Selasa, 14 Juni 2011

Cerpen Joni Syahputra


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 18 Januari 2009
Cerpen Joni Syahputra

Nursyiah di Kamar Sempit

Perempuan itu generasi terakhir bernama Nursyiah di kampungnya, atau mungkin saja di Minangkabau. Setelah itu tidak ada lagi orang tua yang mau menamai anaknya dengan nama itu atau sejenisnya. Kuno. Orang-orang cenderung memberikan nama yang lebih modern untuk anaknya; Santi, Rika, Mely, Reni, Dewi, dan sebagainya. Belakangan malah nama-nama barat juga disukai, Stevani, Jacklin, Evelin, Robert, dan banyak lagi yang lain.

Tidak aneh kiranya jika di kampung kecil, terpinggir, tidak ditemukan lagi nama-nama lama seperti Udin, Syamsudin, Thahar, Burhanuddin, Nursyiah, Syamsimar, dan lain sebagainya. Tapi bukan soal nama yang menarik bagi perempuan enam puluh itu. Yang sangat menjadi pusat perhatian bagi saya adalah kisah hidupnya. Sudah tiga tahun belakangan ini ia terserang stroke. Untung hanya sebelah badan bagian kiri saja. Ia tidak punya anak perempuan, hanya empat orang anak lelaki saja. Bagi masyarakat Minang, tidak punya anak perempuan itu sungguh malang sekali. Hanya anak perempuanlah yang diharapkan bisa merawat ketika tua nanti. Kalau anak laki-laki, ya, paling ia tinggal di rumah istrinya.

Jarang sekali anak lelaki di Minang yang mau tinggal di rumah orang tuanya. Terlarang bagi adat. Anak lelaki kalau sudah dewasa dan berumah tangga, ya, pergi dan akan dianggap si anak hilang. Kembali atau tidak, toh, jangan diharapkan lagi.

Untung ia bisa ingat keluarga dan orang tuanya. Tapi kebanyakan memang tidak ingat lagi. Ia sibuk di rumah istrinya itu. Semua pencahariannya, apalagi jika istrinya rakus, ya akan habis di sana. Tidak pernah lagi dikirim untuk orang tua dan keluarga.

Tapi Nursyiah termasuk orang yang masih beruntung, istri anaknya yang pertama mau merawatnya. Jarang sekali menantu di Minang yang bisa bersikap seperti itu. Kebanyakan malah mencurigai orang tua suaminya. Apalagi jika sang suami seorang pegawai negeri dan orang tuanya datang pada tanggal-tanggal muda.

Nursyiah sekarang malah tinggal di rumah istri anaknya itu. Tiga orang anaknya yang lain hidup merantau dan tidak ada kabarnya. Tapi, walaupun masih sempat tinggal di rumah istrinya itu, artinya, masih ada tangan-tangan halus perempuan yang mau mengurusinya, aku masih tetap prihatin melihat kondisi perempuan itu.

Di kamar sempit, berukuruan dua setengah kali dua meter, ada sebuah dipan sederhana yang dibuatkan anaknya. Di sekeliling dinding kamar itu dipasang pipa kecil untung berpegangan. Aku melihatnya malah seperti pipa tempat bergelantungan di bus kota. Jadi kalau ia ingin duduk sendiri tidak usah memanggil-manggil anaknya. Cukup berpegangan dan menggapai di pipa kecil itu.

Tentunya jika ingin mandi atau buang air ia harus memanggil-manggil anak-anaknya itu.

Pertama kali mendengar ia terserang stroke, aku ingin sekali bergegas datang ke rumahnya. Tapi karena kampungnya dari tempatku jauh, niat itu belum pernah kesampaian. Bahkan, ketika suaminya meninggal sekalipun aku juga tidak sempat datang.

Awal pertama kali aku mengenalnya, waktu itu di musim liburan anak sekolah, sekitar sepuluh tahun silam. Ia datang ke tempat tinggal saya dan juga tempat tinggal suaminya. Kami berdua tinggal di mes dosen, suaminya juga seorang dosen. Selain kami, masih ada dua orang lagi yang tinggal di tempat itu. Waktu itu ia datang bersama anaknya yang paling kecil, Khalid namanya.

Khalid kecil sungguh riang. Ia anak kesayangan di keluarga. Sebagai si bungsu, ia berhak berlaku apa saja, meminta ini itu tanpa suatu jua yang ditolak, termasuk menghardik ibu dan bapaknya sendiri kalau terlambat menghidangkan nasi atau sambalnya terasa tak enak.

Setiap pagi, aku melihat Khalid kecil itu bermain air di kran belakang. Walaupun sebenarnya aku ingin mencuci baju, tapi karena Khalid kecil asyik main air, aku urungkan saja niat itu. Sampai siang, Khalid kecil masih asyik dengan permainannya itu. Ia hanya berhenti ketika perut sudah lapar.

Muslim, bapaknya, sangat menyayanginya. Ia begitu bangga punya anak seorang Khalid. Konon kabarnya, ia pernah menang dalam lomba gigi seri tersehat se-Kabupaten Lima Puluh Kota. Hal itu selalu berulang-ulang diceritakannya ketika ada kesempatan kepada kami, penghuni mes itu.

Walaupun kami sudah mendengar cerita itu hampir puluhan kali, tapi kami selalu mengomentari hal yang sama, seolah-olah komentar itu belum pernah kami tanyakan sekalipun. "Wah..wah..wah...pasti rajin gosok gigi, anak siapa dulu."

Muslim hanya cengar-cengir mendengar komentar berbau pujian yang kami berikan itu. Ia juga bangga karena Khalid ternyata mampu bermain sendirian. Berbeda dengan kakak-kakaknya yang lain, yang rada-rada nakal.

Sampai Muslim juga menceritakan awal perkenalannya dengan Nursyiah

itu. Perempuan itu begitu anggun dulunya. Seorang guru sekolah menengah pertama di kampungnya. Malah ia yang tercantik di kampung itu. karena itulah ia mau mengambil risiko hidup berjauhan. Istrinya di Payakumbuh dan ia di Padang, dipisahkan jarak sekitar 180 kilometer.

Waktu itu jarang sekali penduduk di sana yang berprofesi sebagai guru. Apalagi suaminya juga seorang dosen. Karenanya Nursyiah sangat dihormati di kampung itu. Walaupun ia bukan istri kepala desa, tetapi pekerjaan ibu PKK sudah dihandelnya. Ia jadi pembina PKK di sana. Apapun acara-acara di kampung itu ia selalu dilibatkan. Bahkan pidato kepala desa ketika menyambut pak camat, acara kepala desa dan lain-lainnya, ia yang mengerjakan.

Ketika beberapa tahun berlalu, ketika aku baru kembali dari luar negeri untuk melanjutkan studi, aku kembali ingat dengan perempuan itu. Maka bersama istri, aku cepat-cepat naik travel ke Payakumbuh.

Ketika menemuinya di rumah itu hatiku begitu lintuh. Aku melihatnya di rumah sendirian. Di saat itu tidak ada orang. Kata tetangga, anaknya pergi bekerja, menantunya juga.

"Sudah sering saya lihat ia tinggal sendiri di rumah. Pintu dikunci dari luar".

"Apa Pak?" kata saya terkejut.

"Ya, bahkan kalau ingin buang hajat, ia selalu berteriak minta tolong."

Aku terdiam mendengarnya.

Walaupun tidak bisa masuk karena pintu terkunci, aku bisa melihatnya dari balik kaca. Waktu itu ia bahkan tidak bisa berdiri dan mulutnya seakan-akan berkata, "lelaki ini pasti kenal denganku."

Dan memang, alangkah terkejutnya ketika dari gerak mulutnya itu aku melihat ia seakan menyebut namaku.

"Joooohaaannnn..."

"Kauuuu Johaaaannn...bukan..."

"Ya...Ya...Aku Johan..."

"Beginilah nasib Uni."

Perempuan itu tak bisa menahan air matanya. Ia mendekatkan wajahnya ke kaca dan air matanya jatuh ke dari pelupuk mata yang sudah mulai menghitam itu. Aku tak bisa berkata banyak karena memang tidak bisa masuk. Pintunya dikunci.

Dan tiba-tiba... "Pluarrrr..."

Aku terkejut, sebuah kompor terjatuh karena diterjang seekor kucing dan api menjalar dengan cepat. Astaga, pasti anaknya lupa mematikan kompor sebelum pergi.

Perempuan itu berteriak di dalam kamarnya itu. Aku mencoba mendobrak pintu, tetapi tidak sanggup dan perempuan itu minta tolong dari dalam. Aku berteriak-teriak minta tolong ke tetangga yang lain, tapi tidak ada yang datang.

Perempuan itu sudah berteriak minta tolong. Sebentar saja api mengepul dengan besar. Api bahkan sudah menjalar ke kamarnya itu.

"Tolong...tolongg..."

Api kian menjalar, perempuan itu terpanggang di dalam kamar itu. Bau daging terbakar menjalar dan menusuk hidungku.

Ia masih berusaha memukul-mukulkan tangannya ke kaca dan berteriak,

tetapi aku tidak bisa menolong sama sekali.

Padang, awal Januari 09

Joni Syahputra, lahir di Solok, 31 Desember 1979. Alumni Sastra Inggris Universitas Negeri Padang. Cerpen Joni Syahputa lainnya >>klik di sini>>