Rabu, 15 Juni 2011

Sajak Fitri Yani

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 15 Februari 2009

Sajak Fitri Yani
Pesta Dansa

Dik, pertemuan kita ibarat pesta dansa

Penuh irama

Serupa anggur memabukkan

yang musykil dibuang setelah dituang

ke dalam gelas-gelas kesepian

Juli 2008


Seperti Batu di Jurang

Jurang itu memintaku

untuk tetap tinggal di situ

sementara langit begitu menghiba

menungguku tiba


tak pernah kulihat cahaya

hanya kelam

dan sebuah batu

aku tak begitu tahu

aku atau batu

yang lebih dulu di situ

di tempat amat dalam

lebih gelap ketimbang malam

tiba-tiba aku dikejutkan

oleh derai yang

memeluk tubuhku

ialah hujan

tempat petama kali kusimpan harapan

"pergilah, dan jadilah awan"

ujar batu kepadaku

tapi entah mengapa

aku merasa hampa

mungkin karena terbiasa

"apakah benar-benar

kau mencintai jurang ini?"

tanya hujan amat lirih

"entahlah hujan,

aku ingin sekali pergi"

"aku mencintaimu

aku ingin kau tetap di sini"

ujar jurang

mendengar pengakuanku

hujan pergi

meninggalkan genangan di kakiku

"di langit aku menunggumu"

serunya sebelum berlalu

tapi aku hanya ingin setia

seperti batu

Agustus 2007


Mimpi Pengantin

di langit yang tengah pesta pora cahaya

ada sepasang merpati mabuk asmara

bulu-bulu putih mereka berguguran

serupa hujan salju

menjadi suara-suara di sisi telaga bening;

auman singa, lolong anjing

kepak kelelawar, desis ular

"lihat, itu bulu-bulu kita!"

kata merpati pertama kepada pasangannya

(auman singa, lolong anjing

kepak kelelawar, desis ular

seketika terdiam)

tak lama kemudian

sepasang merpati yang tengah mabuk asmara

terbang merendah ke sisi telaga

meletakkan satu per satu telur mereka

lalu terbang lagi

sebelum lenyap

mereka sempat menoleh ke sisi telaga

seperti tak akan lagi berjumpa

"terbanglah dengan bulu-bulu putih itu kelak"

pesan sepasang merpati dengan mata bercahaya

sementara dari cangkang telur-telur itu

terdengar suara-suara;

"apakah kita satu keluarga?"

"entahlah, rahim kita berbeda"

"aku ingin ke luar saja"

ada yang bergerak-gerak, lalu cangkang pun retak

Juni-Agustus 2008


Penjaga Pelabuhan


"bapak, biarkan kami bersaksi

bahwa kau pernah menjadi ombak

di dada kami

kelak, kami kabarkan kepergian kepada burung laut

sebagai isyarat bagi pelabuhanmu

yang mulai tunai mengatakan perjumpaan"

debur ombak

bergemuruh di dada sepasang remaja

selalu ada tanda bagi segala yang akan tiba

lewat bayang karang dan matahari yang bertegur sapa

Tanjungkarang, Februari 2008


Enam Hari Setelah Tahun Baru

bahagiakah kau sekarang?

bertahun-tahun aku mencari jawaban yang tepat,

dari pesan-pesan singkat yang kau kirimkan

kutelusuri buku catatan lama kalau-kalau kau tinggalkan

isyarat atau semacam laknat jumpa pertama, namun tak juga ada

aku mencintaimu, entah bagaimana mulanya

aku hanya bangun sekali, dan tidur kembali setelah kau pergi

sedikit sekali kulihat kenyataan dalam terjaga yang begitu sebentar

selebihnya aku terus-menerus bermimpi

dan terus-menerus kulihat kau menjelma jurang

jurang yang amat dalam, lebih gelap ketimbang malam

apa pun tak bisa tumbuh di situ, sekali pun sebaris puisi

dan perasaan-perasaan yang kau tinggalkan

tak mampu mengantarkan tubuhku kepadamu

atau pun mengembalikan kau yang kian membatu

dalam sangkar waktu

adakah jembatan bagi asmara yang terlunta?

aku berbisik kepada langit,

ia kirimkan benih-benih bambu bersama musim-musim yang baru,

lalu benih bambu tumbuh seperti usia yang tak terduga

namun bambu bagiku hanyalah bambu; sembilu waktu

ia lebih mencintai rumpunnya ketimbang menjadi jembatan

bahagiakah kau sekarang?

bertahun-tahun kucari jawaban yang tepat

akh, adakah jawaban yang sebenarnya tepat untuk ditemukan

entah bagaimana caranya, terkadang ia amat kuat

dan lebih pandai mengatur pilihan

kau mungkin tak mengerti mengapa cinta adalah luka yang tersisa

seperti harum kopi di meja pagi hari.

Tanjungkarang. Desember 2008


Kisah di Jalan Tanah

di jalan tanah tengah malam

kau dan aku terantuk batu

yang diam sejak dua abad silam

percakapan hanya melintas-lintas

seperti suara angin yang bergerak lekas

dari celah ranting akasia yang renta

mukamu pucat

seperti bulan hampir bulat

lenganmu kaku merengkuh tubuhku

yang terjatuh berkelimun peluh

lalu menghapus embun

yang menitik di mataku

padahal sebagai perempuan

tak pernah kuminta apa pun padamu

selain tatapan yang lekat

sekejap nikmat bagi kebersamaan kita

saat pagi nanti tiba

kita akan berpisah

bukan lantaran asmara

sungkan memberikan belaian

namun kau bukan alasan

bagi kekasih yang kutinggalkan

jejaknya telah kusimpan

sejak awal pertemuan kita di jalan tanah ini

sebelum akhirnya terantuk batu

yang diam sejak dua abad silam

kau yakin aku tak akan menderita

karena dipaksa mengerti makna getar dada

yang tak mungkin disampaikan

oleh jalan tanah yang basah

dan malam menjelang subuh

kapan kita akan kembali bertemu

tanyamu sambil dengan cemas memungut

daun akasia di tepi jalan itu

kapan daun ini diterbangkan angin

ke tepi telaga sebuah kota

kapan akan sampai di tujuan,

pada alamat di segulung peta tua

yang hampir tak terbaca?

jangan ajari aku menghafal nama jalan asmara

yang mungkin tak ada di peta

jangan sesatkan aku dalam dekapmu

jika yang kaukenang adalah lelaki yang pergi berulang

barangkali gelembung udara

sempat mencatat perjalanan kita

mengaitkan rindu pada rintik-rintik sunyi

yang berbulir di daun akasia

ada bau parfummu

melekat di kemeja putihku

Bandar Lampung 29 Juni 2008


Fitri Yani, lahir di Liwa, Lampung Barat, 28 Februari 1986. Mahasiswa FKIP Universitas Lampung, aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa

Bidang Seni (UKMBS) Unila Divisi Teater dan Sastra