Rabu, 15 Juni 2011

Cerpen Diani Savitri Yahyono

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 5 April 2009

Cerpen Diani Savitri Yahyono

Tabuh Sunyi Sebelum Mati


Beberapa jam sebelum kematiannya.

Lelaki itu terseok menyusuri pelataran memanjang yang terpapar di sisi gedung tua itu. Pendar matahari mencakar, teriknya di sore hari selalu menggelisahkan. Udara menggantung, menguar panas yang diserap sesiangan. Udara tidak mampu dan tidak mau bergerak.

Udara yang diam dibencinya. Udara yang bergeming menyekap alun angin, rasanya menyusutkan kulit tuanya jadi kian kisut dan kusut. Udara yang terpaku memaksa hidungnya mencium berbagai bau, busuk ataupun wangi merasuk. Udara yang diam memerangkap yang baik dan yang buruk jadi satu, menghasilkan sesuatu yang lebih buruk dari yang buruk itu. Hal baik yang terperangkap, dan dipaksa menyatu dengan yang buruk, selalu menyerah kalah dan melahirkan lebih banyak keburukan.

Lelaki itu menghela napas. Meski ia tidak tahu ia akan mati, ia merasa segala hal di sekelilingnya seperti mati.

Gedung tua ini tadinya cukup ramai pada jam-jam tertentu. Tepatnya pada jam-jam pemutaran film bioskop di dalamnya. Bioskop itu memutar film-film yang tidak terlalu baru, mengundang penonton yang cuma lumayan muda dan cuma sedikit tahu mode. Tidak seperti bioskop-bioskop mutakhir yang memutar film-film terakhir. Yang belakangan ini selalu dikunjungi kaum muda kelas atas, yang ibarat air laut riuh bergulung mengombak di tengah laut. Sementara, bioskop gedung tua itu dikunjungi kaum menengah bawah dan kaum dewasa menjelang tua, yang ibarat air laut perlahan merangkak berbuih menggapai pesisir. Kaum yang ada, atau pernah ada, tapi kemudian merepih dan tersisih.

Selain bioskop kelas menengah ini, di ujung lain gedung berbentuk segi empat itu ada satu ruang yang digunakan oleh suatu sanggar kesenian. Pada jam-jam tertentu, guru dan murid sanggar kesenian tersebut saling mengajar dan belajar tarian daerah dan gamelan. Gerak gemulai penari, lantun dengung gamelan, turut meniupkan napas pada gedung tuanya itu.

Ya, gedung tuanya. Miliknya. Ia merasa memiliki gedung tua itu karena cinta, bukan karena kerakusan, atau kerasukan. Ia merasa gedung itu bagian hidupnya, dirinya, yang dirawatnya selama berpuluh tahun, yang kini menua bersama dirinya.

Belum lama ini, ada pemberitahuan bahwa gedung tua itu beralih kepemilikannya. Pemilik yang baru menghendaki hal-hal yang baru terjadi di gedung itu. Bioskop kelas menengah, sanggar tari, dan gamelan, dianggap bukan hal yang baru. Pusat perbelanjaan, restoran, dan segala yang waralaba jadi incaran.

Satu bulan lalu pasukan pekerja bangunan merangsek ke dalam. Mencabuti, melucuti, menanggalkan, meniadakan, apa-apa yang pernah menjadi nadi kehidupan gedung tua itu. Namun kerja mereka tidak lama. Dalam dua minggu riuh rendah pembongkaran lalu seperti membeku. Pekerja bangunan tidak lagi ada yang datang. Kata petugas keamanan dan pengurus sanggar kesenian, pemilik baru melarikan pinjaman dana usaha. Pembangunan terpaksa henti seketika.

Lelaki itu merindukan denyut lembut gedung tuanya. Kehidupan gedung tua yang tadinya mendayu perlahan, lalu dipaksa memacu terengah menjadi bukan dirinya, hanya untuk dibekap napasnya, dicerabut hak hidupnya. Wahai, miripnya dengan diriku, pikir lelaki itu.

Kenangan masa lalu yang sekelebat hinggap, buru-buru ditepisnya.

Andai ia tahu, bahwa ia sebentar lagi mati, tentu diizinkan dirinya untuk bermain sebentar di kubangan kenangan yang tergenang.

Tapi ia tidak tahu ia akan mati.

Dada yang sering sakit, tekanan di ulu hati yang menghimpit, pandangan yang menggelap tanpa pertanda, kepala yang sering terasa hampa. Tidak ada yang dikeluhkan, meski satu per satu rasa sakit datang bergilir, dan belakangan kian kerap hadir. Setiap hari baginya sama saja. Puluhan tahun, rasanya sama. Meski belakangan, semakin sering ia kelaparan. Gaji bulanan tidak diterimanya lagi.

Puluhan tahun setiap subuh ia tinggalkan dingin pembaringannya, untuk menyambut hangat sinar matahari pertama yang berhasil menyeruak dari langit yang seperti retak, di gedung tua itu. Puluhan tahun ia lewati siang yang memanggang, petang yang mengelam, di pelatarannya, untuk kemudian pergi ke rumah dimana pembaringannya terjerang. Pergi hampir selalu dengan perasaan merindu. Ingin segera bertemu dengan gedung tuanya kembali, di keesokan hari.

Puluhan tahun ia tekun menyapu dan mengepel setiap jengkal lantai berkeramik warna merah tanah gedung tua itu. Membersihkan kaca yang memanjang di sisi muka, memisahkan pelataran gedung dengan ruang tunggu penonton, kasir karcis, dan penjaja cemilan seadanya dalam bioskop. Membersihkan kedua kamar mandi yang tersuruk bersembunyi di salah satu sisi gedung. Ia menyayangi gedung tuanya, menyayangi setiap sisi gelap dan terang gedung dengan merawatnya begitu teliti. Ia mungkin hanya petugas kebersihan bagi pengelola gedung, namun baginya ia adalah gedung tua itu sendiri.

Sore itu ia menyambangi gedung tuanya. Ia ingin mengucapkan selamat berpisah sementara. Tidak lagi sering ia bisa mengunjunginya.

Ia baru saja mendapat pekerjaan baru - ketua sanggar kesenian yang sudah lama dikenalnya mengajak turut bantu merawat sanggar dan peralatan gamelan di tempat baru mereka. Mereka pindah ke pinggiran kota, menemukan satu-satunya tempat yang bisa disewa dengan harga murah sesuai keuangan sanggar. Keuangan yang selalu tipis karena kekeraskepalaan ketua sanggar untuk tidak mengambil keuntungan dari keanggotaan, tetapi kepuasan menularkan rasa berkesenian.

Menyisir pelataran gedung, ia terkesiap.

Andai ia tahu ia akan mati, pasti disangkanya perempuan yang berdiri sendiri di kejauhan itu bidadari.

Cantik sekali, katanya dalam hati.

Dan dadanya yang pipih ringkih seperti terasa dihantam gada, saat perempuan muda itu menoleh padanya dan berjalan perlahan menghampirinya.

Mirip Sariti.

Bahkan saat ia belum mati, ia merasa didatangi bidadari. Sariti menjelma jadi bidadari.

"Maaf, Pak, mau numpang tanya."

Lembutnya suaranya. Udara seperti tergugah untuk menari, mendengar lantun lembut suaranya. Lelaki itu merasa udara akhirnya beranjak dari duduknya, mengitari tubuh tuanya, meniupkan angin lembut pada tengkuknya.

Sore tidak lagi terasa mati. Gedung tua tidak lagi seperti mau mati.

"Saya tidak tahu kalau bioskop itu," jari telunjuk perempuan itu gemulai menunjuk bak penari pada kaca memanjang yang banyak pecah, "Sedang direnovasi. Sanggar kesenian yang di sini," ia memutar tubuh sedikit ke arah ruang sanggar dan menunjuk lagi dengan telunjuknya, "Sudah pindah, atau tutup, Pak?"

Lelaki itu tadinya kesulitan berkata. Tapi dipaksakannya juga, "Neng mau nonton atau ke sanggar?"

"Ke sanggar," cepat terjawab. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya. Sariti, apa ini kau kembali?"

"Mau ikut nari?" tanyanya lagi setengah berharap.

Kali ini perempuan itu tidak menjawab cepat. Ia tertawa kecil, jemari tangan kanan melengkung menutupi bibirnya. Ia hampir pasti, ini Sariti yang kembali! Gerak geriknya begitu mirip Sariti.

"Kok, Bapak tahu? Malu, sebenarnya. Sudah tua begini masih baru mau belajar nari. Tapi, ya, saya yang mau belajar nari. Saya baru tahu sanggar ini setelah diliput di koran, beberapa saat yang lalu. Lama saya mencari sanggar kesenian yang mengusung kesenian asli daerah, bukan modifikasi."

Lelaki tua itu seperti mendengar gending gamelan dari kejauhan. Sinar matahari meredup, daun-daun di pepohonan kersen di depan gedung gemerisik, seperti berbisik, "Sariti kembali."

"Belum tua, masih muda begitu, kok. Belum tiga puluh, kan."

Perempuan itu tidak menjawab, hanya tertawa renyah.

"Umur berapa pun, kalau sudah minat dan bakat, tidak apa memulai sesuatu yang baru. Bahkan menari pun. Pernah menari, sebelumnya? Atau...punya turunan darah penari?"

Ia menahan diri untuk tidak gemetar saat akhirnya memberanikan bertanya.

Perempuan itu termangu. Matanya seperti berpendar saat menjawab perlahan, hampir seperti mengkhidmati ucapannya sendiri,

"Ibu saya memang penari. Zaman dahulu saat mudanya. Tapi sejak lama, beliau tidak pernah lagi mau menari."

Perempuan itu merenungi kata-katanya sendiri, hingga lengah mendapati genang air di mata lelaki tua di hadapannya.

Seperti beberapa orang yang akan mati, lelaki itu merasa seakan hidupnya baru akan dimulai kembali, bukan hendak diakhiri. Ia merasa mendengar tabuh lelaguan yang makin semarak dalam hati.

"Mau, saya antar besok ke tempat sanggar yang baru?"

Perempuan itu mengangguk bersemangat dalam kepolosan seorang anak kecil.

"Besok, kita ketemu lagi di sini. Saya antar Neng ke sanggar itu."

Dan mereka berpisah di sana. Setelah mengukuhkan janji untuk bertemu lagi, esok sore hari.

Ia setengah berlari, terseok karena satu kaki tetap sulit berfungsi setelah dihajar siksa penjara puluhan tahun lalu. Pulang, menuju rumah dengan kamar kecil indekos yang telah disewanya puluhan tahun. Tak dihiraukannya napasnya yang semakin berat dan dada kirinya yang mendadak seperti ditekan ujung tumpul gelondong kayu. Ia hanya ingin segera sampai ke kamar sempitnya, mencari satu-satunya foto yang dibawa dari masa lalunya.

Foto Sariti dan dirinya, di malam pengantin mereka.

Ia hampir merasa pasti.

Perempuan tadi begitu mirip Sariti, perempuan yang dinikahinya satu tahun sebelum saat orang banyak membunuhi orang banyak lainnya di negeri ini. Perempuan yang dipisahkan begitu saja darinya, saat keduanya terpenjara dan dianiaya. Hanya karena terpikat untuk belajar berbudaya dan berkesenian, di suatu lembaga kesenian yang lalu didakwa jadi bagian organisasi sangat terlarang di negara ini. Tahunan dipenjara, ia tidak pernah mendengar tentang Sariti lagi.

Entah benar atau tidak, anak itu dari rahim Sariti.

Tapi tidak masalah. Mungkin benar, mungkin tidak. Itu bisa ditanyakan, saat mereka bertemu lagi esok hari. Dan akan ditanyakannya, Apakah Sariti, ibumu?

Dan lalu, Apakah Sariti, ibumu, berbahagia?

Dan itu yang penting baginya. Bahwa Sariti akhirnya berbahagia.

Sayang, tidak mungkin baginya bertanya.

Sebentar lagi ia akan mati. ***

Diani Savitri Yahyono