Sabtu, 18 Juni 2011

Sajak-Sajak Dian Hartati


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 12 April 2009
Sajak-Sajak Dian Hartati

Sebab Kisah Telah Digariskan

jangan meratap

sebab kisah telah digariskan sang kuasa

tanah kenangan hanya menyimpan sejarah

lampau, adalah waktu di mana kau

berlarilari kecil

mengejar tukang es kuncang

duduk rapi di serambi

menonton randai puti amban

ingatkah, ketika tangismu melunjak

mata beningmu mengiringi langkah kukuh sang mamak

ia pergi tanpa bercerita

ia pergi tanpa memberi warta padamu

berbilang tahun

kau pun mengikuti kata hati

merantau, meninggalkan ibu yang seorang

mengalungkan rindu di leher jenjang

"upik, denai pergi ke seberang pulau

mencari jejak mamak

jaga bunda dan lepau di samping rumah"

pesanmu pada adik yang beranjak akil balig

jangan meratap

sebab kisah telah digariskan sang kuasa

alur hidup tengah dianyam runyam

kau, kini berjalan tak tentu arah

menggapai sesuatu yang tak tuntas

merutuki hidup yang tak jera

inikah negeri yang didatangi mamak

begitu ramai dan sesak

mengingatkan pada bapak yang tak pernah dijumpa

ya, tibatiba kau sadar

sejak kapan kepergian membawa kisah duka

sampai kini jenjang rumah tak pernah disapa bapak

melanjau

menjumbai

mengaitkan segala harapan yang tak kunjung datang

bertahanlah di rantau, hanya itu pesan ibu yang kau ingat

galado lancang menerjang pancang

berita itu kau baca di koran

rumahrumah tak bersisa

surausurau tak lagi bersuara

dan kau resah mengingat lepau di samping rumah

tak ada tangis yang terurai

ketika sebuah fakta kau dengar

maka lanjutkan hidup di rantau

dan kau melupakan kisah di punggung gunung

sarasah di hulu manikam

masa silam yang selalu kau rindukan

jangan meratap

sebab kisah telah digariskan sang kuasa

jalan lapang menyuguh di depan mata

kota telah menjadikan tubuhmu batu

perjumpaan dengan mamak tak lagi diharap

tak ada daya

sebab negeri orang bertabiat lain

tak serupa khayalanmu

hingga petaka di musim gasal

mengantarkan resah yang melipat

kampung di seberang pulau patah

goncangan itu menyisakan isak

matamu cermat di depan televisi

suarasuara itu kabarkan puluhan korban

suarasuara itu sampaikan gelisah tak karuan

ternyata indramu tak membatu

hatimu bergetar ketika kotak televisi mengajak pulang

ajakan yang memilukan

"oih, rang rantau, pulanglah, caliaklah,

kampung kito, alah rato jo tanah"

SudutBumi, 2007

Perempuan Pemetik Teh

iringiringan perempuan memecah pagi sunyi

langkah tanpa alas kaki mengawali keras kehidupan

di punggungpunggung mereka melekat kantungkantung

capingcaping menyembunyikan wajah mereka dalamdalam

di seterik matahari

tangantangan gemulai memetik pucukpucuk kerinduan

mengemasi semua daundaun teh muda

memenuhi tanggung jawab pemilik hari

semua usai di lelah senja

melepaskan capingcaping geriapkan harapan hari esok

meracik setiap lembarlembar kedukaan

memintal khas aroma pagi

SudutBumi, 2005

Himpunan Imaji

akhirnya langkahku terhenti di sebuah mal

gedung berlantai banyak yang mengakumulasikan bilangan imajiner

aku mulai menghitung banyaknya wajah dan mencari koordinatmu

satu minggu habis dihimpun waktu

aku dan kamu menaksir jarak dalam sebuah ruang

setidaknya segenggam rindu akan ditransformasikan

dan kupastikan titik singgung itu begitu indah

ingatkah kau pada peristiwa setahun lampau

ketika masingmasing dari kita bersikukuh menggenapkan janji

mengikat pertemuan, agar kita mampu melarutkan rindu

ingatkah kau?

sebab saat ini semua itu bernegasi

di mal yang sama, enam bulan yang lalu

kita sempat merumuskan sebuah deret angka

“aku ingin deret angka rahasia menjadi pin dalam kartu debitku”

dan kau hanya tertawa melihat aku mengurutkan angkaangka, deret fibonacci

lambang bilangan yang menyimbolkan hari jadi kita

satu jam berlalu

dan aku masih mencari koordinatmu

mengirangira kau akan muncul dari sudut mana

aku pun menjadi ragu akan kehadiranmu

sebab rindu yang berbunga di hatiku

hanya tersemai di ruang imaji

SudutBumi, Mei 2008

Belantara Praduga Tentang Dirimu

buat Wa Ode Wulan Ratna

diamdiam kau memeram senyum di sungging pagi

mengerjapkan mata karena resah menanti kekasih

merindui jelaga yang hadir dikecam belantara praduga

matamata itu mengajakmu berdamai dengan kantuk

ceracau di tengah suasana kalut mesinmesin ibukota

jalanan sunyi memasungkan dirimu dalam area tak bernama

tak ada yang tahu,

ketika kau jatuh luruh bersama angin musim hujan

melarungkan perjalanan dari kota ke kota

melukiskan kesedihan anakanak ayam tanpa induk

tak ada yang mengerti,

saat kau melampaui waktuwaktu maya

bersenggama dengan gelisah, rimbarimba pencakar langit

tanahtanah koyak di selepas pijakkan

tibatiba kau dicengkram hangat tubuh penaripenari jalanan

lindap pegunungan memamah masa

senandung mengawali cerita tentang nama

keratonkeraton dengan prasasti tak berarti

titimangsa tiada guna

semua membalut tubuhtubuh luka

likat, melekat, dalam sejarah tak tercatat

mencari awal dan akhir perjalanan bersama kekasih

tak ada sesiapa

hanya gulungan ombak menyeret sebuah praduga

di belantara doadoa penghantar bumi yang bertambah tua

SudutBumi, 2006

Ketika Kunangkunang Menyerbu Mataku

sebuah perjalanan mengantarkan aku pada lembah bisu lembah kunangkunang

pendar cahaya tercipta begitu saja ketika angin menawan tubuh dalam gigil

malam gasal selalu membawa aroma tubuhmu melindap di antara pohonan

lingkar tahun itu telah sesatkan sebuah jejak di batangbatang penuh kemilau

masih kuingat peristiwa kala itu ketika laju kendara melayang di batas langit

memecah arakan gemawan menyublimkan pandangan di wilayah tak berjarak

begitu lekat tatap matamu menghunjam bumi purba memecah kelu semesta

tiang penyangga hadir bertumbuhan di sela gerimis hantarkan aroma apel

kepak sayapsayap hadirkan gundah di puncak malam sirnakan giris yang kelam

setiap kelok jalan siratkan gelisah menghitung sisa usia genapkan sebuah rasa

begitu saja mata terpejam merasakan amuk cahaya letup di setiap singgahnya

jangan pandangi lembah itu lembah kunangkunang telah membunuh setiap raga

cuaca tak bersahabat semua lebam dimamah duka musim diam tak berubah

kilau itu terus saja memaku setiap ingatan di retina membinarkan sebuah duka

lari! hingga sinar itu lenyap di lengkung pagi dan sejarah melupa wajahmu

SudutBumi, 2006

----------

Dian Hartati, lahir di Bandung, 13 Desember 1983. Bergiat di dunia kepenulisan sejak tahun 2002. Menjuarai berbagai lomba di antaranya juara I Lomba Menulis Puisi Bahasa Melayu-Betawi/Indonesia Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jabar 2008.