Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 22 Mei 2011
SAJAK-SAJAK
M. Harya Ramdhoni
Ziarah Muasal II
: Gerinung Dalom Suttan Pangeran Pikulun,
Suttan Pangeran Indrapati Cakranegara I,
Sai Batin I Marga Liwa
datanglah.
sambangi aku.
diriku menanti tandangmu.
walau keyakinan kita satu
namun kepercayaan
kita berbeda.
basuhlah pusaraku
dengan airbunga
sembilan rupa.
agar terusir jua kering
kerontang yang
peranakan jerebu.
agar wangi bunga
sirnakan bau
busuk jasadku.
datanglah.
jenguklah diriku.
muasal dirimu dari
masa tak berbilang.
kirimkan doa
bagi lelaki yang
kau sapa dengan
sebutan gerinung.
aku tamong
segala tamong.
pemilik sah tujuh
manusia harimau
dan penghuni
kastil para dewa.
tandanglah.
ziarahi aku, cucunda.
sebab hanya itu jalan
bagi si hidup dan si mati
‘tuk saling berkabar.
Jakarta, 5 April 2011
Suatu Senja di Perbukitan Bedudu
: Ratu Sekeghumong
kau masih seperti dulu.
begitu angkuh,
begitu sombong.
adakah kau simpan
kesumat itu?
setelah sembilan
ratus tahun berlalu
sebuah dendam
masihkah berarti?
hingga kau tega kutuki
tanah ini serupa
negeri laknat
penyembah berhala.
setelah sembilan abad
kematianmu masihkah
bermakna?
hingga kau tega kutuki
temurun musuhmu
yang ziarahi makammu
dengan segala tabik.
senja ini kusinggahi engkau
tanpa lepuh bara
dupa dan setanggi.
senja ini kusambangi dirimu
tanpa sebongkah
kepala kerbau.
juga tanpa
kemenyan dan
rapal mantra pembangkit
tidurmu nan baka.
istirahatmu kini
yang ingin kukenang.
sebab perempuan
seangkuh dirimu
tak layak disandingkan
dengan Tuhan.
kematianmu adalah
sebuah ajal.
penanda dirimu
memang tak kekal.
Bedudu Belappau-Bandar Lampung, 10 & 14 Mei 2011
900 Tahun Kemudian...
tengah kucium bau bangkai
dan amis darah.
menumpang sebuah masa
lampau dan ganjil.
suara tangis dan
teriak sekarat membumbung,
membelah langit di atas
bumi para dewa.
namun sekejap segalanya
kosong belaka.
semak beperdu pun
runduk seolah tak perduli
pada setiap kepala yang
menggelinding dari tubuhnya.
pada setiap tubuh yang terbelah
oleh badik tikam wangsa petarung.
ini perang sesaudara.
membasahi ranah purba
dengan darah dan air mata.
pecundangi cinta demi
lampiaskan kesumat
yang telah berpinak di uluhati.
ini perang sesaudara.
memutus setiap penggal jurai
tanpa segan silu.
ini perang sesaudara.
atas nama para dewa yang bertahta
dalam ingatan leluhur hingga ke anak cucu.
ini perang sesaudara.
atas nama Ilahi yang tak berwujud.
demi melawan alam pikir
yang kekal jumud.
alangkah sia-sia peperangan ini
bila hanya memuaskan dahaga
kalian pada darah dan nanah.
sembilan ratus tahun berlalu
kuyakin pertempuran ini
bukanlah demi dewa dan tuhan
sesembahan kalian.
simbol dan batu apalah artinya?
pohon dan huruf sungguh tak bermakna.
sembilan ratus tahun berlalu
kutahu betapa harga diri telah
taklukkan kemanusiaan
tanpa belas kasihan.
kini, pada bibir jurang tempat
kalian berlompatan bagai
serpih bulu berterbangan
kuberujar:
"betapa malang nasib kalian
wahai penyembah pesagi dan melasa!"
kini, pada bibir jurang tempat
kalian bersorai kabarkan kemenangan
kuberujar:
"betapa mujur nasib kalian
penyembah Tuhan Yang Esa!"
Bandar Lampung, April 2011
----
M. Harya Ramdhoni, dosen FISIP Unila dan kandidat Ph.D. Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Novel perdananya, Perempuan Penunggang Harimau (BE Press, 2011).