Rabu, 15 Juni 2011

Sajak M. Aan Mansyur

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 5 April 2009

Sajak M. Aan Mansyur

Bulldozer >> JUDUL


/1/

kelas enam

pertama kali berkelahi

teman sebangku

mempermalukan

ia kuak rahasia saya:

takut bulldozer

keluar! pindah!

kepala sekolah

(yang tak pernah ramah)

marah-marah

di rumah

saya bertanya

kenapa saya takut bulldozer?

waktu saya belum cukup setahun

sawah keluarga diratakan bulldozer

(bulldozer warna kuning, kata ayah)

ada orang-orang kaya dari jakarta

suka sekali beli tanah murah

buat membuat rumah,

rumah-rumah mewah

bulldozer mau melindas ayah

yang tak mau dibayar murah

tapi akhirnya dia kalah

lalu mengalah

pasrah

terpaksa

/2/

di sekolah menengah

saya diminta ayah

masuk jurusan ilmu alam

biar bisa kuliah di fakultas teknik

biar bisa membuat bulldozer

yang lebih perkasa

yang lebih raksasa

ujian masuk universitas

saya gagal jadi mahasiswa teknik

dan terdampar di sastra indonesia

saya pernah bilang pada ayah

kata-kata lebih kuat dari bulldozer

(mengutip kalimat dosen puisi saya)

dia tertawa keras-keras

(dulu parang saya tak bisa apa-apa, katanya,

bagaimana kau bisa pakai kata-kata buat berperang?)

kemudian dia menangis

sambil mengelus-elus kepala saya

/3/

tahunan kuliah

saya pikir bisa bikin berani

menantang bulldozer

tapi di televisi saya lihat

banyak bulldozer:

besar dan sangat kasar

malah saya tambah gentar

saya tak masuk kuliah seminggu

waktu ada bulldozer menggali

selokan di depan kampus

saya putuskan seorang gadis manis

yang nyaris sebulan membuat saya jadi pengemis

setelah tahu ayahnya kepala bagian di trakindo

saya pura-pura pergi mendaki gunung

(membawa semua puisi-puisi saya)

saat pemukiman di dekat asrama digulung

/4/

setelah sarjana

(sarjana sastra indonesia

nilai rata-rata hasil main mata)

dan dikenal sebagai penyair

saya tetap takut bulldozer

di dalam puisi-puisi

saya takut menulis bulldozer

saya lebih nyaman menulis

pohon-pohon, senja dan gerimis

tapi tadi sesaat sebelum tiba jingga senja

(saat jendela diterpa gerimis)

di televisi, di gambar-gambar berita,

tanpa sengaja saya lihat tentara-tentara bersenjata

dengan bulldozer mencabut pohon-pohon zaitun

dan ibu-ibu yang merantai leher mereka di pohon-pohon itu

saya menangis,

menangis dengan jari-jari gemetar

(saya melawan rasa takut)

ingin sekali bisa menulis,

menulis puisi bulldozer

2009


Kepada Aku dan Beberapa Penyair Lain >>> JUDUL


puisi ini

tiba-tiba membenci aku.

betapa. entah kenapa.

1. hujan

puisi ini

juga benci beberapa penyair lain

yang meskipun sudah tua

masih senang bermain hujan

dan, huh, alangkah manja

seperti tidak pernah belajar

menabung di sekolah dasar

bahwa hujan atau kesedihan

(atau apapun nama lainnya)

tidak baik diboroskan saat hidup

bahwa sisihkanlah airmata sebagian

agar bisa membiayai kesepian di masa depan,

di dalam kuburan

2. senja

puisi ini

juga benci beberapa penyair lain lagi

yang meskipun matanya masih sehat

tak pernah bisa melihat

warna asli senja

selalu saja jingga

atau paling-paling merah dan kuning

(apa beda jingga dengan merah-kuning?)

padahal senja itu bening

seperti air mata anak-anak

yang bukan genangan sedih,

yang bukan sedih kenangan

2009


Seorang di Bawah Pohon Meminta Selembar Tissue >> JUDUL


(sore di sepi taman

di bawah sebuah pohon)

ia menumpahkan airmata

karena seseorang yang meninggalkannya

dan seseorang lain yang mungkin akan meninggalkannya

apakah anda punya selembar tissue? ia bertanya

(aku bayangkan pohon di atasnya

runtuh dan jatuh di tubuhnya)

hanya dibutuhkan airmata

buat membersihkan airmata

tissue tak mencintai pohon, kataku

lalu kembali berlari-lari kecil menjaga kesehatan

karena besar mencintai diri dan istriku

2009


Surat Wasiat Singkat >> JUDUL


di surat wasiat

kalimat singkat yang kau catat

telah tiba padaku sebagai kalimat cacat

sebagaimana semua kalimatmu yang aku ingat

meminta obat,

meminta dirawat

aku akan tetap mencintaimu,

dan kau tepat mencintaiku?

aku tahu kau ragu, sangat,

meletakkan tanda tanya di akhir kalimat

2009


M. Aan Mansyur, lahir di Bone, 14 Januari 1982. Kumpulan puisi yang sudah terbit: Hujan Rintih-Rintih (2005) dan Aku Hendak Pindah Rumah (2008).

-------------