Rabu, 15 Juni 2011

Sajak Ari Pahala Hutabarat

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 8 Februari 2009

Sajak Ari Pahala Hutabarat

teluh

siapa yang tahu usia detak jam usia alir sungai usia gerimis

ambai usia hambar percintaan siapa yang tahu

mungkin kau tahu kenapa terjerat kepada hasrat terpilin akar

tersipu lezat terpukau kepada sesuatu yang disebut kedalaman

siapa yang tahu usia lama keluh usia kering luka usia sisa

dusta usia kelam cuaca siapa yang tahu

karena kau tipu aku dalam wangi tanpa rupa dalam lengang

tanpa damba dalam hening tanpa doa dalam alpa tanpa nama

siapa yang tahu kapan kan sampai detak degup debur

debar karena deru usia tak tertebak usai

mungkin kau tahu karena tak henti kau mengaku ibu kau

mengaku madu saat kau menyelinap di khusuk subuh

siapa yang tahu jika subuh itu kau akan mengetuk pintuku

mengetuk kepala dan jantungku mengetuk lamun kutukku

karena kau datang tiba-tiba membelit tiba-tiba meresap

tiba-tiba menjerat merayuku untuk karam dalam pesona

siapa yang tahu jika kau kan meminta memaksa

dan bertanya berapa sudah usia darah

yang bertahun sembunyi di tubuhku dan di subuh ini akan kau

serut dan kau kembalikan ke Bapak waktu

siapa yang tahu umur waktu--karena sebelum sempat

mengetuk pintuku kau telah kutebas dan kulempar ke laut jauh

yang aku tahu kau begitu nyata di dagingku

mendekam, menggengam teluh

1/4/08

mata
: sidi

di bening bayang mata bayiku

kulihat wajah

seperti subuh

yang malu-malu

menghapus lukanya sendiri

dengan pagi

di bening bayang mata bayiku

kulihat wajah

seperti senja

yang ragu-ragu

menoreh lukanya sendiri

dengan malam

di bening bayang mata bayiku

kulihat kusam bayang mataku

mencari-cari bayang mataMu

di bening bayang mata bayiku

kulihat sangsi bayang mataku

menatap tajam ke kelam mataMu

bayangMukah

yang terbayang olehku

di bening mata bayiku?

2008

sepupu

kunjungi aku sekali waktu. kita sudah lama kenal.

telah banyak kau potret pantai dan muslihat yang dibuat

raksasa untuk menjebak musafir agar terdampar. sekarang

adalah saat yang tepat kau menjengukku.

jangan lupa bawa oleh-oleh. sekadar durian juga boleh.

dua-tiga tangkai hujan, keringat jakarta yang mempesona,

atau tanah keramat dari ujung sibolga

menginaplah di rumahku sekali waktu. agar kau kenal; betapa

ibu—alamat tetap yang dititip tuhan ke dalam tubuh

telah amat rindu padamu

bau subuh yang menempel di kerumun bambu

ziarahi muaraku . aku menunggu. bawalah lampu,

dan foto copy silsilah yang telah kau bingkai,

serta perkenalkan calon istrimu.

"dia wartawan—ingin meliput berapa jumlah kampung

di lampung yang terbakar. Sekalian—ia ingin memotret gajah."

katamu

"pacarmu cantik. harum hadramaut. matanya sekhusuk subuh"

"tapi maaf, kami tak bisa bermalam di rumah. banyak kepinding

katanya."

tak apa. kau sudah datang, bagiku adalah berkah.

betapa tak sia-sia darah menjadi muasal muara

muara yang kini mongering dan renta seperti rumah

rumah bagi nubuat yang pecah

kunjungi aku sekali waktu. biar sampai hilir sungaimu

ke hulu jantungku

2008

Kebun

lugu. kau mencari akar buahmu. kau mencari hulu sungaimu

kau mencari jantung patungmu. kau mencari lubuk lautmu. lugu

mengapa pula kau duga rumah akar rumah hulu rumah jantung

rumah lubuk akan mengantar kau ke dalam kamarku

mengapa pula kau sasar setiap batas seperti pantai seperti muara

seperti senja seperti tua hanya untuk sampai padaku. lucu

pernah kau idam buah tapi kau lupa betapa akar mengasuh batang

betapa batang mengasuh dahan betapa dahan mengasuh ranting,

daun, dan bebungaan. seperti pernah kau selam lubuk tapi kau lupa

betapa buih betapa ombak cumalah bayang dari yang diam di kedalaman

seperti pernah kau rindu jantung tapi melulu lidah melulu mata

kau manjakan. hingga kerap putus darimu akar-muasal,

--di mana kau tumbuh, menyeruak, menghiba ketinggian.

menyelamlah. tak apa jika kau diam. pecahkan jam.

di ramah tanahtak butuh kau alamat.

nama-mendadak luka.

2008

------------

Ari Pahala Hutabarat, berkhidmat di Komunitas Berkat Yakin, Lampung, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL).