Selasa, 14 Juni 2011

Cerpen Budi P. Hatees; Kleptomania


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 4 Januari 2009
Cerpen Budi P. Hatees

Kleptomania

AKU mendapatinya telah tergelatak tak bernyawa. Tubuhnya penuh luka yang mengeluarkan darah. Aku tertuduk di sampingnya. Tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak tahu. Ah, sejak awal aku sudah membayangkan semua yang kini menimpanya akan menimpanya pada suatu saat. Dan aku tak berharap hal itu terjadi, maka aku usahakan agar ia berubah. Tapi. Ia tidak pernah berubah. Semakin hari, penyakitnya semakin parah.

***

IA tertunduk serupa takluk. Menyesalkah ia kali ini? Tidak. Ia tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Aku tahu persis. Seringkali ia seperti itu, apalagi kalau kejahatannya ketahuan. Orang seperti dirinya mudah betul mengakui kesalahan, menangis sebagai wujud penyesalan. Tetapi cuma di bibir. Dalam hatinya, ia pasti menertawakan betapa tololnya aku, sehingga bisa dipecundanginya berkali-kali.

Sebab itulah, ini kali aku tidak akan iba lagi padanya. "Aku tak bisa memaafkan perbuatanmu kali ini." Amarahku kupelihara. Dagunya semakin jatuh. "Kau harus menerima hukumanmu..."

Setelah mengatakan itu, mendadak aku bingung. Tak terpikir olehku hukuman seperti apa yang harus aku berikan. Apakah aku menghukumnya dengan tidak memenuhi semua keinginannya? Apakah aku menghukumnya dengan menolak memberikan apa yang dimintanya? Apa hal itu akan membuatnya jera dan tidak mengulangi kejahatannya lagi? Ahk...Aku tidak tahu. Aku malah berpkir tidak akan ada hukuman yang dapat membuatnya berubah. Semua jenis hukuman tidak akan berpengaruh apa pun.

Ia sangat bebal. Kejahatannya pun sudah keterlaluan. Setiap hari ia melakukannya, setiap hari pula aku mesti mengeluarkan uang untuk menganti rugi perbuatannya. Aku melakukan sambil menahan rasa malu dari gunjingan tetangga. Aku menjadi tidak punya muka, tidak berarti mengangkat kepala ketika bertatapan dengan orang. Karena semua mata mencibirku, mengejekku, dan... akh.

Apakah aku harus membawanya ke kantor polisi dan menyerahkan kepada petugas agar mereka yang memberinya pelajaran. Tapi, petugas-petugas itu akan menyakitinya. Itu sangat tak baik baginya. Lagi pula, bukankah akan terkesan keterlaluan. Apa kata orang nantinya? Aku, abangnya--satu-satunya saudara kandungnya--menyerahkan adik sendiri kepada polisi. Pasti akulah yang disalahkan: tidak bisa membimbing adik; tidak bisa. Ah! Orang-orang pasti menilaiku tak cakap sebagai abang. Orang-orang tahu ia seorang pencuri, tetapi orang-orang pasti tidak bisa menerima kalau ia kuserahkan kepada polisi.

Aku meliriknya. Ia masih menunduk. Semakin lama, semakin memelas wajahnya. Semakin aku tak tahan melihatnya. Semakin iba pula aku padanya. Tapi ia sudah keterlaluan. Aku pelihara terus amarahku. Sudah terlalu sering ia mencuri, dan setiap kali ulahnya ketahuan, ia akan mengaku bersalah. Biasanya aku memaafkannya. Tapi, lama-kelamaan sikap memaafkan itu justru membuatnya bertambah keterlaluan. Ia merasa aku sangat membelanya. Ia merasa sangat diperhatikan. Semua itu membuatnya besar kepala, sehingga tetap melakukan hal-hal yang tidak aku sukai.

Kali ini tidak ada maaf lagi. Kalau tidak aku hukum, ia akan semakin keterlaluan. Aku tak boleh lemah. Aku harus bisa bersikap keras. Apalagi, ah, masih terasa pedas di kupingku makian-makian Amani Borkat beberapa jam lalu, sebelum meninggalkan halaman rumah.

"Kau urus adikmu itu. Kalau tak bisa, biar aku yang urus. Tapi jangan salahkan kalau caraku mengurusnya akan mencengangkanmu."

***

IA, adikku, memang lahir bersama dengan ketidaksempurnaannya. Bukan pada kelengkapan fisik, tetapi pada kelengkapan mental. Sejak awal aku sudah tahu, tetapi kubiarkan saja. Aku kira kebiasaannya mengambil barang-barang orang hanya kenalakan biasa pada anak kecil. Kenalakan yang dapat berubah dengan segera jika ia sudah beranjak besar. Aku berpikir kelakuannya itu karena salahku; tak bisa membelikan barang-barang seperti yang dicurinya. Sebab itu, aku tak memarahinya. Karena itu, setiap kali ia membawa barang-barang baru ke dalam rumah, aku tanyakan dari mana ia memperolehnya.

"Aku pinjam," katanya.

Tapi, belum kering bibirnya yang mengatakan "aku pinjam", seseorang berteriak dari halaman rumah. "Hei pencuri, kembalikan barang aku."

Dugaanku ternyata keliru. Aku tak bisa mengawasinya setiap hari. Waktuku banyak habis di luar rumah, bekerja sebagai penjaga toko kelontong milik Koh Han. Setiap aku pergi, ia sendirian di rumah. Cuma kami penghuni rumah. Inilah salah satu sebab sehingga aku mudah sekali merasa iba kepadanya. Akulah satu-satunya kerabatnya. Aku menjadi ayah sekaligus ibu baginya. Akulah tempat ia merengek, bergantung, dan...

Ibu meninggal setelah melahirkannya. Kejadian itu kait-berkait dengan peristiwa sepekan sebelumnya. Ayah ditemukan mati di pasar, ditabrak sebuah truk dalam perjalanan menuju rumah dengan sepeda dayungnya yang membawa beberapa barang untuk dijual di warung kami. Kematian ayah yang begitu mendadak membuat ibu sangat terpukul. Ia begitu sedih sehingga mengabaikan kandungannya, di mana adikku saat itu sudah sembilan bulan, tinggal menunggu hari kelahiran. Ibu sering kupergoki sedang melamun. Rupanya, pada malam hari sebelum ayah meninggal, mereka bertengkar sangat hebat. Aku tidak tahu pertengkaran mereka, karena masih bekerja di pasar sebagai penjaga toko kelontong Koh Han. Mungkin pertengkaran itu sangat memengaruhi ayah sehingga ia melamun sewaktu menggoes sepedanya dan tidak menyadari ia telah berada di tengah-tengah jalan.

Tapi ibu menutup-nutupi kesedihannya. Ia pendam sendiri dan hal itu membuat mentalnya jadi lemah. Ketika ibu merasakan kandungannya akan lahir, pada saat itu pula ia diserang rasa sakit yang hebat pada dadanya. Malam hari ketika itu, untungnya aku baru saja pulang bekerja. Aku dengar rintih ibu, segera kubawa ia ke rumah sakit. Tapi…. Dokter di rumah sakit mengatakan ibu sudah meninggal sebelum anak dalam kandungannya lahir. Karena itu, dokter memeutuskan akan mengoperasi untuk menyelamatkan anak dalam kandungannya. Itulah adikku, ia seorang kleptomania.

Sering aku pikir, ada kaitan antara kejadian yang dialami ibu saat mengandung dengan kebiasaan buruk yang diderita adikku. Tapi pikiran itu segera aku bantah. Kalau pun benar demikian, aku tidak perlu terlalu memikirkannya. Yang terpenting bagimana mengupayakan agar kebiasaan buruk adikku bisa sembuh.

Aku benar-benar bingung menghadapinya. Setiap hari, ada saja orang yang datang ke rumah meminta agar adikku mengembalikan barang mereka yang dicurinya. Masih untung mereka meminta dikembalikan. Ada juga yang minta ganti rugi dengan harga dua kali lipat. Bisa saja aku menolak memenuhi keinginan mereka, tetapi aku telanjur merasa malu kepada semua tetangga. Mungkin karena aku telanjur merasa malu, mungkin karena aku tidak ingin persoalan itu berlarut-larut, adikku merasa aku selalu membelanya. Barangkali ia berpikir, aku akan selalu membayar ganti rugi dari setiap benda milik orang yang dicurinya. Bukankah setelah ganti rugi itu tidak ada persoalan lagi. Ya, sampai ia mencuri lagi, lagi, dan lagi...

Ia mencuri barang-barang orang lain dan tidak merasa telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Mencuri baginya sama seperti tindakan lain seperti mengangkat air dari sumur ke dalam rumah, atau membersihkan piring sisa makan kami. Ketika aku memarahinya, ia diam saja. Ketika aku ingatkan kalau kelakuannya itu salah, terutama karena ia akan merugikan orang lain, ia tetap diam. Ketika aku diam, ia kembali mencuri.

Bukan tak ada usahaku untuk menyembuhkannya. Aku ajak ia berobat ke mana-mana. Mula-mula aku ajak ke dokter umum, tetapi dokter menyarankan agar aku membawanya konsultasi ke psikiater. Karena psikiater hanya ada di kota dan jarak ke sana sangat jauh, aku tidak membawanya ke psikiater mana pun. Akhirnya aku membawanya ke dukun. Oleh dukun ia diberi minum berbagai jenis obat, tetapi hal itu tidak membawa perubahan. Aku tidak puas dengan hanya satu dukun kemudian pergi ke dukun lain di kampung lain. Ada banyak dukun yang aku datangi, hasilnya tetap nihil. Ia bukannya sembuh, malah semakin menjadi-jadi.

Awalnya ia suka mengambil barang-barang kecil, belakangan ia mulai gemar mengumpulkan barang-barang besar. Tiba-tiba saja sebuah televisi sudah ada di rumah, pada saat lain sebuah radio muncul di atas meja. Terakhir, sebuah sepeda gunung sudah ada di belakang rumah. Itulah sepeda milik anak Amani Borkat. Bagiku ini keterlaluan, dan aku memarahinya habis-habisan begitu Amani Borkat pergi membawa sepeda gunung itu kembali.

Ia masih tertunduk. Aku masih bingung soal hukuman yang harus aku berikan. Segala jenis hukuman sudah aku berikan. Tinggal satu hal, menyerahkannya kepada polisi. Tapi, bukankah hal itu akan membuat kondisinya semakin parah? Bukankah ia akan merasa bahwa aku telah melakukan kejahatan terhadapnya? Bukankah ia akan membenciku karena pilihan hukuman itu? Bukankah...

Sesunguhnya aku sangat yakin kalau ia bisa sembuh. Tapi, soal kesembuhan itu sangat tergantung kepada dirinya. Ia harus bisa melawan semua keinginan untuk mencuri itu, begitu keinginan itu muncul. Ia harus keras terhadap dirinya sendiri. Cuma, ia tampaknya tidak mau keras terhadap diri sendiri. Ia tidak mau menekan keinginan mencuri itu agar tidak menguasai kesadarannya. Aku melihat ia malah sangat menyukainya. Ia biarkan keinginan mencuri itu menguasainya dan memerintahnya. Itulah yang sering aku sesalkan. "Kau harus melawan keinginan itu. Kau tidak boleh menurutinya," kataku.

Ia mengangguk. Aku berharap ia mau menuruti apa yang kukatakan. Tapi, hal itu pun tidak banyak berarti. Ia tetap saja mencuri. Setiap kali melakukannya, setiap kali membawa pulang suatu barang ke dalam rumah, ia terlihat sangat berbahagia. Kulit wajahnya selalu memerah dan tatapan matanya berbinar-binar.

***

"ADIKMU," teriak seorang tetanggaku ketika mendatangiku ke toko kelontongan Koh Han. "Mereka mereka mengeroyoknya."

Aku berlari menghampiri orang itu. Orang itu memberitahu kalau warga menangkap basahadikku sedang mencuri di rumah Toke Husin. Aku segera berlari ke arah yang disebutkan orang itu. Aku tak sadar dengan apa yang aku lakukan. Dan benar, segalanya sudah terlambat. Adikku terkapas di pinggir jalan, dikerubuki orang. Ketika aku datang, mereka menyingkir.

Semua orang memandangku ketika aku gendong mayatnya meninggalkan kerumunan. Aku tahu tidak seorang pun yang merasa iba, karena memang adikku sangat keterlaluan. Tapi, apakah orang sakit seperti dirinya harus mendapat perlakuan seperti ini; dibunuh dan dikeroyok beramai-ramai? Di mana letak kemanusiaan mereka? Aku hanya menangis dan menyesali kenapa hal ini harus terjadi. Kenapa pula aku tidak ada di sampingnya sehingga hal ini tidak usah terjadi. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa mengawasinya terus-menerus. Aku punya pekerjaan dan aku melakukanya untuk menghidupinya.

Budi P. Hatees, lahir 3 Juni 1972 di Sipirok, Sumatera Utara