Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 26 April 2009 |
Sajak Isbedy Stiawan Z.S. |
Dayung (Part One) jika letihmu adalah letihku pula kangen jadi lautnya dan rindu sebagai sampannya kita akan arungi laut malam ini dengan peluk dan belai sebagai dayung bila dayung telah dipatahkan dan perahu dibocorkan lambung mana lagi sebagai istirahat kita bila laut masih gelora dan angin berkesiut di tiap layar pulau mana lagi akan jadi singgah kita bila pulau telah hilang dan dermaga tenggelam peristirahatan mana akan labuh kita bila labuh tak lagi beri sauh ditambat akankah kita tertambat di laut jauh? dayung yang kita buat dan pelihara sekiranya benar-benar patah, ke mana kita berlayar lagi? baiklah malam ini biarkan jadi senyap sebab laut pun akan hilang angin dan gelombang pesiar di buritan maka kita akan segera sampai mencium segala pasir dan cangkang 2009 Di Antara Dua Kota Setelah jauh aku tinggalkan punggung bukit itu Pantai yang mengering hingga bekas langkahku hilang Jalan-jalan jadi mengapung, bekas hujan di dadamu Aku bisa bercermin, wajahku yang luka pelipismu yang memutih: "jangan biarkan aku sendiri di sini," harapmu Tapi, aku tak bisa menemanimu lagi Aku sudah lama ingin sendiri, mengepung jalan Membalikkan langkahku yang lama sudah patah Di jalan yang dulu sekali buatku tersesat Di antara dua kota dalam sejarah lama Memandang kosong... 2009 Dalam Kemelut tak bisa kuartikan sapamu suatu malam, masih pukul 20.00 dan aku di angkutan kota yang tengah menembus hujan, suaramu lembut tetapi bikin hatiku kian kalut. seperti ada kemelut berkecamuk di benakku, bagai ada lumut di mataku. hanya kukukuhkan pandangku: kutahu kau bukan apa-apa lagi, meski pernah mampir dan membuat kenangan sekejap. "sudah lama aku merindukanmu hai rupawan," katamu. aku akan menyimpan ucapanmu sebagai umpan, lalu aku terlena bagai pemabuk. kesurupan di lantai diskotek hingga aku pun terjerembab dan lupa di mana rumahku? ah, kenapa pula kau datang dan menyapa ketika dalam situasi kemelut seperti ini? orang-orang masih mencari keluarganya yang rahib di lumpur bendungan itu, dan anakmu yang lelap bagai pemimpi yang tengah mencari putingmu yang hilang di antara gerimis, bising musik di angkutan kota, gemerlap kota bercampur kabut. sungguh, hatiku berdebar saat suaramu bergetar. teringat aku padamu yang sedang membaca puisi-puisi di mimbar, dan alunan rambutmu yang dulu bagai daun nyiur tapi kini terdengar makin membuatku kalut aku harus apa? menanti kucingmu beranak lagi, tiga ekor warna-warni, setelah itu kau benar-benar datang menjemputku? aku belum siap berkhianat! karena itu tutup segala wajahmu dengan kain warna-warni, tapi paling kumuh, agar aku tak mampu menatapmu yang menawan dengan kembang di sekujur pipimu, dengan aroma di lapisan bibirmu, dengan puisi di setiap desah katamu aku hanya gelandangan kini 2009; 9.4 Jalan ke Pemakaman perutku mual setelah kembang yang disodorkan ke mulutku, dan kau pun lalu tersenyum. "aku mau pergi dari taman ini, sebab bau kembang tak lagi membuatku ingin selalu mengenangmu." tapi di taman mana akan kurebahkan kembang pemberianmu, ketika semua pemakaman sudah tak lagi menyimpan jenazah. bahkan aku dengar sudah ditanam beton bangunan atau perumahan elit yang tumbuh di sana. "dan jalan ke pemakaman ini bukan lagi menuju peristirahatan, tetapi untuk sampai ke perumahan itu." sungguh, perutku mual. tapi aku tak lagi bisa memuntahkan kembang pemberianmu, jadi setaman… 2009 ------------ Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, 5 Juni 1958 dan hingga kini masih menetap di Tanjungkarang, Bandar Lampung. Buku puisi terbarunya Lelaki yang Membawa Matahari (2007) dan Setiap Baris Hujan (2008). Pernah diundang mengikuti berbagai kegiatan sastra di berbagai kota di tanah air, Malaysia, dan Thailand. |