Rabu, 15 Juni 2011

Cerpen Muhammad Amin

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 8 Februari 2009

Cerpen Muhammad Amin

Menanti Tamu Istimewa

Jak ipa, haga dipa

Jak tandang, haga mulang1)

***

PADA tujuh anak tangga rumah panggung, Tamong Ibrahim duduk memeting gambus tua--lebih tua dari dirinya. Bubatui2) melagukan Mati Kajong. Entah sudah beberapa hari ini dia melakukannya selalu, sampai datang sesuatu yang ditunggu-tunggunya itu. Tidaklah salah jika suatu ketika dia segera menganggapnya sebagai tamu istimewa, teramat istimewa bahkan.

Biarkan dia mengkhayalkan sesuatu yang indah sejenak karena tamu istimewa itu akan membawakan sesuatu yang teramat istimewa buatnya, yang mungkin akan menuntaskan semua kebahagiaan yang ditunggu-tunggunya selama ini.

Angin yang menggesek dedaun semakin mempertegas kesenyapan. Jeritan samang yang bergelayutan pada pelepah nipah dan suara auman, seperti auman harimau, di bukit-bukit batu yang ditumbuhi pohon-pohon liar dan belukar seolah membentuk simfoni yang bermain, melahirkan nada yang kian membuncahkan hati dan perasaannya.

Di setiap dentingan gambus dan suara tua yang semakin serak melafalkan isi hati yang hanya bisa diterjemahkan oleh alam. Melayarkan lembaran-lembaran tentang masa lalu. Bahwasanya dia kini sebatang kara dalam perkampungan tercinta ini, mengais sisa kenangan, menanti tamu istimewa.

Dulu, memang kakek-buyut orang-orang di kampung ini berjaya, mereka kaya raya karena hasil cengkih yang melimpah. Orang-orang yang tidak punya kebun cengkih pun bisa ikut menikmati hasilnya. Orang-orang dari Batu Patah, perkampungan di atas bukit sana, kebanyakan turun untuk upahan. Kebanyakan orang pendatang. Apalagi jika sudah datang masa panen.

Mereka hidup enak. Ada yang memperluas tanah, menjadi juragan. Bahkan tidak jarang mereka yang pergi ke Mekah, mengambil gelar haji. Banyak Pak Haji dan Bu Hajah yang lahir dari hasil cengkih. Haji Ismail Baharuddin, begitu jika orang menyebut nama kakeknya. Hampir di setiap nama terdapat titel "haji". Dia pun sebenarnya akan segera berangkat berhaji bersama istri. Semua persiapan sudah matang. Uang sudah dipersiapkan.

"Alhamdulillah yu Dik, ganta gham dapok cakak haji moneh."3)

"Yu Bang, saya bersyukur dikeni kesempatan mit Tanoh Suci."4)

Namun rencananya segera ditunda karena sang istri sakit keras selama berminggu-minggu. Dibawa ke dukun ini, dukun itu tak juga membuahkan hasil. Lalu dibawa ia ke rumah sakit di kota dengan menggunakan perahu bermotor karena harus menyeberang laut. Rupanya laut tak mengizinkan mereka pergi untuk sementara waktu. Ombak menggunung dan langit menggulita.

"Bang, saya ngilu mahap. Gara-gara saya, Abang mak laju cakak haji. Saya haga mulang, Bang."5)

Yang diajak bicara belum tahu ke arah mana maksud yang disampaikan oleh istrinya. Mereka membawanya pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, tahulah dia maksud "pulang" yang diucapkan perempuannya. Dia telah benar-benar pulang.

Demikianlah. Rencananya untuk pergi haji tak pernah ia laksanakan. Sialnya, semuanya di luar dugaan, semua tanaman cengkih terserang penyakit yang tak mereka mengerti. Batang-batang cengkih mati serempak karena kerontang dan ditumbuhi jamur putih-putih pada pohon. Harga di pasaran anjlok. Demikian pula para petani cengkih, orang-orang kaya pun langsung jatuh miskin. Mereka yang hanya menggantungkan hidup pada bunga cengkih, tidak biasa dan tak bisa membikin usaha lain. Banyak yang telah terlena karena terbiasa hidup enak hingga akhirnya tak bisa hidup seadanya. Namun tak sedikit pula mereka yang beralih terjun mencari penghidupan di laut.

Hatinya yang melepuh dan mengering menjadi abu, kini berangsur-angsur memulih. Kedua putranya masih kecil. Satu masih duduk di bangku sekolah dasar, yang satu lagi masih kanak-kanak. Rambut mereka kemerah-merahan sama seperti anak-anak laut lainnya di kampung ini.

Kini tak ada pekerjaan lain baginya selain mencari tangkapan ikan di laut yang selalu menyimpan misteri. Berangkat sore hari, baru pulang setelah pagi. Perahu cadik bermesin, dipakai untuk dua orang, kadang mengobor, membawa petromak sebagai penerangan dan menarik perhatian ikan-ikan.

Pagi hari anak-anak laut sudah menunggu bapak-bapak mereka pulang dari melaut. Kadang sambil bermain, mandi di muara, memanjat pohon, mengambil dugan atau buah nipah, mencari kerang.

Setelah si pelaut pulang, anak-anak mereka akan berteriak berkeliling kampung menjualkan ikan-ikan segar. Begitulah sehari-hari mereka jalani seperti perputaran waktu yang tak pernah berhenti.

Jika siang hari, perkampungan lengang dan senyap. Udara kering. Sepi seperti tak berpenghuni karena anak bujang dan gadis lebih memilih bekerja di Jakarta, meski tahu tak mudah mengais rupiah di ibu kota.

Suatu ketika datanglah kabar gembira untuk mereka. Bahwasannya sebagian besar tanah mereka, bekas tanaman cengkih yang sudah tak terawat, akan dibeli oleh orang proyek, sebuah perusahaan asing. Segalanya menjadi gairah kembali karena orang-orang tentunya akan jadi kaya lagi. Semua orang menyambutnya dengan senang hati, kecuali Tamong Ibrahim sendiri. Entahlah, dia merasa gamang sekarang. Hatinya tak menentu.

Orang-orang kampung menganggapnya sudak tak waras lagi. Dia lebih sering sendiri, membawa gambus tua ke mana pun ia pergi. Dia bulagu, kadang di bawah pohon, di tepi muara. Lagunya yang bisa menghanyutkan siapa saja yang mendengarnya, membawanya ke negeri entah-berantah.

Di rumahnya dia tinggal sendiri. Kedua putranya sudah bujang, seperti pemuda-pemudi lain, lebih memilih tinggal di kota besar. Beranak-beristri di sana. Tak banyak yang dapat ia harapkan dari mereka berdua. Pulang untuk menjenguknya setahun sekali pun ia sudah bersyukur. Padahal, dia rindu sekali menimang cucunya dan bertemu anak menantu.

***

"Kamu memang bodoh Ibrahim. Buat apa tanah yang tak terawat itu kita biarkan saja membusuk. Lebih baik kita jualkan saja." Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari salah seorang penduduk yang sangat ingin cepat-cepat tanah mereka dijual. "Kita diuntungkan, mereka pun untung. Tak ada pihak yang dirugikan di sini. Jika tanah yang jarang kita sentuh itu kita jadikan uang, kan bisa buat modal usaha."

"Bukan tanah itu saja yang akan mereka garap, tapi perkampungan ini juga akan terkubur di bawah proyek mereka," Tamong Ibrahim membela diri.

"Kalau soal itu, kenapa mesti repot? Kita bisa pindah ke tempat yang lebih layak, jika perlu jangan jauh-jauh dari sini agar kita bisa jadi tenaga kerja."

"Ibrahim, apa yang kamu pertahankan di sini. Kita tak akan mendapat apa-apa jika tak menjualnya. Kita akan mendapat banyak uang, bisa kita gunakan untuk apa saja. Kamu pakai nolak segala. Apa kamu sudah gila?"

Bukan itu yang ia mau. Dia sendiri tidak tahu. Dia benar-benar merasa sendiri. Di tengah keadaan seperti ini tidak ada sedikit pun yang mau mendukungnya untuk mempertahankan kampung tercinta ini.

Tanah di sini adalah milik dan hasil perjuangan kakek-buyut mereka. Seharusnya mereka sendiri yang mampu mengolahnya. Jika saja mereka tidak berlaku malas-malasan. Apalagi tanah ini akan dimiliki oleh orang asing, perusahaan milik orang dari negeri jauh sana. Investor dari Taiwan, dan banyak lagi hal-hal yang tidak ia mengerti. Namun toh akhirnya dia mengalah juga. Dia jualkan semua tanah yang ia miliki.

***

"Pak Kepala, tolong beri saya kesempatan untuk tinggal di sini beberapa hari saya. Jiwa saya sudah melekat di sini, jadi susah rasanya untuk meninggalkannya begitu saja."

"Tapi Pak, penduduk sudah pindah semua. Saya hanya memberi saran agar kita segera mengosongkan tanah yang sudah kita jual."

"Iya, saya mengerti. Tapi hati saya masih terpaut di sini. Lagi pula saya masih akan menunggu tamu istimewa yang akan datang dalam waktu-waktu dekat ini."

"Siapa itu, kalau boleh saya tahu?" Tamong Ibrahim tak mau menjawab. Biarlah hanya dirinya yang tahu.

"Baiklah kalau begitu, karena saya buru-buru, saya mohon pamit." Pak Kepala Pekon mengakhiri perbincangan. Setelah mengantar tamunya ke luar, Tamong Ibrahim menaruh uangnya di dalam lemari pakaian.

***

Pada tujuh anak tangga rumah panggung, Tamong Ibrahim duduk memeting gambus tua, bubatui melagukan Mati Kajong yang berulang-ulang ia nyanyikan. Udara kering berembus ke arahnya. Senyap jua membekapnya.

Sebentar lagi, perkampungan terpencil yang dikelilingi bebukitan terjal dan berdiri di atas lumbung besi dan batu galena ini benar-benar akan terkubur di bawah proyek pertambangan.

Dirinya merasa tak sanggup menyentuh uang bertumpuk-tumpuk di dalam lemari hasil penjualan tanahnya. Sementara penduduk telah memilih tempat yang lebih baik, dia hanya ingin di sini. Sendiri menikmati sunyi bersama mendiang istri.

Mengingat itu hatinya tiba-tiba mengeping menjadi puing. Tapi tak mengapalah baginya karena sebentar lagi tamu istimewa akan datang padanya, tak lama lagi. Firasatnya sangat kuat mengatakan itu.

Matanya memandangi kawanan seriti yang melayang di udara. Kawanan awan hitam. Jeritan samang masih bertalu-talu seolah dari segala penjuru dan suara auman menyusulnya.

Kulit bumi dan atap rumah dikertap jarum-jarum hujan yang jatuh tiba-tiba. Tamong Ibrahim masuk ke dalam. Lantai papan berderak mengiringi langkah rentanya. Dia hidupkan api di tungku, lalu memasak air.

Setelah salat ashar, dibukanya pintu depan. Hujan menipis menjadi gerimis. Beku. Perkampungan yang mati.

Didekapnya gambus tua, dipeting dengan irama syahdu. Langit terlihat kelabu. Tiba-tiba terdengar suara jendela diempaskan angin. Dia bangun dari tempat duduknya dengan hati yang girang. Dia kira tamu istimewanya yang datang.

Kini dia kembali teringat akan sebuah adi-adi Lampung, "Jak ipa haga dipa, jak tandang haga mulang." Dia sudah tahu akan kedalaman maknanya.

Ah, Izrail. Jangan biarkan aku membusuk menunggu di sini. Padahal engkau sudah berjanji akan datang dalam waktu-waktu dekat ini.


Catatan:

1. Adi-adi Lampung yang mengandung filosofi yang dalam mengenai arti hidup. Ini diterangkan oleh seorang Ustadz yang sangat mengagumi adi-adi ini.

2. Bubatui/bubiti: meratap

3. Alhamdulillah ya Dek, sekarang kita bisa naik haji juga.

4. Ya Bang, saya bersyukur diberi kesempatan ke Tanah Suci.

5. Bang saya minta maaf, gara-gara saya Abang tidak jadi naik haji. Saya mau pulang sekarang, Bang.

Muhammad Amin

Menulis cerpen sejak kelas dua SMA.