Sabtu, 18 Juni 2011

Sajak-sajak Esha Tegar Putra


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 24 Mei 2009
Sajak-sajak Esha Tegar Putra

Di Kutub

di sebuah kutub aku menemuimu

dengan nama yang tergantung di pucuk-pucuk bambu

senantiasa kuimpikan kau (hei... yang

bersarang seumpama ketapang)

kau yang begitu lapang kupandang

di langit matamu awan berarak sintal

di langit matamu tersimpan danau yang beriak tenang

di langit matamu bulan tersulam dari bubungan air hujan

dan di langit matamu kulihat anak-anak menari

dengan eloknya; menari lepas seakan menapak di sabana luas

begitulah aku mengenalmu

di kutub yang tertelungkup

kutub tempat bermain para binatang berbulu lebat

hingga suatu kali aku mengajakmu berlari ke bibir selat

memandang hujan lebat di sebuah tanjung yang jauh

laut terlihat begitu pucat

segerombolan burung terbang menukik

kau terkaget dan memekik melihat kejadian

yang belum pernah kau saksikan sebelumnya

:kutubmu mendung, langitnya seolah terkurung

sebuah tempurung hitam, dan perlahan kesiur angin

mengarak dedaun dari jauh, hingga meluruh

di langit matamu kini kulihat hujan dengan lebatnya turun

kumaknai itu sebagai rindu akan kutubmu

muasal pusarmu tumbuh dan dipanjangkan (hei... yang

bersarang serupa ketapang) kurindui kau, serindu pohonan

berpucuk baru. aku begitu gagu, bila mengucapmu

dengan kalimat penuh haru

Kandangpadati, 2009

Meninggalkan Sepasang Sajak

di sepertiga malam saat kelam makin merambat

kudengar kau akan berangkat, dengan sebuntal sesat di kepala

aku tak begitu yakin; entah kau ingin beringsut menuju sebuah lembah

tempat para siamang senang bergelayutan. Atau kau ingin ke dasar laut

belajar menelurkan kandungan tiram, memperanakkan ikan-ikan, berusaha

menjaga rumah cangkang dengan kelembutan yang begitu hebat

subuh perlahan turun seketika guruh menabuh sekian sunyi

subuh menjadi gaduh, sunyi makin tertabuh begitu ampuh meniupkan

terompet nyeri. kudengar kau telah berangkat, menghilang di tikungan

ujung sebuah jalan, sembari beramanat tentang rumah dengan pintu

yang tidak dikunci agar dijaga dengan baik. tentang seruang kamar

dengan almari, sepasang kursi, dan tempat tidur dari kayu jati

tentang sepasang sajak yang beranak pinak seketika kau gantungkan

di dinding. sajak yang tubuhnya bergeletar kedinginan sebab kau

lupa memasangkan selimut

sepasang sajak itu:

"yang jantan tak berlengan tak berkaki, jantungnya

terus menyenandungkan aubade dengan ritme yang teramat pelan dan

tubuhnya seakan dipenuhi bunyi hujan pagi"

"yang betina, punggung dan dadanya penuh koyak pisau, wajah tanpa

mata dengan ceruk yang begitu dalam, di bibirnya bekas jahitan panjang

mengingatkan pada sakitnya malam" (sementara anak-anak yang mereka

tetaskan tumbuh dengan sempurna. anak-anak yang selalu mengeluarkan

kata-kata mesra penuh dengan makna)

Kandangpadati, 2009

Hikayat Cinta yang Pendek

langit teduh di sekian teluh, hikayat melayang terbang

terbujur melarung dari bibir selat ke ujung tanjung

sungguh, siapakah yang mengerti maksud isyarat murung

selain perompak bermata sebelah berkaki buntung

jikalau tuan hendak menebus kesalahan di ini kisah

baiknya kunjungi lepau dan beli kopi daun agak secawan

agar nanti dentum meriam tak selalu diartikan kapal pecah

dan pendayung patah tak dimaksud sampan akan dibenam

sungguh benar dari laut cerita bermula dibentang

seketika langit teduh tanpa peluh dan elang berputar tenang

saudagar kapal datang hendak berbelanja rempah berkarung

untuk dibawa ke kampung orang berambut pirang

di padang, di dermaga gadang tikar pandan dibentang

para tuan berjual lada, kelapa, garda munggu, cengkeh dan pala

di gudang-gudang pasar lama pun terungguk itu barang

berupa bawaan dari tanah darek, tanahnya para raja

ada petanda jam gadang telah dibuat, berdentum bunyi meriam

dari bukit jirek sampai ke tanah lapang tempat muda bertemu pandang

bermulalah geletar jantung, di jejak jembatan lipapeh yang kian diam

sungguh pun dua cinta akan berpisah di ujung dermaga teluk padang

tapi inilah rasa, dari zaman berpandang adalah hina

masa tuan berbendi, sambil berlagak memakai kopiah

dan tuan mencatat tiap kedipan mata pada setiap lembaran lama

ini masa uang masih diukur dengan setali-dua tali bukan rupiah

maka cinta adalah sebuah pikulan beban pada karung sandang

yang diangkut para kuli setiap saat ke gudang-gudang

harap dimaklumi sebab belum ada pengganti rindu berpandang

di ini zaman bergandengan juga sebentuk rintang dan halang

"duh, berapa lamakah lagi kita bakal dipisah

ini kapal dari jao sudah merapat yang kesekian kalinya

janganlah tuan sampai nantinya sampai berulah

aku sudah menaiki pedati lamban sekian jauh jaraknya"

"kalaulah dikau tak percaya selat akan merapatkan bibirnya

usah tergiur bunyi terompet yang didengung itu kapal

sebab diri cuma dagang, kerap dikur dan ditimbang tanda

bakal dipermainkan di tiap pekan jika tak sedikit membual"

"ahai, tuan belahan hati dan jantung, sepunggung tulang kuserahkan

kalaupun kita tak bersua nantinya, hafallah muasal bulan susut

dan jikapun tuan tak bakal meraja dilemahnya sebilah badan

agar dibuhul itu janji jangan seumpama pintalan benang kusut"

tetaplah cinta jadi sesuatu yang purba, sedari lama

sejak zaman memasak ditunggu memakai kayu gaharu

tentunya ini kisah harus diputus dulu agak beberapa lama

agar nantinya tak berebut maksud dengan sesuatu yang baru

Kandangpadati, 2009

Obituari Seorang Penari

pagi ini hanya ritmis gerimis

terdengar pelan menendang punggung daunan

ketukan kecil dan samar

datang dengan nada sederhana

tapi aku memendamnya dalam, sangat dalam

seolah bayanganmu tersusun rapi, abadi pada percahan cermin

yang kerap menemanimu bersolek setiap riasanmu pucat

"bahwa penari dengan lekuk tubuh tambun

belum tentu jeli bergoyang"

kalimatmu itu sering terlempar keluar dari ingatanku

seakan sayat luka yang panjang, berkelindan (atau

barangkali patah tulang) yang resam di pinggulmu

kerap menghantuiku

oi, pagi yang ritmis dengan nada gerimis

mengamsalkan tangis

dan punggung daun itu merupa lekuk sintal tubuhmu

yang di sekian pagi menyisakan wangi pandan

sesekali bau kulit manis terus terhela tempias air

sampai menyangkut ke gelungan kumis

hinggap pada bulu klimis para lelaki

yang setiap bulan naik menemani kau bergoyang-berimpitan

(bahkan sering mencubit pipimu

dan berulang mengedipkan sesuatu yang genit)

bahwasannya di pagi dengan ritmis gerimis ini

adalah sisa geletar goyangmu di atas sesak panggung

sebab malam kerap menenggelamkan lesung pipit

yang susah payah kau tampakkan di balik riasan tebal

dan, bahwasannya tendangan air di daunan, ketukan kecil yang

mengejutkan serangga kecil, juga tampuk yang berusaha

melepaskan diri itu telah mengingatkanku padamu

penari dengan tubuh sintal dan goyangan penuh maksud

kerap pagi datang berulang dengan isyarat suara

dari luar sana, "bahwasannya goyangan adalah sisa dari

luka dan patah punggung, dan biar di tiap gerimis turun

akan ditelantarkannya kesakitan ini". suaramu pelan

sepelan ritmis gerimis pagi ini

Kandangpadati, 2009

Esha Tegar Putra