmat bagi kebersamaan kita
saat pagi nanti tiba
kita akan berpisah
bukan lantaran asmara
sungkan memberikan belaian
namun kau bukan alasan
bagi kekasih yang kutinggalkan
jejaknya telah kusimpan
sejak awal pertemuan kita di jalan tanah ini
sebelum akhirnya terantuk batu
yang diam sejak dua abad silam
kau yakin aku tak akan menderita
karena dipaksa mengerti makna getar dada
yang tak mungkin disampaikan
oleh jalan tanah yang basah
dan malam menjelang subuh
kapan kita akan kembali bertemu
tanyamu sambil dengan cemas memungut
daun akasia di tepi jalan itu
kapan daun ini diterbangkan angin
ke tepi telaga sebuah kota
kapan akan sampai di tujuan,
pada alamat di segulung peta tua
yang hampir tak terbaca?
jangan ajari aku menghafal nama jalan asmara
yang mungkin tak ada di peta
jangan sesatkan aku dalam dekapmu
jika yang kaukenang adalah lelaki yang pergi berulang
barangkali gelembung udara
sempat mencatat perjalanan kita
mengaitkan rindu pada rintik-rintik sunyi
yang berbulir di daun akasia
ada bau parfummu
melekat di kemeja putihku
Bandar Lampung 29 Juni 2008
Fitri Yani, lahir di Liwa, Lampung Barat, 28 Februari 1986. Mahasiswa FKIP Universitas Lampung, aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa
Bidang Seni (UKMBS) Unila Divisi Teater dan Sastra