Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 6 Maret 2011
SAJAK-SAJAK F. Moses
Kisah Semalam
setiap malam meyaksikan matahari pagi dari sebalik punggungmu
berharap kau bilang: selamat pagi kekasih, akulah pagimu
kamulah pagiku, katamu menambah
pagi dari malam berkabut semalaman kita tersesat dalam tragedi
tragedi kebekuan kebersamaan kita senyata payah.
Kecuali sengal napasmu, memacu derak ranjang yang jauh aku kuasai. Berakhir kau menguasaiku, terlebih ranjang ini
selalu kembali kita membakarnya selepas malam bersahutan; dari matahari pagi sebalik punggunggu. Bukan sekadar kembali menghangatkan, melainkan panas tubuhku yang ini kali mampu membakar tubuhmu.
aku hangus, katamu.
Gg Manyar-Telukbetung, Februari 2010
Yang Terjadi
begini jadinya;
kita tak pernah sama
di istana keabadian
berperabot angin, daun, dan pot berakar tanpa pernah menyiraminya
seperti daun berjatuhan tertangkup dengan bibir
seperti lembab pagi jauh bersentuh matahari
seperti tangis bayi pagi hari kehabisan air susu
dari perjalanan terakhir seorang yang selesai menjadi ibu
terlebih seperti kering matamu memerhatikan langkah ini
seolah takkan kembali lagi
dari benak musim yang selalu enggan kita beri nama
;dalam kesetiaan kita bersandiwara di dunia entah ini
Telukbetung-Jakarta, 2010
Depan Gereja Tanjungkarang
mendung menggantung
berdedas hujan tiada henti
bunyi serupa detak kerinduan kita
mengemas cinta
merangkum tanya
mendesah pasrah
betapa puluhan tahun jauh dari sua
kita berkarat lantaran larat
seperti kapal enggan sauh
dalam kota menua dan menahun
kita senantiasa mencari persamaan
:tentang siapa lebih tua dari tubuh dan tembok-tembok itu.
Hening. Bening. Tertampar tanya. Lonceng menggema duabelas kali.
Kau pun tersenyum.
2010, Tanjungkarang
Dari Sebutir Debu
"mataku kerasukan debu," katamu setelah perjalanan jauh
aku seka matamu. Aku seka keringat di lehermu. Aku tiup matamu.
Dari perjalanan jauh ini
perjalanan kita memang selau dipenuhi berahi.
Berahi api selalu membakar ranjang kita semalaman. Tiada henti. Tiada percuma.
Berahi selalu mengantar api menjadikannya abu, sela penyair tua itu. kata-katanya masih membekas dalam ingatanku.
Sekali waktu, aku melihatmu tak berdaya. Dicumbu berpeluk debu yang sedemikian sengat. Aku hangus dipeluk debu, katamu tadi pagi.
Kau tinggal rangka.
Kecuali kata-katamu, senantiasa kuziarahi di dalam tubuhku.
2010
Wajah Baru di Tahun Baru
"mari kita buka," katamu.
Berpuluh tahun kita menutupnya.
Kita memang sekumpulan pemalas yang suka jarang membuka. Kecuali mengganda dan gemar melipatgandakannya. Di antara penyihir kita mengelabuinya.
Ah, sebentar lagi tahun baru. Aku ingin buka yang selalu setia menutup wajah ini; topeng
2010
----------
F. Moses, kelahiran Jakarta, 8 Februari 1979. Tinggal dan bekerja di Telukbetung, Lampung.