Sabtu, 18 Juni 2011

Sajak Isbedy Stiawan Z.S.


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 26 April 2009
Sajak Isbedy Stiawan Z.S.

Dayung (Part One)

jika letihmu adalah letihku pula

kangen jadi lautnya dan rindu sebagai sampannya

kita akan arungi laut malam ini dengan peluk dan belai

sebagai dayung

bila dayung telah dipatahkan dan perahu dibocorkan

lambung mana lagi sebagai istirahat kita

bila laut masih gelora dan angin berkesiut di tiap layar

pulau mana lagi akan jadi singgah kita

bila pulau telah hilang dan dermaga tenggelam

peristirahatan mana akan labuh kita

bila labuh tak lagi beri sauh ditambat

akankah kita tertambat di laut jauh?

dayung yang kita buat dan pelihara

sekiranya benar-benar patah,

ke mana kita berlayar lagi?

baiklah malam ini biarkan jadi senyap

sebab laut pun akan hilang angin

dan gelombang pesiar di buritan

maka kita akan segera sampai

mencium segala pasir dan cangkang

2009

Di Antara Dua Kota

Setelah jauh aku tinggalkan punggung bukit itu

Pantai yang mengering hingga bekas langkahku hilang

Jalan-jalan jadi mengapung, bekas hujan di dadamu

Aku bisa bercermin, wajahku yang luka

pelipismu yang memutih: "jangan biarkan

aku sendiri di sini," harapmu

Tapi, aku tak bisa menemanimu lagi

Aku sudah lama ingin sendiri, mengepung jalan

Membalikkan langkahku yang lama sudah patah

Di jalan yang dulu sekali buatku tersesat

Di antara dua kota dalam sejarah lama

Memandang kosong...

2009

Dalam Kemelut

tak bisa kuartikan sapamu suatu malam, masih pukul 20.00 dan aku

di angkutan kota yang tengah menembus hujan, suaramu lembut

tetapi bikin hatiku kian kalut. seperti ada kemelut berkecamuk

di benakku, bagai ada lumut di mataku. hanya kukukuhkan

pandangku:

kutahu kau bukan apa-apa lagi, meski pernah mampir dan membuat

kenangan sekejap. "sudah lama aku merindukanmu hai rupawan,"

katamu. aku akan menyimpan ucapanmu sebagai umpan, lalu

aku terlena bagai pemabuk. kesurupan di lantai diskotek

hingga aku pun terjerembab dan lupa di mana rumahku?

ah, kenapa pula kau datang dan menyapa ketika dalam

situasi kemelut seperti ini? orang-orang masih mencari keluarganya

yang rahib di lumpur bendungan itu, dan anakmu yang lelap

bagai pemimpi yang tengah mencari putingmu yang hilang

di antara gerimis, bising musik di angkutan kota, gemerlap

kota bercampur kabut. sungguh, hatiku berdebar saat suaramu

bergetar. teringat aku padamu yang sedang membaca puisi-puisi

di mimbar, dan alunan rambutmu yang dulu bagai daun nyiur

tapi kini terdengar makin membuatku kalut

aku harus apa?

menanti kucingmu beranak lagi, tiga ekor warna-warni, setelah

itu kau benar-benar datang menjemputku?

aku belum siap berkhianat!

karena itu tutup segala wajahmu dengan kain warna-warni,

tapi paling kumuh, agar aku tak mampu menatapmu yang menawan

dengan kembang di sekujur pipimu, dengan aroma di lapisan bibirmu,

dengan puisi di setiap desah katamu

aku hanya gelandangan kini

2009; 9.4

Jalan ke Pemakaman

perutku mual setelah kembang yang disodorkan ke mulutku, dan kau pun

lalu tersenyum. "aku mau pergi dari taman ini, sebab bau kembang tak

lagi membuatku ingin selalu mengenangmu."

tapi di taman mana akan kurebahkan kembang pemberianmu, ketika semua

pemakaman sudah tak lagi menyimpan jenazah. bahkan aku dengar sudah

ditanam beton bangunan atau perumahan elit yang tumbuh di sana. "dan jalan ke pemakaman ini bukan lagi menuju peristirahatan, tetapi untuk sampai ke perumahan itu."

sungguh, perutku mual. tapi aku tak lagi bisa memuntahkan kembang

pemberianmu, jadi setaman…

2009

------------

Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, 5 Juni 1958 dan hingga kini masih menetap di Tanjungkarang, Bandar Lampung. Buku puisi terbarunya Lelaki yang Membawa Matahari (2007) dan Setiap Baris Hujan (2008). Pernah diundang mengikuti berbagai kegiatan sastra di berbagai kota di tanah air, Malaysia, dan Thailand.