Kamis, 02 Juni 2011

SAJAK-SAJAK M. Harya Ramdhoni

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 22 Mei 2011

SAJAK-SAJAK

M. Harya Ramdhoni

Ziarah Muasal II
: Gerinung Dalom Suttan Pangeran Pikulun,

Suttan Pangeran Indrapati Cakranegara I,

Sai Batin I Marga Liwa

datanglah.

sambangi aku.

diriku menanti tandangmu.

walau keyakinan kita satu

namun kepercayaan

kita berbeda.

basuhlah pusaraku

dengan airbunga

sembilan rupa.

agar terusir jua kering

kerontang yang

peranakan jerebu.

agar wangi bunga

sirnakan bau

busuk jasadku.

datanglah.

jenguklah diriku.

muasal dirimu dari

masa tak berbilang.

kirimkan doa

bagi lelaki yang

kau sapa dengan

sebutan gerinung.

aku tamong

segala tamong.

pemilik sah tujuh

manusia harimau

dan penghuni

kastil para dewa.

tandanglah.

ziarahi aku, cucunda.

sebab hanya itu jalan

bagi si hidup dan si mati

‘tuk saling berkabar.

Jakarta, 5 April 2011

Suatu Senja di Perbukitan Bedudu
: Ratu Sekeghumong

kau masih seperti dulu.

begitu angkuh,

begitu sombong.

adakah kau simpan

kesumat itu?

setelah sembilan

ratus tahun berlalu

sebuah dendam

masihkah berarti?

hingga kau tega kutuki

tanah ini serupa

negeri laknat

penyembah berhala.

setelah sembilan abad

kematianmu masihkah

bermakna?

hingga kau tega kutuki

temurun musuhmu

yang ziarahi makammu

dengan segala tabik.

senja ini kusinggahi engkau

tanpa lepuh bara

dupa dan setanggi.

senja ini kusambangi dirimu

tanpa sebongkah

kepala kerbau.

juga tanpa

kemenyan dan

rapal mantra pembangkit

tidurmu nan baka.

istirahatmu kini

yang ingin kukenang.

sebab perempuan

seangkuh dirimu

tak layak disandingkan

dengan Tuhan.

kematianmu adalah

sebuah ajal.

penanda dirimu

memang tak kekal.

Bedudu Belappau-Bandar Lampung, 10 & 14 Mei 2011

900 Tahun Kemudian...

tengah kucium bau bangkai

dan amis darah.

menumpang sebuah masa

lampau dan ganjil.

suara tangis dan

teriak sekarat membumbung,

membelah langit di atas

bumi para dewa.

namun sekejap segalanya

kosong belaka.

semak beperdu pun

runduk seolah tak perduli

pada setiap kepala yang

menggelinding dari tubuhnya.

pada setiap tubuh yang terbelah

oleh badik tikam wangsa petarung.

ini perang sesaudara.

membasahi ranah purba

dengan darah dan air mata.

pecundangi cinta demi

lampiaskan kesumat

yang telah berpinak di uluhati.

ini perang sesaudara.

memutus setiap penggal jurai

tanpa segan silu.

ini perang sesaudara.

atas nama para dewa yang bertahta

dalam ingatan leluhur hingga ke anak cucu.

ini perang sesaudara.

atas nama Ilahi yang tak berwujud.

demi melawan alam pikir

yang kekal jumud.

alangkah sia-sia peperangan ini

bila hanya memuaskan dahaga

kalian pada darah dan nanah.

sembilan ratus tahun berlalu

kuyakin pertempuran ini

bukanlah demi dewa dan tuhan

sesembahan kalian.

simbol dan batu apalah artinya?

pohon dan huruf sungguh tak bermakna.

sembilan ratus tahun berlalu

kutahu betapa harga diri telah

taklukkan kemanusiaan

tanpa belas kasihan.

kini, pada bibir jurang tempat

kalian berlompatan bagai

serpih bulu berterbangan

kuberujar:

"betapa malang nasib kalian

wahai penyembah pesagi dan melasa!"

kini, pada bibir jurang tempat

kalian bersorai kabarkan kemenangan

kuberujar:

"betapa mujur nasib kalian

penyembah Tuhan Yang Esa!"

Bandar Lampung, April 2011

----

M. Harya Ramdhoni, dosen FISIP Unila dan kandidat Ph.D. Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Novel perdananya, Perempuan Penunggang Harimau (BE Press, 2011).