Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 24 Mei 2009 |
Sajak-sajak Esha Tegar Putra |
Di Kutub di sebuah kutub aku menemuimu dengan nama yang tergantung di pucuk-pucuk bambu senantiasa kuimpikan kau (hei... yang bersarang seumpama ketapang) kau yang begitu lapang kupandang di langit matamu awan berarak sintal di langit matamu tersimpan danau yang beriak tenang di langit matamu bulan tersulam dari bubungan air hujan dan di langit matamu kulihat anak-anak menari dengan eloknya; menari lepas seakan menapak di sabana luas begitulah aku mengenalmu di kutub yang tertelungkup kutub tempat bermain para binatang berbulu lebat hingga suatu kali aku mengajakmu berlari ke bibir selat memandang hujan lebat di sebuah tanjung yang jauh laut terlihat begitu pucat segerombolan burung terbang menukik kau terkaget dan memekik melihat kejadian yang belum pernah kau saksikan sebelumnya :kutubmu mendung, langitnya seolah terkurungsebuah tempurung hitam, dan perlahan kesiur angin mengarak dedaun dari jauh, hingga meluruh di langit matamu kini kulihat hujan dengan lebatnya turun kumaknai itu sebagai rindu akan kutubmu muasal pusarmu tumbuh dan dipanjangkan (hei... yang bersarang serupa ketapang) kurindui kau, serindu pohonan berpucuk baru. aku begitu gagu, bila mengucapmu dengan kalimat penuh haru Kandangpadati, 2009 Meninggalkan Sepasang Sajak di sepertiga malam saat kelam makin merambat kudengar kau akan berangkat, dengan sebuntal sesat di kepala aku tak begitu yakin; entah kau ingin beringsut menuju sebuah lembah tempat para siamang senang bergelayutan. Atau kau ingin ke dasar laut belajar menelurkan kandungan tiram, memperanakkan ikan-ikan, berusaha menjaga rumah cangkang dengan kelembutan yang begitu hebat subuh perlahan turun seketika guruh menabuh sekian sunyi subuh menjadi gaduh, sunyi makin tertabuh begitu ampuh meniupkan terompet nyeri. kudengar kau telah berangkat, menghilang di tikungan ujung sebuah jalan, sembari beramanat tentang rumah dengan pintu yang tidak dikunci agar dijaga dengan baik. tentang seruang kamar dengan almari, sepasang kursi, dan tempat tidur dari kayu jati tentang sepasang sajak yang beranak pinak seketika kau gantungkan di dinding. sajak yang tubuhnya bergeletar kedinginan sebab kau lupa memasangkan selimut sepasang sajak itu: "yang jantan tak berlengan tak berkaki, jantungnya terus menyenandungkan aubade dengan ritme yang teramat pelan dan tubuhnya seakan dipenuhi bunyi hujan pagi" "yang betina, punggung dan dadanya penuh koyak pisau, wajah tanpa mata dengan ceruk yang begitu dalam, di bibirnya bekas jahitan panjang mengingatkan pada sakitnya malam" (sementara anak-anak yang mereka tetaskan tumbuh dengan sempurna. anak-anak yang selalu mengeluarkan kata-kata mesra penuh dengan makna) Kandangpadati, 2009 Hikayat Cinta yang Pendek langit teduh di sekian teluh, hikayat melayang terbang terbujur melarung dari bibir selat ke ujung tanjung sungguh, siapakah yang mengerti maksud isyarat murung selain perompak bermata sebelah berkaki buntung jikalau tuan hendak menebus kesalahan di ini kisah baiknya kunjungi lepau dan beli kopi daun agak secawan agar nanti dentum meriam tak selalu diartikan kapal pecah dan pendayung patah tak dimaksud sampan akan dibenam sungguh benar dari laut cerita bermula dibentang seketika langit teduh tanpa peluh dan elang berputar tenang saudagar kapal datang hendak berbelanja rempah berkarung untuk dibawa ke kampung orang berambut pirang di padang, di dermaga gadang tikar pandan dibentang para tuan berjual lada, kelapa, garda munggu, cengkeh dan pala di gudang-gudang pasar lama pun terungguk itu barang berupa bawaan dari tanah darek, tanahnya para raja ada petanda jam gadang telah dibuat, berdentum bunyi meriam dari bukit jirek sampai ke tanah lapang tempat muda bertemu pandang bermulalah geletar jantung, di jejak jembatan lipapeh yang kian diam sungguh pun dua cinta akan berpisah di ujung dermaga teluk padang tapi inilah rasa, dari zaman berpandang adalah hina masa tuan berbendi, sambil berlagak memakai kopiah dan tuan mencatat tiap kedipan mata pada setiap lembaran lama ini masa uang masih diukur dengan setali-dua tali bukan rupiah maka cinta adalah sebuah pikulan beban pada karung sandang yang diangkut para kuli setiap saat ke gudang-gudang harap dimaklumi sebab belum ada pengganti rindu berpandang di ini zaman bergandengan juga sebentuk rintang dan halang "duh, berapa lamakah lagi kita bakal dipisah ini kapal dari jao sudah merapat yang kesekian kalinya janganlah tuan sampai nantinya sampai berulah aku sudah menaiki pedati lamban sekian jauh jaraknya" "kalaulah dikau tak percaya selat akan merapatkan bibirnya usah tergiur bunyi terompet yang didengung itu kapal sebab diri cuma dagang, kerap dikur dan ditimbang tanda bakal dipermainkan di tiap pekan jika tak sedikit membual" "ahai, tuan belahan hati dan jantung, sepunggung tulang kuserahkan kalaupun kita tak bersua nantinya, hafallah muasal bulan susut dan jikapun tuan tak bakal meraja dilemahnya sebilah badan agar dibuhul itu janji jangan seumpama pintalan benang kusut" tetaplah cinta jadi sesuatu yang purba, sedari lama sejak zaman memasak ditunggu memakai kayu gaharu tentunya ini kisah harus diputus dulu agak beberapa lama agar nantinya tak berebut maksud dengan sesuatu yang baru Kandangpadati, 2009 Obituari Seorang Penari pagi ini hanya ritmis gerimis terdengar pelan menendang punggung daunan ketukan kecil dan samar datang dengan nada sederhana tapi aku memendamnya dalam, sangat dalam seolah bayanganmu tersusun rapi, abadi pada percahan cermin yang kerap menemanimu bersolek setiap riasanmu pucat "bahwa penari dengan lekuk tubuh tambun belum tentu jeli bergoyang" kalimatmu itu sering terlempar keluar dari ingatanku seakan sayat luka yang panjang, berkelindan (atau barangkali patah tulang) yang resam di pinggulmu kerap menghantuiku oi, pagi yang ritmis dengan nada gerimis mengamsalkan tangis dan punggung daun itu merupa lekuk sintal tubuhmu yang di sekian pagi menyisakan wangi pandan sesekali bau kulit manis terus terhela tempias air sampai menyangkut ke gelungan kumis hinggap pada bulu klimis para lelaki yang setiap bulan naik menemani kau bergoyang-berimpitan (bahkan sering mencubit pipimu dan berulang mengedipkan sesuatu yang genit) bahwasannya di pagi dengan ritmis gerimis ini adalah sisa geletar goyangmu di atas sesak panggung sebab malam kerap menenggelamkan lesung pipit yang susah payah kau tampakkan di balik riasan tebal dan, bahwasannya tendangan air di daunan, ketukan kecil yang mengejutkan serangga kecil, juga tampuk yang berusaha melepaskan diri itu telah mengingatkanku padamu penari dengan tubuh sintal dan goyangan penuh maksud kerap pagi datang berulang dengan isyarat suara dari luar sana, "bahwasannya goyangan adalah sisa dari luka dan patah punggung, dan biar di tiap gerimis turun akan ditelantarkannya kesakitan ini". suaramu pelan sepelan ritmis gerimis pagi ini Kandangpadati, 2009 Esha Tegar Putra |