Kamis, 02 Juni 2011

SAJAK-SAJAK Raudal Tanjung Banua

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 24 April 2011

SAJAK-SAJAK Raudal Tanjung Banua

Ke Pedalaman

1.

arus yang lamban. jembatan kayu tua

hitam batu bara

teronggok di tongkang renta

adalah susu perempuan negro

tersesat di borneo

seorang perempuan iban

menatapnya iba

"kita sama-sama matang oleh derita,

sama-sama malang di bumi yang sama."

mourina, perempuan iban itu, kujumpai ia

di atas jembatan kayu tua

melintasi anak sungai

yang merana

2.

"tak ada yang kami miliki,

kecuali dengus nafas

kuli tanah sendiri," masih kusimpan cakap

laki-laki bercaping pandan bagai seciap

anak ayam hutan

yang lalu bergegas hilang

ke kelindan asap pembakaran

pelepah sawit yang menua

3.

waktu kembali

ke pangkal jembatan kayu tua

perempuan dan laki-laki itu

mencangkung tanpa suara

bagai patung minta kembali ke asal-mula:

pohon, kayu, batu di rimba. saat itu aku merasa

tidak ke mana-mana; diri adalah pedalaman

yang diangan. kian dalam, kian banyak tak dikenal

/Batola-Yogyakarta, 2009-2011

Sampah-sampah Mengapung

ini zaman sampah-sampah mengapung

orang-orang gugur di mataku

tiap hari makin banyak yang kubenci

dan yang membenci lebih banyak lagi

masuk, hatiku, kunci dari dalam, kunci yang dalam!

cuaca semesta sedang buruk

para tukang tenung dan tukang sihir mabuk,

kepayang bayang-bayang kejayaan

tukang kebun tersingkir ke taman-taman api

para penyair bergerombol membincang diri sendiri

hatiku yang terasing menolak teronggok jadi sekilo daging!

"hatiku, janganlah kau bersedih melihat makhluk-makhluk

yang sekedar penduduk. mereka hanya penghuni mati

sebuah negeri di bawah garang matahari

tapi tak sanggup membakar sampah-sampah,

basah, berkilau lumpur warna-warni, terapung hanyut

melintasi taman-taman negeri.

jangan kau bersedih."

dengan ini hatiku menyala, melebihi matahari

mengubah sungai dan muara

jadi api, jadi lautan api...

/Kalteng-Yogyakarta, 2010-2011

Minahasa

ekor kolintang menyayat mata mayat di bintang

/tomohon-yogya, 2009-2011

Nangabulik

-- bersama kawan seperjalanan

ke balik bukit batu kita menuju

di kiri-kanan hamparan sawit

luas, tak terhala pandangan

diam-diam, ingatan kita bersekutu dengan sisa asap

pembakaran, membentuk sayap-sayap burung enggang

membubung ke awan menjadi mendung

bergulung, menaungi perjalanan

murung, kita dan bukit-bukit batu itu, bagaimanapun

penanda arah yang dituju. sekali waktu kausebut bukit sintang

di petaku terbaca bukit ketapang

sama saja. nama tak mengubah ia jadi emas

jangan cemas, kita akan tiba, kita telah tiba

sebelum senja, sebelum cakrawala bilang sudah

pada langit yang dipuja

lihat, patung kijang jantan itu

terlongong di atas beton bulatan tunggul kayu

terlongong memandang cahaya angslup

perlahan, bagai rawa-rawa kejam menarik cinta dan bayangan

di kaki-kaki betinanya

ia terus berdiri di situ, di alun-alun kecil timbunan waktu

barangkali menunggu, menyambut

jika anak-anaknya yang dilahirkan di sisa hutan jauh

di sisi-sisi tajam tombak pemburu

ke luar bersama barisan kera dan beruang

mengasah tanduk, gigi dan kuku-kukunya panjang!

kelak, di balik bukit batu ini

akan ada penanda lain: ruh enggang,

penantian kijang dan puisi yang juga terus memanjang....

/Lamandau, 2010 - Yogyakarta, 2011

------------

Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Kini redaktur rumahlebah ruangpuisi dan ketua redaksi Jurnal Cerpen Indonesia. Memperoleh Anugerah MASTERA untuk buku puisinya, Gugusan Mata Ibu (2005). Buku puisinya yang akan terbit: Api Bawah Tanah.