Sabtu, 18 Juni 2011

Cerpen Andika Destika Khagen


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 26 April 2009
Cerpen Andika Destika Khagen

Batas

TELAH lama kutunggu Hasim di ruang tamu. Ia akan datang hari ini. Mungkin sebuah pertemuan yang tak terkendali. Aku menunggunya tak ramah, juga tak akan tersenyum. "Percayalah. Aku mesti tegas." Pintu pagar sengaja tak dikunci dan dibiarkan terbuka lebar. Aku ingin ia melihatku gelisah sebelum duduk di sampingku. Atau ciut sebelum nalarnya jalan dan amarahnya meletup. Aku harus benar-benar siap.

Baiklah. Hasim telah datang. Sengaja aku tak menoleh kepadanya. Barangkali ia akan menyapa, "Aku memenuhi janjimu. Mari kita berdebat." Tapi tidak, ia hanya duduk diam seperti batu. Barangkali ia tahu apa yang ada dalam pikiranku sekarang ini. Aku melihat gerak-geriknya seksama.

"Jadi apa yang kau inginkan Hasim?" Telah lama kutunggu ia bersuara, atau sekadar bertanya, "Apa kabar hari ini?" Namun, tak juga kata itu keluar dari mulut Hasim. Ia hanya diam. Tak menoleh juga.

"Aku pikir, Anda yang lebih tahu."

Ya, ya, benar. Aku yang lebih tahu. Untuk itu ia kuundang (disuruh tepatnya) datang ke rumahku ini. Biar ia mengaku, barangkali tak akan berdebat tentang batas.

Begini Hasim, kumulai saja. Dua puluh tahun aku merantau ke tanah seberang sampai beranak pinak. Bahkan tak ada seorang pun anakku terlahir di sini, di kampung ini. Selama itu pula, hektare per hektare tanah peninggalan kakek, diambil oleh saudara-saudaraku. Tak apa, toh aku tak pernah berharap dari kampung ini.

Rupanya anak-anakku jauh lebih sadar daripadaku. Mereka bertanya kepadaku, "Di mana kampung kita, Ayah? Di mana kampung kita?" Mereka tak pernah kuajak sekali pun ke kampung halaman ayahnya. Mereka merindukan kampungnya, Hasim. Aku terpaksa bercerita kepadamu, anakku kuajak ke kampung ini. Untuk pertama kalinya.

Selanjutnya tak perlu kuceritakan. Kau sudah tahu sendiri. Aku sudah berada di kampung ini sekarang, bersama anak-anakku.

Hanya satu masih kuingat, aku pikir tak akan pernah kulupa, batas yang kau buat di kebun karet itu salah. Kau mengambil hakku.

***

Begini. Aku masih ingat betul, mendiang ayahku dulu sering mengajakku ke kebun karet miliknya. Aku diajarinya manakiak. Sering ia menasihatiku, untuk menjadi kaya dengan usaha karet ini, tak perlu pakai sagap. Harus murni. Ia juga mengajariku menghasilkan getah murni. Mulai dari teknis, sampai perihal cuaca yang bagus untuk manakiak.

Tapi benar, aku tidak tertarik masuk hutan. Entah mengapa, aku tidak percaya bisa kaya dari hasil pertanian. Kehidupan kota merayuku untuk urban. Tak hendak mencari kaya awalnya. Aku hanya tak ingin waktuku hanya dihabiskan di kampung.

Ayah tidak pernah tahu, aku tak pernah sungguh-sungguh mendengar nasihatnya. Ia tetap saja percaya aku akan mewarisi pekerjaannya ini. Dari sekian banyak nasihatnya yang tidak kudengar, hanya satu yang kuingat, "Ini batas kebun karet kita." Tepat di bawah pohon jambu yang hanya tinggal batang, tak berdaun, di sanalah batas itu.

Aku tidak habis pikir, batas itu kau langgar. Kau tanami karetmu, di tanahku.

Hasim yang sedari tadi mendengar saja, naik juga libidonya. "Mari kita ke kebun sekarang. Akan kujelaskan padamu."

Tidak ada batas di tanah nenek moyang. Kau terlalu lama merantau sehingga tidak tahu adat istiadat Minang. Perlukah kujelaskan bahwa tidak ada hak kepemilikan individu? Yang ada hanya milik kaum. Apakah kau lupa, kita masih sesuku, Chaniago. Selama ini, belum pernah aku dengar ada batas yang dibuat. Lagipula, ayahmu tidak pernah membeli tanah. Untuk apa diberi batas? Oh ya, aku lupa, adat ini mungkin tidak pernah kau dengar. Kau terlalu kecil untuk merantau, lupa pada tanahmu sendiri. "Setiap tanah di suku kita, dimanfaatkan dan wajib diperuntukkan buat anak-kemenakan yang hidupnya susah. Hanya ini usahaku. Aku tidak punya pekerjaan lain."

Hasim menunjuk ke arah karet yang sudah di-takiak. Karet itu, yang hampir memenuhi tempurung, tak bisa berbuat banyak untuk kehidupanku dan keluarga. Terlebih, harga karet jauh menurun. Harga sayur bayam mungkin lebih mahal dari karet. Sekarang kau bicara tentang batas.

Batas apa?

Mereka terdiam untuk beberapa lama di kebun karet, setelah lama berdebat. "Aku tidak pernah membuat batas."

Hasim berlalu.

***

Aku tak akan pernah lupa kejadian hari ini. Seminggu setelah perdebatan dengan Hasim. Warga kampung dihebohkan dengan asap yang menggempul tengah malam. "Kebakaran, kebakaran." Yang membuatku terbangun dan berpeluh, arah api itu berasal dari kebun karet yang aku perdebatkan dengan Hasim. Api itu baru bisa dikendalikan sekitar satu jam lamanya.

Seluruh pohon karet yang sudah di-takiak tinggal abu. Dua hektare pohon kehidupan menghitam. Hanya tinggal tanah tak bernapas. Hasim menemuiku malam itu juga. Api belum mampu dipadamkan.

Matanya memerah. Ia membawa golok di tangan kanannya. Tak ada warga yang memerhatikan. Ia membawaku ke kebun belakang yang kosong. Sedikit cahaya bulan yang menerangi. Aku tak terpikir membawa senjata. Ia keburu mendorongku ke belakang.

Hasim seperti srigala yang sebentar lagi akan berpesta pora. Daging empuk barangkali. Ia akan menerkam, kuku-kuku tajamnya akan merobek kulit, taringnya yang tajam seperti tak sabar menunggu.

"Inikah jawaban tentang batas?" Keras sekali suaranya. Srigala ini benar-benar sudah kelaparan. Ia mengayunkan golok sekuat tenaga ke arahku. Tak sedikit pun memberikanku kesempatan untuk menjelaskan. Juga membela diri.

"Rasakan ini."

Wusss... Aku mengelak ke arah kiri. Taringnya hampir saja melukai kulitku. Karena tidak mengenai sasaran, ia semakin bringas. Diayunkan sekali lagi golok yang dipegang. Ke arah yang berlawanan.

Traaak.

Aku menunduk. Golok itu sekali lagi mengenai ruang kosong.

Di sebuah kesempatan baik, aku bisa melarikan diri.

Oh tidak, ia bisa saja kalut. Anak istriku masih di keramaian. Bisa saja ia menemukan mereka, kemudian mengayunkan golok. Tepat mengenai dada. Istriku tak akan sanggup bertahan. Srigala ini sedang kelaparan. Untunglah tidak terjadi.

***

Empat hari kemudian, Hasim datang ke rumahku, tidak diundang. Rasa waswas aku menerimanya. Ia buru-buru menerangkan, "Tenang saja, aku tidak membawa golok." Aku tetap tidak percaya, bisa-bisa saja golok disimpan di belakang punggungnya. Atau ia hanya membawa pisau kecil. Sama saja, semuanya tetap perkara batas.

Ia duduk tanpa kusuruh. Sedikit membuat aku lega, ia manatapku dengan ramah. Mengapa secepat itu ia berubah? Tidakkah ia masih bersakwa sangka?

"Begini, Dir. Semuanya tidak ada yang tersisa. Tinggal tanah yang dipenuhi abu. Tidak ada pohon karet. Mari kita berbicara tentang batas."

Aku melirik senyumannya. Sempat terpikir, jangan-jangan ia yang membakar kebun karet.

Sebelum berbicara, ia tersenyum kepadaku. Kita bisa membagi tanah itu satu hektare untukku, satu hektare lagi untukmu. Kau tanam sendiri tanah kosong itu, aku juga akan berbuat hal yang sama. Terserah mau ditanami apa. Tidak ada pohon jambu. Aku sendiri bingung Dir, sembari menyulut sebatang rokok, mengapa tiba-tiba kau datang ke kampung ini, kemudian mengaku kau punya tanah di kampung ini?

Aku tak mengerti apa yang ada di dalam pikirannya. Aku masih waswas, jangan-jangan ia membuka pengantar untuk menaikkan emosinya, kemudian menikamku. Walau masih bersaudara, aku tak pernah benar-benar mengenalnya.

Aku beranikan diri berbicara. "Aku hanya mengambil hak untuk anakku. Dua orang anakku perempuan. Ia mesti mendapat warisan dari orang tuanya. Hanya tanah itu yang bisa kuberikan."

Hahahaaa...

Kau bangkrut rupanya, Dir. Kembali ke kampung mau menetek--kurang ajar sekali ucapannya. Tapi aku tak akan terpancing, ia memang sedang melakukan pemanasan dan mengulur-ngulur waktu untuk menikamkan sesuatu benda tajam yang ia taruh di suatu tempat yang rahasia.

"Baik. Bagaimana kalau masalah ini diselesaikan saja oleh Datuk Paduko? Ia mamak kita. Ia lebih tahu tentang batas." Aku memberi saran. Kalau saja ia berkenan dan aku tak perlu cemas lagi.

Hahaaa...

Keterlaluan Hasim. Ia sepertinya semena-mena karena tiga hari yang lalu aku ketakutan melihat goloknya. Tapi bukan bearti ia bisa mambaok lalu begitu saja.

"Tidakkah cukup satu hektare satu hektare?" Berdiri dari duduk seperti hendak menikamku.

Keberanianku muncul, entah darimana asalnya. Aku tak memedulikan lagi, ia bawa senjata atau tidak. "Batas harus ditentukan agar ada pembagian yang rata. Tidak ada yang merasa tersakiti. Harus ada yang lebih tua, atau dituakan untuk menyelesaikannya. Lagipula, tanah itu merupakan warisan, bukan milik kita. Kita entah generasi ke berapa menjadi pemilik tanah itu," kataku.

Ia manatapku lagi. Lebih tajam kini. "Jangan pernah menyelesaikan masalah dengan Datuk Paduko, walau ia mamak kita di suku ini. Bisa-bisa kedua hektare tanah itu menjadi miliknya. Aku sudah katakan padanya, jangan ikut campur urusan ini. Ini masalah aku dan kamu."

Ia takut denganku, Dir. Bukan karena aku lebih berani dari dia. Selama menjadi datuk, satu tahun yang lalu, entah sudah berapa hektare tanah ulayat yang ia jual. Aku tahu semuanya. Ia pernah memberiku uang empat ratus ribu, tapi tak kuambil. Menatap wajahnya pun aku malu. Apa pun yang aku perbuat di kampung ini, ia tidak melarang. "Bagiku, ia bukan mamak. Ia penjahat."

Aku mesti percaya dengan ucapan Hasim. Ia lebih tahu kampung ini. Aku membenarkan lagi perkataannya. Sebelum aku kembali tinggal di kampung ini, Datuk Paduko minta uang kepadaku, tanpa malu.

Tapi mungkin saja Hasim yang membakar kebun karet. Aku belum tahu untuk tujuan apa.

"Bagaimana, Dir?"

Sebentar lagi malam.

***

Aku tidak habis pikir, tapi ini benar-benar adil, satu hektare satu hektare. Terkurang terlebih saling memaafkan saja. Kami bersalaman tanda setuju, setelah sebelumnya mengukur tanah yang terbakar. Karet-karet yang beruntung tidak dilalap si jago merah, ditebang Hasim.

"Apa yang hendak kau tanami di tanah itu?" tanya Hasim kepadaku.

Aku belum berpikir sejauh itu. Dalam waktu yang dekat, mungkin akan kubiarkan saja. Bisa saja karet, tapi memang harus kupikir ulang. Kalau karet yang ditanam, enam atau tujuh tahun baru bisa ditakiak. Harganya pun tidak pernah memuaskan. Mungkin akan kutanami lada, bisa panen sekali seminggu. Ah, bisa saja bawang atau....

"Biarlah tanah-tanah ini berkabung. Aku tak hendak mengganggunya sementara waktu," kataku.

Aku tak menanyakan ia akan menanam apa. Ia tentu lebih tahu akan menanam apa. Ia mengenal cuaca, harga, lebih ia terbiasa bertani dari kecil. Tapi ia berkata tanpa kutanya.

"Untuk sementara waktu, aku juga sepertimu, belum memikirkan segera menanami lahan kosong ini."

Hasim mengambil segenggam tanah di tapal batas yang telah disepakati. Lalu melemparkannya jauh, tanpa arah.

"Dalam pikiranku sekarang, di tapal batas, akan kuberi pagar. Tinggi sekali. Hingga kau tak bisa melihat ke sebelah, ke tempatku, aku akan menanam apa."

Ia tak menatapku.

Aku pikir ia tidak sedang bergurau.

Ruangsempit, 2008-11

Batas: Judul ini terinspirasi dari lukisan Roni Kurniawan dengan judul yang sama.

Manakiak: Istilah dalam dialek Koto Alam, Pangkalan Koto Baru untuk pekerjaan mengeluarkan getah dari pohon karet kemudian ditampung dengan tempurung kelapa. Biasanya, tempurung kelapa terisi penuh oleh karet seminggu lamanya.

Sagap: Kulit pohon karet yang dicampur dengan getah di dalam tempurung kelapa.

---

Andika Destika Khagen, lahir di Kotoalam, Sumbar, 8 Mei 1985. Aktivis Surat Kabar Kampus Ganto UNP dan bergiat di Komunitas Sastra Ruang Sempit. Beberapa cerpen dimuat di media lokal dan beberapa antologi bersama.