Sabtu, 18 Juni 2011

Cerpen F. Moses


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 24 Mei 2009
Cerpen F. Moses

Malam ini Banyak Bintang Berjatuhan

AKU seperti menghitung waktu dengan 10 jari tangan. Apakah lama apakah sebentar. Betapa seperti tidak terhitung, ketika itu semua kuhitung secara berulang-ulang dalam hitungan pada jari-jemari, tentunya.

Cukup mengagetkan, suatu malam di kota ini, hampir seluruh bintang berjatuhan. Hingga meninggalkan beberapa saja yang tersisa, itu pun tak lagi terlihat utuh seperti bintang. Malam tanpa bintang. Malam hanya menyisakan bulan redup. Bagaimana bisa terjadi? Entah. Apa yang harus kukatakan lagi dalam situasi (bila harus kukatakan ini sebenar-benarnya sungguh terjadi) begini kepada engkau. Bintang berjatuhan tanpa henti, seperti hujan.

Kekasih, ada harus kulapor pada engkau malam ini. Penting. Aku tak kuat lagi menerima kenyataan macam begini. Sebab bintang pada berjatuhan malam ini. Apa lagi yang harus kujadikan pujian lewat bibir merdu dengan mata sedikit sendu, macam begini. Atas tiadanya dunia yang seperti biasa berpenuh oleh rembulan dan semarak bintang-bintang.

Dalam keadaan berjarak aku setiap sekali saban malam, padahal. Tanpa berhenti merajut kata untuk sebisa mungkin menembus telingamu, untuk perlahan tersampaikannya kata itu menembus hatimu yang kuyakin tak bercelah. Harapku. Kini bisa dibilang tak lagi. Adakah mesti lainnya?

Atas semua itu pula, akhir-akhir ini, semua orang dijadikannya mati daya. Entah daya apa. Tak banyak dibuat oleh mereka karena keadaan begini. Sesuatu di luar firasat karena bintang-bintang pada berjatuhan.

Semua bintang pada berjatuhan. Semuanya berjatuhan tanpa henti. Anehnya saat pagi, siang, maupun sore menjelang senja, bintang-bintang tak pernah berhenti berjatuhan. Apalagi pada waktu malam, saat semua dalam keadaan sadar atau tak sadar tertembus oleh rajut mimpinya masing-masing. Mimpi mereka menjadi terganggu oleh bintang-bintang yang tengah berjatuhan.

Adakah bisa engkau bayangkan sekali lagi, kekasihku, di tengah asyik masyuknya mereka dirajut oleh mimpi, rumah mereka dijatuhi oleh banyak bintang.

Bintang-bintang yang begitu banyak, tanpa kenal lelahnya menjatuhkan diri. Kalau sudah begini, sekali lagi, lantas apalagi bahan pujian dariku untuk engkau, sejak banyak bintang pada berjatuhan di sini, kekasihku? Akankah lidah ini menjadi kaku untuk sementara waktu. Tak hanya sementara, mungkin juga untuk waktu agak sedikit lama, ya. Ah, betapa sulitnya aku mendeskripsikan tentang waktu. Apakah lama. Apakah sebentar.

MESKI demikian, adalah sesuatu yang mungkin saja untuk aku memercayainya. Akankah engkau juga percaya atas sesuatu itu?

Aku menjadi semakin menerawang tanpa hentinya, saban hari: mendongak ke arah langit untuk meratap luasnya cakrawala kala tepat pukul 11 malam. Bertanya dalam hati. Mengapa hampir semua bintang menjatuhkan dirinya. Adakah kamu memang benar-benar bintang di angkasa raya, yang seperti biasanya acap dijadikan oleh beberapa penyair untuk bergurau sejenak di atas kertas? Kataku dalam hati.

Banyak orang di tempat aku tinggal juga terheran-heran. Inikah mimpi. Inikah mimpi, kata mereka. Sambil menampar ringan pipi kiri dan kanannya sendiri. Adakah yang salah atas kekacauan akhir-akhir ini, kata orang banyak lainnya sambil bersungut. Lantas akal sehat aku pun lindap, sepertinya tertelan oleh suara mereka.

O ya, kekasih, ada yang paling mengkhawatirkan dari kejadian malam begini. Tentang bagaimana mungkin kelak akan aku ceritakan kepada anak kita, esok. Bayangkan, jika akhirnya bintang yang selalu biasa bersibuk memesonakan kita, kini menjatuhkan dirinya masing-masing, padahal mereka hanyalah bintang. Berdagingkah mereka? Terlukakah mereka? Memar dan pecahkah mereka? Atau, mungkin, sesungguhnya tak apa bagi mereka. Hmm, sungguh tak habis pikir. Omong-omong tak habis pikir, bukankah siapa lagi mau berpikir, selain aku di dalam keadaan telanjur riuh dan amat terdesak.

O ya, kekasih, maafkan aku, jadinya malah berlantur-ria hari ini aku bicara dengan engkau. Pokoknya, untuk engkau tahu, banyak bintang berjatuhan malam ini.

MEREKA pun menjadi berlarian sekuat tenaga. Berlarian seperti tidak mampu menguasai kebingungannya masing-masing.

Seluruh kota menjadi lumpuh. Seluruh jalan raya, gang-gang kecil maupun besar, kali besar juga kali kecil, sepanjang ruas-ruas jalan, dan gedung-gedung bertingkat, tertancap oleh bintang-bintang yang berjatuhan itu. Ya, tertancap. Dan tak perlu kuceritakan lagi kepada engkau, kekasihku, bagaimana rupa bintang-bintang itu yang menancap di kepala sebagian orang. Suatu peristiwa aneh, bukan? Lantas, matikah orang itu. Sekali lagi, tak perlu kuceritakan lagi, kekasihku. Mengerikan.

Kekasihku, adakah engkau mendengarkanku? Kekasihku. Kekasihku. Kekasihku. Adakah engkau mendengarkanku?

ADAKAH sesuatu yang lain harus kuceritakan pada engkau pula? Engkau yang tahu aku atau engkau yang memang hingga kapan pun tidak tahu siapa engkau sebenarnya. Sementara, terkadang, adalah rasa bosanku kepada engkau atas ketidakpercayaan ini mungkin, itulah penyebabnya.

Sementara untuk engkau yang lain, aku tak perlu memberitahu engkau apakah kekasihku benar-benar mendengarkanku. Asal engkau tahu, kekasihku tidak lain tidak bukan bergemar sebagai pendengar setia. Sudahlah, tak perlu panjang lebar untuk soal ini.

KARENA senyata-nyatanya aku memang bagian dari engkau. Aku begitu membutuhkan engkau karena aku yakin engkau pun demikian. Tidak lain tidak bukan kita memang saling membutuhkan. Itu saja.

Lelapkankanlah mata engkau untuk segera menyambut esok pagi, kekasihku. Bangun dan kemudian rasakanlah bau pagi yang agak sedikit terbagi karena semakin banyaknya bintang-bintang berjatuhan hingga menembus tanah. Pada tanah basah maupun kering.

Dan orang-orang, saking seringnya melihat banyak bintang berjatuhan tanpa hentinya saban hari saban malam, paling senang melihat atau mendengar bintang-bintang berjatuhan ke tanah basah; tersebab lancipnya bisa langsung amblas menyeruak tanah. Bencinya, bila bintang-bintang itu berjatuhan ke tanah kering; dengan mudahnya menjadikan banyak orang bisa saja terbatuk-batuk hingga sesak napas akut. Karena pekatnya tanah kering acap menimbulkan debu beterbangan.

O ya, kekasihku, aku ingin engkau tetap mendengarkanku. Aku percaya engkau masih setia untuk mendengarkanku. Meski terkesan tak masuk akal. Masih adakah kebenaran yang tak masuk akal, dalam kenyataan kita memang masih mampu melihatnya secara bersamaan.

Bintang-bintang itu berjatuhan dari atas langit. Ya, atas langit. Entah dari langit keberapa. Tentang langit keberapa, bukankah aku sejak kecil sudah terdoktrin bahwa di atas langit masih ada langit, dan ada langit lagi? Entah mesti keberapa kalinya bahwa di atas langit masih ada langit. Entah, bintang-bintang yang berjatuhan itu dari langit keberapa. Dalam kebimbangan, kadang aku masih belum mampu memercayai masalah itu.

DAN adakah engkau memercayai aku? Dalam ketidaktahuan engkau yang tidak akan pernah tahu seberapa dalam engkau untuk benar-benar saling mengetahui. Bukankah kita ada karena untuk tidak saling mengetahui sebelumnya? Dalam kenyataan engkau benar-benar di hadapanku atau hanyalah dalam bayanganku belaka.

Kekasihku, marilah bersama-sama kita bertukar cerita untuk keanehan bintang-bintang yang berjatuhan malam ini.

Oh ya, kekasihku. Aku tahu engkau selalu dalam keyakinanku. Keyakinan yang aku rasa kau pasti bingung atas kata-kataku. Aku yakin itu.

Keayakinan itu mendekati benar. Karena dalam bayanganku, engkau pun berkata kepadaku.

"Cerita apa yang harus kutukar darimu yang sejak tadi menceritakan bintang-bintang pada berjatuhan. Hanya menjadikan kesedihan saja," kata engkau.

Ya, kata engkau. Kata engkau, kekasihku, yang begitu sangat ketakutan tanpa sepengetahuan engkau saat banyaknya bintang-bintang berjatuhan pada malam ini.

Kembali aku mendengar kata engkau tadi, dari lubuk hati paling dalam dan paling sunyi, seolah engkau begitu sangat keras hati. Tak apa. Bukankah keras hati milik kita semua yang selalu penuh mimpi. Adakah engkau bayangkan sekali lagi, dalam pertemuan bayang-bayang kita ini, bahwa sekeras dan seindah bintang di angkasa raya lamat-lamat terjatuh juga.

Kekasihku, barangkali, kita dan banyak orang di sini mencemaskan bintang-bintang yang selalu saja berjatuhan sejak kemarin lalu sampai saat ini. Ya, bintang-bintang pada berjatuhan. Bagaimana kalau kehadiran mereka tak sebagai bagian dari angkasa raya lagi?

Dan tiba-tiba dalam bayanganku, dengan semangat engkau kembali berkata, kekasihku.

"Lantas, sebagai bagian kehidupan kita di sini. Hmm, sangat aku suka sekali," kembali kata engkau, kekasihku, dengan amat lugunya. Amat sederhana.

"Bukan begitu kekasihku," kataku.

Aku tak melanjutkan kata-kataku. Kecuali dalam hati: habis sudah kata-kata termanis itu. Sebuah kata ungkap dari hati paling manis. Kata dari seperti biasanya aku menembus batas mata engkau dan beberapa perasaan untuk menembus garis tubuh engkau. Bayangkan saja, seperti biasanya, saban malam kita tak pernah berhenti memerhatikan gemerlap bintang gemintang, untuk kemudian kita saling berbalas pantun tentang persoalan-persoalan bintang. Kini tak bisa lagi.

DAN akhirnya, kita memang harus mengetahui terlebih dahulu sebelum memutuskan lebih jauh, bukan? Untuk membedakan antara mimpi dan kenyataan. Meski keduanya itu, kata masyarakat, akhir-akhir ini, cenderung saling berkait.

Ya, memang tak bisa lagi. Karena tiba saja, pagi ini menjadi begitu mengejutkan. Engkau membangunkanku tepat pukul 07.00, kekasihku. Dengan mata sedikit terpicing karena cahaya pagi yang menembus gorden dari balik jendela tepat menabrak wajahku, langsung saja kusambar remote televisi. Terdengar berita pagi tentang para bintang kesiangan, telah memenuhi banyak ruang di rumah sakit jiwa maupun lembaga pemasyarakatan. Selain melakukan bunuh diri dan menjadi gila akut.

Kemudian tentang bintang-bintang itu? O, hanya mimpi. Walaupun demikian, bukankah mereka adalah para bintang bagi massa-nya waktu itu?

Aku tak peduli. Lantaran pagi ini bukan mimpi lagi, kataku. Dalam hati.

Nah...

Gg. Manyar, Mei 2009

----------

F. Moses, lahir 8 Februari 1979. Alumnus Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Bermukim di daerah Telukbetung, Bandarlampung. Sejumlah puisi dan cerpen pernah termuat di berbagai media.