Rabu, 15 Juni 2011

Cerpen Hary B. Kori'un

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 1 Maret 2009

Cerpen Hary B. Kori'un

Luka Beku

AKU berpikir, inilah mungkin saatnya harus menjelaskan padamu bahwa kesalahpahaman yang terjadi memang harus diselesaikan. Bukan menjadi sebuah kebencian, yang kemudian--kulihat kemarin--menjadi bara di matamu: Barangkali sebuah dendam. Bukan salahmu, tetapi hukum di negeri ini yang tanpa pasti, sehingga memang benar-benar sampai hari ini apa yang terjadi padamu--juga ratusan lainnya--tidak pernah diungkapkan lagi.

Namun, mengapa engkau harus memperlihatkan bentuk kekecewaan itu hanya kepadaku? Matamu. Aku memang benar-benar melihat kekecewaan di sana, di sebuah pertemuan yang tidak terduga yang seharusnya menjadi surprise untuk kita. Tetapi hal itu hanya menjadi kejutan buatku. Karena, ketika aku nyaris patah hati mencarimu selama ini, engkau muncul, dan menjelaskan padaku bahwa masih ada laki-laki yang mau menerimamu, barangkali juga dengan rasa cinta seperti aku dulu. Namun, aku tetap tidak menemukan danau yang bening di mata kecilmu. Ada bara di sana, dan aku tak tahu sampai kapan kamu harus memendamnya.

Hingga kini, aku masih menyimpan cinta untukmu. Sebuah cinta yang harus engkau pahami terbebas dari perasaan iri, ukuran mata atau warna kulit. Aku yakin, engkau masih percaya padaku bahwa hingga hari ini aku masih berusaha mengungkapkan bahwa apa yang terjadi padamu dan perempuan-perempuan lain sekulit denganmu pada peristiwa lebih sepuluh tahun yang lalu, memang benar-benar terjadi. Namun pertemuan kemarin, sedikit-banyak telah menjelaskan padaku, meski aku akhirnya bukan pilihanmu--karena sejak profesiku gagal membantu engkau dan korban lainnya di Mei 1998 yang gelap, engkau kemudian pergi meninggalkanku tanpa sebab dan pesan. Engkau menganggap kami--terutama aku--tidak sungguh-sungguh. Karena, seperti yang engkau katakan dalam emosi yang tinggi dulu, tuduhan bahwa aku tidak bisa menerima dirimu tersebab peristiwa itu, pasti selalu berada dalam benakmu.

"Katakanlah dengan jujur, siapa sih laki-laki yang mau menerima seorang perempuan setelah dia digilir orang-orang tak dikenal dengan brutal. Bahkan polisi pun tidak menolong kami, wartawan menganggap kami mengada-ada, apalagi jaksa. Hukum seperti apa ini? Aku memang China. Kami semua China, apa salahnya menjadi China? Apakah karena ada satu China yang buruk kemudian seluruh orang China semuanya brengsek dan ada pembenaran untuk dijarah, dibunuh, dan diperkosa? Ini benar-benar tidak adil!"

"Engkau salah menafsir, Vi..."

"Di mana salahnya? Apakah kamu ingin aku menjelaskan kepada semua orang, bahwa aku korban perkosaan, mau difoto, kemudian dipampangkan di halaman depan koranmu, dan semua orang menjadi tahu bahwa aku menjadi wanita yang tidak punya masa depan..."

"Apakah engkau merasa tidak memiliki masa depan?"

"Kamu ngomong begitu karena tidak merasakan bagaimana pedih dan sengsaranya kami. Kami dibuat agar tidak punya harga diri lagi. Kami benar-benar dihancurkan..."

Engkau kemudian menangis panjang dan memelukku erat. Sangat erat.

***

Peristiwa itu memang telah mencabik-cabik dirinya: hatinya, perasaannya. Meski aku paham Vivian adalah wanita yang tegar, tapi sampai mana batas ketegaran seorang perempuan jika diperlakukan seperti itu? Sebab aku paham, hampir semua korban perkosaan mengalami trauma sepanjang hidupnya.

Aku berada di lapangan ketika peristiwa itu terjadi. Ketika Jakarta dibakar, toko-toko dijarah dan kerumunan massa membuas seperti beruang lapar, aku memotret dan sekaligus reporting di Slipi Jaya, ketika puluhan pegawai sebuah swalayan terjebak api dan akhirnya mereka tidak terselamatkan. Aku menangis, benar, air mataku meleleh ketika menyaksikan itu, ketika tidak ada seorang pun yang bisa menolong mereka. Dan aku hanya bisa memotret api yang menjadi raja dan sewenang-wenang, dan harus mencatat berapa jumlah korban di sana.

Ketika sampai di kantor dan akan menghidupkan komputer untuk menulis berita, aku membaca pesan yang menempel di monitor: Rusdi, ada telpon dari Vivian Candrawati. Harap hubungi balik ke rumah. Sangat penting. Aku cemas. Kemudian cepat-cepat aku menelpon. Namun, menurut adiknya, dia hanya menangis, tidak mau menerima teleponku. Aku kemudian ke rumahnya. Dia tidak mau menemui. Aku memaksa dan masuk ke kamarnya. Aku mendapati dia tersedu kehabisan air mata menelungkup di pembaringan. Dia kemudian memelukku, lama. Tidak ada kata-kata, hanya isakan.

Hingga akhirnya dia menjelaskan telah terjadi proses penglepasan naluri binantang ke dalam tubuhnya. Tanpa kemanusiaan. Hanya karena dia China. Aku marah, semarah-marahnya. Apakah karena dia China kemudian ada penghalalan dan pembenaran sebuah agama untuk melakukan perkosaan? Mengapa tidak ada orang gereja atau ulama yang menyerukan agar perbuatan itu tidak dilakukan? Ternyata, keyakinan beragama tidak bisa membunuh gejolak binatang. Padahal, hampir semua orang di negeri ini memeluk agama, dan semua agama mengutuk perkosaan.

Dia baru keluar dari kantornya, di sebuah bank swasta di Sudirman, ketika massa mulai marah. Dia mencoba berjalan ke sebuah halte. Namun dia kemudian sadar, tidak ada bus atau angkutan apa pun yang akan datang. Dia kemudian berjalan bersama teman sekerjanya ke arah Blok M. Namun, belum genap 100 meter dia dan teman-temannya berjalan, kerumunan massa mulai mengejar. Mereka berteriak: "China laknat! Kembalikan kekayaan kami! Ayo, mereka sebangsa bangsat, tidak ada harganya. Bahkan kita perkosa pun, kita yang malah dapat pahala. Ayo, kejar mereka!"

Dia dan beberapa temannya mencoba lari, namun itu hanya memperpanjang napas. Karena setelah itu, puluhan laki-laki kekar dan beringas itu sudah menangkapnya bersama teman-temannya. Dia dan tiga temannya kemudian dinaikkan ke sebuah mobil bak terbuka dan dibawa ke suatu tempat, ke sebuah bangunan yang tak berpenghuni. Namun di sekitar itu, saat itu, banyak massa yang merusak dan membakar gedung lainnya. Di sanalah, Vivian, kekasihku, dan tiga temannya harus menerima nasib tragis.

Aku kemudian menulis berita itu. Bahwa dalam kerusuhan Mei 1998, ada perkosaan, dengan indikasi dimobilisasi. Namun, aku harus bertengkar dengan Mas Ruhiat, redakturku. "Kamu jangan aneh-aneh Rusdi. Jangan membuat cerita yang tidak masuk akal-lah..."

"Apakah Mas tetap menganggap tak masuk akal jika itu terjadi terhadap istri atau anak gadis Mas? Ini fakta, dan jika pun bukan pacarku yang diperkosa, aku tetap akan menulisnya! Ini tidak benar. Negeri ini sudah mirip negri drakula, bahkan hewan pun tidak pernah memperkosa lawan jenisnya!"

***

Aku semakin mendapat angin karena beberapa pekan kemudian, beberapa LSM yang bergerak dalam advokasi perempuan menemukan banyak fakta, bahwa memang benar ada kasus perkosaan yang direncanakan dan dimobilisasi sebuah kelompok. Banyak media yang kemudian memberitakannya, dan Mas Ruhiat kemudian menjabat tanganku. "Kita yang pertama kali memberitakannya, Rusdi. Dan kamu yang pertama menulis. Kita menang beberapa langkah..."

Buset! Bahkan yang ada dalam otaknya hanya persaingan.

Namun aku kemudian sangat kecewa. Perkembangan selanjutnya memang buruk. Polisi enggan mengusut kasus itu karena tidak ada bukti autentik, tidak ada bukti meteri yang bisa menjelaskan terjadinya perkosaan itu, apalagi dilakukan secara massal dan terorganisasi. "Kita bekerja berdasarkan bukti materi. Jika tidak ada bukti, hanya kekonyolan yang kita dapatkan. Kecuali, jika ada korban yang mengadu dan bersedia menjadi saksi, baik untuk penyidikan atau saat di depan hakim..," ujar salah seorang pajabat kepolisian.

Hukum memang membutuhkan bukti materi. Tetapi jika para korban kemudian muncul dan memberi kesaksian, aku yakin, masalahnya juga tidak akan selesai kalau tidak ada niat mereka untuk menegakkan hukum. Para wanita itu hanya akan menjadi tontonan dan cemoohan orang sepanjang hidupya.

Namun, alternatif itu kuusulkan kepada Vivian dan LSM-LSM agar melakukan cara itu, jika memang berani menanggung risiko moral.

"Jika kita menang, risiko moral itu akan hilang dan akan menjadi awal bagi pendidikan peradilan kita. Tetapi jika kalah, barangkali memang akan sangat buruk..."

Aku sangat bersemangat, merasa bahwa aku memang seorang pembela. Padahal dengan kesadaran yang sesadar-sadarnya, bahwa aku hanya seorang wartawan dengan jabatan reporter, yang bahkan untuk menurunkan berita yang kutulis pun aku tidak memiki hak.

Vivian marah dan mengatakan bahwa dia tidak bisa mengambil risiko seberat itu. "Aku barangkali bisa menanggung itu, Rusdi. Tetapi bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana dengan ayah, ibu, dan adik-adikku ketika membaca di koranmu atau melihat di televisi, ketika semua orang tahu bahwa aku korban perkosaan? Tidak Rusdi. Jika hukum memang memihak orang benar, tentu kamu tidak mengusulkan cara itu..."

Sayangnya, hukum memang bukan milik masyarakat ketika itu. Aku hanya terobsesi film The Accused. Aku sadar sesadar-sadarnya, bahwa budaya di Amerika dengan di sini berbeda. Aku kemudian menjadi maklum dan tidak lagi memiliki gairah untuk reporting. Sebab, berbulan-bulan aku melakukan itu, berusaha membela Vivian, teman-temannya dan ratusan wanita senasib dengannya, ternyata tidak ada hasilnya. Aku hanya seorang wartawan, bukan pemilik negara, atau setidaknya pemilik koran. Aku menjadi tidak bangga lagi dengan profesi yang sekian tahun kubanggakan. Aku baru ingat kata-kata ironis, bahwa kadang-kadang, revolusi harus memakan anaknya sendiri.

Hingga akhirnya aku paham, kebencian Vivian kepadaku memang benar adanya muncul dari emosional dan keputusasaan. Meski berkali-kali aku mengatakan padanya bahwa aku mencintainya dan tetap menerimanya dengan apa adanya. Namun, dia tetap bersikeras bahwa aku sama dengan orang-orang itu. Ada dendam di dadanya. Dan itu sangat membara, membakarnya. "Mengapa Rusdi? Apakah memang orang-orang pendatang seperti kami bukan bagian dari manusia yang memiliki harga diri dan martabat? Apakah sekat pribumi dan orang asing harus tetap ditumbuhkan untuk menjelaskan mana bangsa yang beradab dan lebih unggul? Okelah kalau begitu, aku percaya barangkali aku akan selalu meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar mencintaimu. Tetapi, karena sekat itu akan tetap ada, kita memang tidak bisa untuk tetap bersama. Cinta barangkali memang tidak ada artinya, sebab yang menang adalah kebencian, dendam dan keputusasaan. Aku mencintaimu, sangat. Tetapi aku memiliki sakit hati, dendam dan keputusasaan itu!"

Dia kemudian pergi tanpa kabar. Juga keluarganya. Menurut tetangganya, dia kembali ke Nanking, tanah asalnya. Aku menjadi sangat kehilangan.

Hingga kemudian, kemarin kami berjumpa. Dia bersama seorang laki-laki yang sewarna kulitnya dan sama lebar matanya. Aku tidak tahu apakah dia suami atau kekasihnya. Tetapi, jelas ada yang luka dalam diriku. Bukan hanya sebatas cemburu: barangkali luka, pilu dan ngilu. Sebab, dia tetap memelihara dendam di matanya, juga keputusasaannya, meski aku juga menemukan ada perasaan rindu.

Memang, bukan hanya sebatas cemburu: barangkali luka, pilu, dan ngilu, dalam hatiku. Sebab, meski dia mencintaiku "seperti pengakuan terakhirnya", tapi dia tetap tidak percaya bahwa cinta bisa membebaskan orang dari batas-batas yang membuat perbedaan. Dia memang tidak pernah percaya--aku melihat dari matanya yang sebenarnya indah meski ukurannya kecil--dengan semua itu.

Aku ingat ketika menghiburnya dulu: "Bagiku, tak penting engkau tidak perawan, aku tetap mencintaimu."

"Persoalannya bukan perawan atau tidak, Rusdi. Tetapi harga diri!"

"Di mataku kau tetap wanita dengan segala harga dirimu."

"Suatu saat nanti kau akan menarik ucapanmu..."

Hingga hari ini, aku tak pernah menarik ucapanku itu.

Jakarta November 1999--Pekanbaru Januari 2009


Hary B. Kori'un, wartawan dan editor buku-buku sastra di Yayasan Sagang (Pekanbaru).