Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 14 Juni 2009 |
SAJAK-SAJAK |
Sunlie Thomas Alexander Menyusur Glodok --bersama zen hae di mulut lorong, hikayat pipih serupa tubuhku terimpit pintu pintu hoki (dan besi!); buah tanganmu yang terberkahi kubuka daun jendela reyot di matamu lalu mendapati meja-kursi berdebu, lemari kayu cokelat tua dan teh yang kau suguhkan padaku mengental di dasar teko seperti menjarah setiap kenangan yang lewat, setiap kecemasan yang hinggap! ah, menjelang sin cia jarak dan waktu begitu kusam di dinding dinding papan yang merapuh dari intaian mata lapar wahai, sahibul hikayat! berilah aku riwayat kota cina di lorong-lorong padat yang menyusun labirin dalam tubuhku di wangi aroma dupa yang menjauh, atau huruf huruf merah yang terbakar di dahiku maka, akan kuhaturkan tabik dengan rapat jemariku yang luka sembari merajah angka angka, tato dan doa kenangan kian menepi dari rencana, spekulasi, dan boneka kucing pemanggil hoki di etalase hikayat makin pipih, kisah-kisah hinggap dan terbang lagi Jakarta-Yogyakarta, 2008-2009 Sin Cia: Tahun Baru Imlek Lanskap Leluhur di tanah asing bagi jatuh sauhmu, aku telah menyusu pada sejarah tak utuh hingga ari-ariku yang terpotong dari luka di pusar ibu; hangus juga oleh kobaran dendam masa silam itu tapi telah kuwarisi dendang ibu, dan mantera yang kau tuliskan di sekujur tubuhku jadi penangkal bala di setiap pintu rumah (dan cerita hantu) walau tak kunjung merindu pada tempat kau melepas sauh dengan panji-panji merah terpancang di keningmu, tebingku! o, sempurnalah tubuhku sebagai aksara ganjil yang menerima dan menolak takdirmu: hikayat pahit terampas dari buritan kapal yang berlayar di ganas lautan dengan tiga titik nyala dupa mengasapi hari lahirku di sini, kuperas darahmu dari setiap ujung kesakitan di tubuh, dari seluruh lekuk sejarahku sebagai perantau abadi di tanah kelahiran yang pilu! Yogyakarta, 2008 Bunga Matahari : romi zarmandalam sebuah operet anak-anak aku telah membayangkanmu menjadi bunga matahari mekar di antara rerumputan, merona liar di liat belukar bila kelopakmu ingin menyaingi mentari, akulah penyaksi yang gugup membaca bahasa agung tuhan hingga setiap kehendaknya siap ditakwil ulang lalu setiap kupu-kupu akan bertandang mencumbui kemolekan yang jantan: berkelok jalan rimba, berderet kampung tua bersusun bukit, bersimpang ngarai sampai ke tepian perempuan dan kehidupan tiba-tiba purba untuk kembali dikisahkan di beranda atau pelataran halaman tapi begitulah kau mekar bersama cahaya matahari di kedua mataku yang polos: mengintip girang pertunjukan yang mengamalkan permainan kudus o, dalam operet anak anak itu kubayangkan kau mempersembahkan keindahan dengan ikhlas kepada kupu-kupu dan kelopak perempuan; luka yang diam diam direstui Tuhan Yogyakarta, 2008 Oky Sanjaya Sanjal Jazz tak ada kemewahan di tangkai nada kita, hanya turbulensi di sekitar dada, pecah dan lapang pintu kita. Tak ada hari baik untuk merajuk, menggoda kita untuk tertutup. Buka saja, tak perlu menunggu di balik pintu. Kecuali memang dari tadi aku tertipu. Perut Jendela aku mencoba melahirkan kembali apa yang aku punya menjerit pada kelir bunga malam, mengental dalam suaka tembang. aku mencoba kembali menarik timba udara, dan berkaca bahwa air sumur tua merekahkan perut kita. Memandikan Sandal kita mungkin telah memilih jalan yang salah menduduki pekarangan belakang rumah orang yang juga tak kunjung dipagar, hanya ditandai beberapa tangkai selasih dan kemangi. Kita mungkin tergesa-gesa untuk pulang karena magrib seperti datang tiba-tiba, masih ada yang belum disiangi, masih ada yang belum bersih dicuci. tapi, "tolong!", jangan kau maki sandalku yang putus ini. dia masih layak ditusuk peniti. Sandal Kertas siapa yang terbilang laku jadi secarik peristiwa Kota Bandar ketika sinar bulan menampakan yang tercemar dari sudut-sudut gang? Semuanya seperti cahaya yang berpendar jauh dari pelabuhan. Dan kita kembali mengulang mencatat kapal-kapal merapat meski kita telah kehilangan tempat dua baris lagi dari satu halaman kertas adat. Merapat ke Dinding kali ini aku ingin kau merapat ke dinding. Tubuh badanku bau masam, bau jalan-jalan. Kali ini saja, berhentilah merapat ke pintu, macet, sayangku. Belajar Menerima Kekurangan setelah kau putuskan untuk terputus aku berharap tak tertinggal lagi di cincin tiraimu, seperti lampau, beku dan tersudutkan. Apalagi kini, tubuhku tak mampu menjangkau, meluruskan segala tirai dari cahaya yang menyengat. Dan selagi ini terlukiskan, sebaiknya engkau menggantikan aku dengan tali yang lebih panjang. Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Lampung, 13 Oktober 1988. Sedang belajar di Jurusan PMIPA Fisika Universitas Lampung (Unila). Bergiat Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL). Sunlie Thomas Alexander, lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Belajar Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi, esai dan artikel di berbagai media dan dalam sejumlah antologi bersama. Buku kumpulan cerpennya, Malam Buta Yin (Gama Media, 2009). |