koran tempo, 4 juli 2010
Pisau Bermata Dua
dhini rh
kita berpegang di pisau bermata dua
sementara aku menggenggam tajam matanya
kau menggenggam hulu kayunya
kita akan membawanya berjalan, di eretan pokok pinang
mata tajam dan hulu kayu mesti erat di genggaman masing-masing
sambil melenggang di pematang sawah, kau menjaga langkah
dan aku menjaga sayatan di telapak tangan
di pisau ini kita berpegang, antara himbauan dengung lama
antara pukau bunyi bansi yang menyihir kau untuk menarik
hulu pisau, memukau aku untuk menggenggamnya sampai demam
dan pada akhirnya kita mesti juga memilih, di antara jalur hujan
di antara jalur angin, jalur yang berseru bahwasanya
daun pandan musang dan cempedak masak tak bakal
bertemu dalam periuk
kau pilihlah lagi, mesti menarik hulu
pisau atau melepas genggaman tangan
Gunuangpangilun, 2010
Tabah
setabah debu
berdiam di tungku batu
dan berbiak tenang di balik pagu kayu
setabah api
bermalam di unggukan sekam
dan mengendap pelan di gelupas kulit pohon
setabah ikan
bergerak di deras arus sungai
dan melepas sisik bening di keruhnya air muara
setabah katak
berlompatan di gelap tempurung
dan berharap agar matanya tembus pandang
dan setabah ingatan yang belajar melupakan
segala nama musim, hari, tumbuhan, binatang
bahkan huruf dan angka. setabah itulah sajak
memberi maksud pada kalimat yang mulai
menemukan mautnya
Kandangpadati, 2010
Perumpamaan
dipadu juga kapas menjadi benang, benang dipintal
menjadi kain. dan barangkali di lubang jarum semua
saling menjadi, saling menyambung dan bergantung
begitulah aku selalu mengumpamakanmu dengan bahasa
yang tak sepenuhnya perlu diberi makna, sebab ada jarak
di antaranya, jarak yang sehelai rambut dan setipis kabut
ada juga benang kusut di batang pisang, tersangkut di surai
pelepah kelapa, saling berpanas-berhujan. dan barangkali
jika dipintal, sama buruk dengan sarung pada bantal lapuk
jika bahasa seumpama mata, maka aku telah menatapmu
dengan kalimat yang mengandung hujan lebat, kalimat yang
membiakkan lumut dan cendawan di tiap ruas tubuhmu
Kandangpadati, 2010
Seruas Talang, Sebilah Sembilu
seruas talang, aku sebut
sebilah sembilu, kau maknai
barangkali batas antara talang dan sembilu
ada dalam mata parang
yang menebas pangkal dan menebang batang
tajam parang, aku sebut
mata terang, kau maknai
di ayunan ke berapakah serpih sembilu
akan membenam? dalam tajam parang
barangkali ayunan bukan berbentuk hitungan
tapi jeda, jeda yang samar ukurannya
ada juga dan gema, timbul lalu tenggelam tak terukur
saling bersibantun, dalam tajam parang
barangkali gerak udara lamban yang membuat
seruas talang aku sebut, sampai jadi sebilah sembilu
kau maknai
Jalantunggang, 2010
Berkalang Tanah
aku memilih mati berkalang tanah, daripada
hidup berputih mata
dan kali ini sajak merupa gumpalan tanah basah
bekalku berbaring
sajak yang mengadu, sajak yang beradu
sajak yang dianggap malu
Gunuangpangilun, 2010
Terbujur Lalu, Terbelintang Patah
ada juga di tengah, alu terbujur patah lima
seperti kuasa cinta yang tak terpendam oleh dada
seperti puisi, seperti penyair yang memendam kehilangannya
ada juga makin ke ujung, kayu dihanyut batang air
seperti ucapan, seperti kalimat yang maksudnya belum tertangkap
seperti perempuan, sperti lelaki yang beradu mata batinnya
ada juga di pangkal, usali niatmu dan niatku terikat benang
sepert layangan, atau sauh yang kian hari talinya kian melapuk
seolah putus, seolah kandas, ada yang makin jauh dihela angin
Gunuangpangilun, 2010