Rabu, 15 Juni 2011

Sajak Wahyu Heriyadi

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 8 Februari 2009

Sajak Wahyu Heriyadi

Kau Merasakan dengan Radio yang Dendam

kau merasakan hal yang sama

seperti radio yang tak bersuara

terdengar gemerisik dan mengusik

hujan rintik mencekik

kau merasakan hal yang sama

sejak dongeng itu kau matikan di radio

dan lagu selalu sendu bersama mimpi buruk

tentang kenangan yang bertekuk dan takluk

seperti radio dengan nyeri di dada

lalu menyelam luka

dan gemerisik di gelombang yang lampau

kau merasakan hal yang sama

sejak kenangan mengudara

di sepanjang ingatan tentang kepulangan yang tertunda

tak ada tempat di ruangan ini

rumah-rumah penuh sesak

dan sisa sarapan yang masih berserakan

senyum dan tangis itu masih padamu

dan menyelinap ke dalam lampu-lampu

kau merasakan hal yang sama

sejak radio itu tak berguna

seperti kenangan yang menghapus ingatan

lampu menelan malam

perbincangan tentang kegelisahan semakin padam

dan di lemari tak ada apapun

lalu kuhujam lalu kutikam

seperti radio yang tak ada

seperti juga ingatanmu yang pulang

kau merasakan hal yang sama

sementara tangisan tak kunjung reda

Memendam Jeritan

ketika listrik mati

kau aku saling membuka tubuh

tv seperti museum saat itu

hening dan menangis sendiri

suara jam bangkit dari masa lalu

yang terkubur dan tidur

aku memagut lutut

seperti mengecup kopi

yang rapi sedari taplak

kata-kata

ada sepenggal prosa yang lenyap

dari lorong-lorong kota

dan teriakan kehilangan

tak ada berita tentang tubuhmu

hingga lelap ke dalam

prasasti yang memendam pesan

lalu kau aku menyimpan candu

yang ragu untuk dilagu

sunyi di tepian koran

berpendaran

sebelum mengenal pagi, aku listrik mati

datang dari sungai yang nyeri

ah sungai, aku seperti uap yang pengap

dari perutnya mendekap dan terperangkap

aku belum terbiasa mengupas tubuhmu

tertera awan yang ribut dan kisut

lalu gugusan kata meronta

dari bunga-bunga yang sasar di pusar

kau retak dibakar seumpama tembikar

bergetar sepanjang kelakar

pada tubuhnya yang sekering hening

Suara Tikam

masih berbayang

saat suara tikam memanjang

aku seperti menelusuri sepi diri

dengan deraan kenang di badan

lengguh hujan di jembatan layang

menyusun keping ingatan yang terbang

aku masih menyimpan keramaian

dan tetumbuhan kedai

sedang dari bibirmu

yang sama pada kecupan paling nyeri

menetes tangis

ucapan tentang kota

ringan berhembus

menembus jauh dan riuh

gedung di tubuhku sedang merancang

sendiri

membangun sepi yang lain

terdiri dari kata yang terkelupas

di tembok yang tak ramai

pertunjukan yang paling sesak

dan mengubur mimpi

seperti tikaman yang lain

yang muncul dari muasal

suara

Ilusi Menetes

dari gelisahnya yang padam

melinting ingatan yang bunting

pada buncahan karang di toko sebrang

aku sedang menyeleksi kenangan

disimpan dalam lipatan duka

kugarap dengan perih yang luap

dari lukanya yang panjang

sodetan ilusi mengerang

pada teriakan

--teriakan dengan mata pejam

merendam terpendam

kisah yang terbenam--

masih rendam nafasku dihujam

dari serpihannya

------------

Wahyu Heriyadi, lahir di Ciamis tahun 1983. Lulusan Universitas Lampung. Maret-Mei 2008 mendapatkan beasiswa untuk mengikuti Bengkel Penulisan Novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Puisi-puisinya termuat di berbagai media dan antologi bersama.