Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 12 April 2009 |
Sajak-Sajak Dian Hartati |
Sebab Kisah Telah Digariskan jangan meratap sebab kisah telah digariskan sang kuasa tanah kenangan hanya menyimpan sejarah lampau, adalah waktu di mana kau berlarilari kecil mengejar tukang es kuncang duduk rapi di serambi menonton randai puti amban ingatkah, ketika tangismu melunjak mata beningmu mengiringi langkah kukuh sang mamak ia pergi tanpa bercerita ia pergi tanpa memberi warta padamu berbilang tahun kau pun mengikuti kata hati merantau, meninggalkan ibu yang seorang mengalungkan rindu di leher jenjang "upik, denai pergi ke seberang pulau mencari jejak mamak jaga bunda dan lepau di samping rumah" pesanmu pada adik yang beranjak akil balig jangan meratap sebab kisah telah digariskan sang kuasa alur hidup tengah dianyam runyam kau, kini berjalan tak tentu arah menggapai sesuatu yang tak tuntas merutuki hidup yang tak jera inikah negeri yang didatangi mamak begitu ramai dan sesak mengingatkan pada bapak yang tak pernah dijumpa ya, tibatiba kau sadar sejak kapan kepergian membawa kisah duka sampai kini jenjang rumah tak pernah disapa bapak melanjau menjumbai mengaitkan segala harapan yang tak kunjung datang bertahanlah di rantau, hanya itu pesan ibu yang kau ingat galado lancang menerjang pancang berita itu kau baca di koran rumahrumah tak bersisa surausurau tak lagi bersuara dan kau resah mengingat lepau di samping rumah tak ada tangis yang terurai ketika sebuah fakta kau dengar maka lanjutkan hidup di rantau dan kau melupakan kisah di punggung gunung sarasah di hulu manikam masa silam yang selalu kau rindukan jangan meratap sebab kisah telah digariskan sang kuasa jalan lapang menyuguh di depan mata kota telah menjadikan tubuhmu batu perjumpaan dengan mamak tak lagi diharap tak ada daya sebab negeri orang bertabiat lain tak serupa khayalanmu hingga petaka di musim gasal mengantarkan resah yang melipat kampung di seberang pulau patah goncangan itu menyisakan isak matamu cermat di depan televisi suarasuara itu kabarkan puluhan korban suarasuara itu sampaikan gelisah tak karuan ternyata indramu tak membatu hatimu bergetar ketika kotak televisi mengajak pulang ajakan yang memilukan "oih, rang rantau, pulanglah, caliaklah, kampung kito, alah rato jo tanah" SudutBumi, 2007 Perempuan Pemetik Teh iringiringan perempuan memecah pagi sunyi langkah tanpa alas kaki mengawali keras kehidupan di punggungpunggung mereka melekat kantungkantung capingcaping menyembunyikan wajah mereka dalamdalam di seterik matahari tangantangan gemulai memetik pucukpucuk kerinduan mengemasi semua daundaun teh muda memenuhi tanggung jawab pemilik hari semua usai di lelah senja melepaskan capingcaping geriapkan harapan hari esok meracik setiap lembarlembar kedukaan memintal khas aroma pagi SudutBumi, 2005 Himpunan Imaji akhirnya langkahku terhenti di sebuah mal gedung berlantai banyak yang mengakumulasikan bilangan imajiner aku mulai menghitung banyaknya wajah dan mencari koordinatmu satu minggu habis dihimpun waktu aku dan kamu menaksir jarak dalam sebuah ruang setidaknya segenggam rindu akan ditransformasikan dan kupastikan titik singgung itu begitu indah ingatkah kau pada peristiwa setahun lampau ketika masingmasing dari kita bersikukuh menggenapkan janji mengikat pertemuan, agar kita mampu melarutkan rindu ingatkah kau? sebab saat ini semua itu bernegasi di mal yang sama, enam bulan yang lalu kita sempat merumuskan sebuah deret angka “aku ingin deret angka rahasia menjadi pin dalam kartu debitku” dan kau hanya tertawa melihat aku mengurutkan angkaangka, deret fibonacci lambang bilangan yang menyimbolkan hari jadi kita satu jam berlalu dan aku masih mencari koordinatmu mengirangira kau akan muncul dari sudut mana aku pun menjadi ragu akan kehadiranmu sebab rindu yang berbunga di hatiku hanya tersemai di ruang imaji SudutBumi, Mei 2008 Belantara Praduga Tentang Dirimu buat Wa Ode Wulan Ratna diamdiam kau memeram senyum di sungging pagi mengerjapkan mata karena resah menanti kekasih merindui jelaga yang hadir dikecam belantara praduga matamata itu mengajakmu berdamai dengan kantuk ceracau di tengah suasana kalut mesinmesin ibukota jalanan sunyi memasungkan dirimu dalam area tak bernama tak ada yang tahu, ketika kau jatuh luruh bersama angin musim hujan melarungkan perjalanan dari kota ke kota melukiskan kesedihan anakanak ayam tanpa induk tak ada yang mengerti, saat kau melampaui waktuwaktu maya bersenggama dengan gelisah, rimbarimba pencakar langit tanahtanah koyak di selepas pijakkan tibatiba kau dicengkram hangat tubuh penaripenari jalanan lindap pegunungan memamah masa senandung mengawali cerita tentang nama keratonkeraton dengan prasasti tak berarti titimangsa tiada guna semua membalut tubuhtubuh luka likat, melekat, dalam sejarah tak tercatat mencari awal dan akhir perjalanan bersama kekasih tak ada sesiapa hanya gulungan ombak menyeret sebuah praduga di belantara doadoa penghantar bumi yang bertambah tua SudutBumi, 2006 Ketika Kunangkunang Menyerbu Mataku sebuah perjalanan mengantarkan aku pada lembah bisu lembah kunangkunang pendar cahaya tercipta begitu saja ketika angin menawan tubuh dalam gigil malam gasal selalu membawa aroma tubuhmu melindap di antara pohonan lingkar tahun itu telah sesatkan sebuah jejak di batangbatang penuh kemilau masih kuingat peristiwa kala itu ketika laju kendara melayang di batas langit memecah arakan gemawan menyublimkan pandangan di wilayah tak berjarak begitu lekat tatap matamu menghunjam bumi purba memecah kelu semesta tiang penyangga hadir bertumbuhan di sela gerimis hantarkan aroma apel kepak sayapsayap hadirkan gundah di puncak malam sirnakan giris yang kelam setiap kelok jalan siratkan gelisah menghitung sisa usia genapkan sebuah rasa begitu saja mata terpejam merasakan amuk cahaya letup di setiap singgahnya jangan pandangi lembah itu lembah kunangkunang telah membunuh setiap raga cuaca tak bersahabat semua lebam dimamah duka musim diam tak berubah kilau itu terus saja memaku setiap ingatan di retina membinarkan sebuah duka lari! hingga sinar itu lenyap di lengkung pagi dan sejarah melupa wajahmu SudutBumi, 2006 ---------- Dian Hartati, lahir di Bandung, 13 Desember 1983. Bergiat di dunia kepenulisan sejak tahun 2002. Menjuarai berbagai lomba di antaranya juara I Lomba Menulis Puisi Bahasa Melayu-Betawi/Indonesia Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jabar 2008. |