Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 31 Mei 2009 |
SAJAK-SAJAK Agit Yogi Subandi |
Pada Recik Kemilau Air pada recik kemilau air pegunungan yang jatuh di daun-daun, kulesapkan dirimu ke dalamnya. kemudian kubiarkan recik itu jatuh dan pecah dan memercik di wajahku. lalu aku berlari sekencang-kencangnya, menuruni bukitmu yang kokoh nan agung. aku lebih rela, jika keringatku yang membawamu turun ke dadaku, daripada tanganku yang penuh janji, namun tak pasti. apa yang pasti? tak ada. maka pada pepohonan kuguratkan tanda, pada tanah kering kulesakkan jejak agar kau tahu, setapak mana yang kutempuh apa yang tak mungkin? setiap bangku-bangku, setiap lantai, setiap pepohonan, setiap ruang menyisakan kemungkinan bagi siapa saja untuk berkelindan di dalam dan luarnya. umpama malam, bercak sinar di jalan-jalan, adalah diriku dengan sebongkah kerikil yang enggan terinjak atau tergilas. umpama siang, akulah ilalang runduk yang tajam. di sulur keringatku, kau bersatu dan resap ke lubuk dadaku. Mei, 2009 Abu Jenazah dulu, tubuhmu adalah daging lunak untuk kusentuh. hingga kerap kulubangi waktu yang tertutup di jam tangan, agar dapat berdiri atau duduk di sampingmu. tapi kini kau telah mati. daging yang kerap kuangankan di telapak tanganku; menyatu dengan kayu dan api: mengabu. abu adalah kristal-kristal kecil, berterbangan apabila kugenggam. itulah dirimu, di dalam guci, tak utuh. apabila aku menginginkanmu, maka kupeluk guci itu sambil membayangkanmu di meja makan; menarik-narik sepotong daging sapi asap dengan garpu yang kau anggap membengkok sendiri ketika menancapkannya. "ia mengeras sendiri!" katamu dengan mata sayu. abu di dalam guci ini adalah dirimu yang berterbangan, jika diembus angin. sebelum guci ini pecah dan kau buyar, maka sebagian harus kualirkan di sungai dan sebagian harus kuendapkan di guci agar tetap lengkaplah diriku meski samar wujudmu di mataku. Januari, 2009 Dermaga kalau aku harus menjadi dermaga bagi pelayaranmu, singgahlah dan rapatkan kapal di kening pelabuhanku: kutunjukkan letak rumah makan, hotel dan alamat daun jatuh di dadaku. apabila kamu hendak melanjutkan perjalanan, maka pergilah tanpa bunyi peluit atau secarik tanda. aku akan mencoba melupakan semua tanda kedatanganmu yang sesungguhnya hampir menghitam di ubun-ubunku. (2009) Perempuan Bersandar perempuan bersandar di tiang lampu jalan jemarinya menggenggam selembar sapu tangan basah menghapus rintik hujan. 2009 Bunga Cempaka bunga cempaka jatuh pukul 5 sore hidungnya mencium tanah kuning jingga, diisap semesta. 2009 Kupu-Kupu kupu-kupu bersayap basah di dahan sawo manila dengan mata berjelaga. 2009 Yang Menari ada yang menari: wajahnya musim semi tapi dadanya kemarau abadi 2009 --------- Agit Yogi Subandi, lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Saat ini sedang menyelesaikan skripsinya di Fakultas Hukum Jurusan Hukum Internasional Unila. Bergiat di Divisi Teater dan Sastra UKMBS Unila. |