Sajak-sajak Agit Yogi Subandi |
Minggu, 23 October 2011 00:00 |
Lembah Kelabu di bawah lanskap yang gelap di pertengahan Juli yang lelap kubiarkan dirimu sendiri di dadaku berseru-seru di hunianku di depanku sekumpulan kunang-kunang kelap-kelip, persis bintang-bintang sementara, kabut mengepung harapan dan kenangan mengapung. angin terkadang bagai duri-duri mawar yang dihempaskan ke tubuhku. dan entah mengapa aku menghuni lembah kelabu ini. terus menerus membawamu, letih bagai menggenggam setangkai leli putih bunga leli yang rentan oleh angin menggenggam sesuatu tidak pernah yakin. di lembah yang gelap ini kunyalakan api maka terangnya hanya setangkup. kenangan adalah nyala api namun di luar api, segalanya begitu kelabu. (Negerijaya, Way Kanan, 2011) Seperti Menyimpan Belati seperti menyimpan belati dalam saku celana, ketika mengingat setiap bentuk yang mengigatkanku padamu. di pahaku, barut dari lancipnya adalah perih yang hanya dapat kutanggung sendiri. dan setiap hari harus mencari penawar yang tak tentu di mana. keriap gugusan daun-daun bermigrasi di mataku. membutakan mata birahi, menumpulkan tajam bunyi-bunyi. lalu kutarik segala rumbaian api dari tungku-tungku berwarna suci. kugenggam kayu tapi yang kurasa sembilu. terkadang, ada wangi yang menelusup dari balik pintu depan, aku tak terpesona dan tak merasa sentosa menghirupnya. barut-barut itu bersekutu pada perih yang mirip lenguh ketimbang keluh. segenap angin berniat menerobos pintu. digedor-gedornya jejeran papan yang menutup tubuhku dari puing paling serpih yang turut serta di dalamnya. mengapa, mengapa tak membunuhku? picik mata belati, telah meyakinkanku untuk mati. rajah di tubuhnya akan kujilat seperti gula-gula. darah yang mengucur di batang belati itu, akan mengukuhkanku menjadi bangkai. Belatung-belatung tumbuh dalam dagingku, bersyukur dalam tafakur sambil mengeliatkan tubuhnya di dalam lelehan gincu para perempuan yang mencair dan larut ke dalam tubuhku. (2009-2011) Belimbing setelah aku terjatuh tentu kau tak akan mau mengambilku yang tak lagi utuh tubuhku tak lagi sempurna seperti anganmu. namun kau tak perlu khawatir akan kubiarkan tubuhku membusuk hingga meresap ke dalam tanah dan muncul sebagai belimbing kembali jika tak juga kau petik aku akan terus menerus seperti itu: membusuk kemudian muncul lagi. begitulah aku hadir, bagi dahagamu, hingga kau benar-benar sadar, bahwa aku telah berada di kerongkonganmu menjadi pengampu bagi tubuhmu. (Tanjungkarang, September 2011) Kemarau tanah berdebu: semak belukar pepohonan daun-daunan: coklat layu. sebatang ranting bergemeletak keras di kakiku. lebah-lebah mati sengatannya berpulang ke matahari. lalu kisah-kisah cinta naik ke kepala. dan sekuntum bunga tidur di dalam jambangan semut-semut mengusung penuh birahi. (Kotabumi, September 2011) Pengkhianat seperti air yang menguap menuju langit di musim kemarau. (September 2011) ----------- Agit Yogi Subandi, menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Buku puisi, Sebait Pantun Bujang (2011). |