Sabtu, 18 Juni 2011

Cerpen Romi Zarman


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 21 Juni 2009
Cerpen Romi Zarman

Harimau Kumbang

KAU sebut harimau mati meninggalkan belang. Lupakah engkau pada harimau kumbang? Tubuhnya tak berbelang. Badannya hitam serupa kumbang. Dan bila kau sudah dikejar, maka tak akan ada jalan keluar.

Ke mana pun kau menghilang, harimau kumbang akan mengejar. Ia tak seperti harimau belang. Kau bisa saja lari ke atas batang. Tapi tidak untuk harimau kumbang. Ke atas batang sekalipun, ia dengan mudah akan memanjat. Tubuhnya ringan. Tak seperti harimau belang.

Masih kau sebutkah harimau mati meninggalkan belang? Kau tak perlu heran. Karena bila kau tersesat di tengah hutan, maka harimau kumbang akan menunjukan jalan. Asal kau tak merusak tatanan, ia akan mengantarkanmu keluar dari hutan.

Tapi jangan harap kau akan melihat tubuhnya yang hitam serupa kumbang. Hanya akan kau dengar suara ranting patah dari satu pohon ke lain pohon, maka ikutilah asal suara itu. Itulah harimau kumbang, yang akan menunjukanmu jalan.

Masih ragukah engkau: tak semua harimau mati meninggalkan belang? Ah, kau memang mudah terheran-heran. Tapi jangan coba-coba kau tangkap harimau kumbang. Ia tak seperti harimau belang. Tubuhnya ringan, seperti kumbang terbang. Dan kau akan sulit menemukannya. Ia tak suka menunjukan badan. Harimau kumbang jarang mengaum. Badannya hitam. Tidak terang seperti harimau belang.

Dan bila kau berhasil menemukan, lalu salah satu dari mereka mati di tanganmu, maka jangan harap kau akan selamat. Harimau kumbang lain akan menuntut balas. Mereka akan mengamuk. Mengaum. Mengeram. Seperti sekarang.

***

Kami tak tahu pasti kenapa harimau kumbang mulai mengeram. Tak biasanya mereka mengaum setiap malam. Kami dicekam ketakutan. Mereka mengaum keluar hutan. Memasuki ladang. Seperti mencari sesosok yang siap untuk diterkam. Mereka mengaum. Mengacak-ngacak ladang. Ini sudah di luar kebiasaan. Biasanya mereka tenang di dalam hutan. Bahkan, bila kami para pencari rotan sudah memasuki hutan, mereka tetap tak mau menunjukan badan. Kami heran. Kenapa mereka mengaum mengacak-ngacak ladang?

Mulanya kami menduga pastilah karena makanan mereka sudah habis diburu oleh para pemburu itu. Mereka memang gemar memburu setiap minggu. Entah dari kota mana mereka datang. Kadang mereka memburu babi, kijang, rusa, atau sesekali burung kuau. Mereka berburu ke dalam hutan. Membawa senapan. Parang. Seperti orang hendak pergi perang.

Kadang bila anjing-anjing mereka sudah mencium keberadaan buruan, maka anjing-anjing itu akan mereka lepaskan. Mereka kejar. Kadang mereka akan mendapatkan babi hutan, kijang, atau sesekali rusa belang kaki.

Mereka berburu setiap minggu, seperti tak bosan-bosan. Kata orang, mulanya hanya kegemaran, lalu lama-kelamaan jadi kebiasaan. Dan bila hal itu tak mereka lakukan setiap minggu atau sekali-sebulan, maka mereka merasa ada saja yang kurang dalam keseharian. Begitulah kegemaran jadi kebiasaan.

Kadang satu rombongan akan datang, lalu rombongan lain akan pulang. Kadang mereka datang dengan wajah-wajah yang tak kami kenal. Habis satu rombongan, datang lagi rombongan lain. Silih berganti. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Sudah sejak kapankah mereka memulainya? Ah, kami tak ingat. Yang jelas, sejak orang tua kami mengajarkan kami cara mencari rotan, mereka sudah mulai berburu ke dalam hutan.

Dan sampai sekarang, sudah berapa ratuskah, atau sudah berapa ribukah binatang-binatang itu mati jadi hasil buruan mereka? Dan tidakkah hal itu akan merusak rantai makanan, sehingga harimau kumbang harus keluar hutan mencari makan? Ya, mulanya kami menduga seperti itu. Pastilah harimau-harimau itu keluar hutan karena mereka sudah kekurangan makanan.

Maka, setiap malam, sengaja kami sediakan babi hutan. Kami ikat babi itu di ladang kami. Berharap harimau kumbang akan memakannya dan tidak lagi mengacak-acak ladang kami. Tapi anehnya, mereka tak mau memakan babi hutan. Kami heran. Kenapa mereka tak mau menyantap pemberian kami? Adakah di antara kami yang telah berbuat salah sehingga harimau-harimau itu hendak menuntut balas?

Tetapi tidak. Tak ada harimau kumbang yang mati di tangan kami. Ataupun di tangan para pemburu itu. Tak ada. Karena bila seekor saja dari mereka mati gara-gara ulah kami atau para pemburu itu, maka sudah dari kemarin-kemarin harimau itu akan menerkam. Mengoyak-goyak tubuh kami. Tapi sampai sekarang tak ada yang mati kena terkam. Harimau kumbang hanya tahu hukum rimba. Nyawa dibalas nyawa. Mereka tak akan menerkam kalau di antara mereka tak ada yang kena terkam.

Kami heran. Kenapa hanya ladang kami yang diacak-acak. Sedangkan ladang di kampung sebelah mereka biarkan. Mereka mengeram. Mengaum setiap malam. Kami terus dicekam ketakutan. Bermalam-malam, mereka mengeram. Bermalam-malam, mereka mengacak-acak ladang. Kami heran.

Hingga kemudian, di suatu siang yang terang, saat harimau kumbang tak ada lagi di ladang, saat itulah seseorang lari tergopoh-gopoh ke arah kami seraya berteriak, "Ada harimau kumbang. Ada harimau kumbang. Anaknya di rumah si Pulan."

***

Mulanya kami mengira bahwa si Pulan mati diterkam harimau kumbang. Siang itu kami datangi rumahnya. Tak ada sedikit pun luka di badan. Harimau kumbang memang tak menerkam. Tapi alangkah terkejutnya kami ketika si Pulan mengatakan bahwa di rumahnya ada seekor anak harimau. Tubuhnya kecil, seukuran induk kucing. Badannya hitam, persis seperti kumbang. Ia belum terlalu pandai mengaum. Dan bila dilihat dari kejauhan, maka anak harimau itu akan terlihat seperti induk kucing yang berbadan hitam. Kami tanyakan dari mana anak harimau itu didapatkan, lalu si Pulan menjelaskan. Katanya, anak harimau itu didapatkan oleh anaknya ketika sedang bermain di mulut hutan.

Awalnya anak si Pulan mengira bahwa anak harimau itu adalah seekor kucing, karena hitam badannya memang persis seperti kucing. Lalu anak si Pulan membawanya pulang. Menyimpannya di bawah kolong rumah bersama ayam peliharaan bapaknya. Berhari-hari anak harimau itu dikurung di bawah kolong. Si Pulan tak terlalu memperhatikan. Ia mengira bahwa anak harimau itu adalah kucing hitam, yang biasanya memang sering keluar-masuk ke kolong rumah.

Akan tetapi, ketika ia menyadari bahwa anak ayamnya makin lama makin berkurang, saat itulah ia curiga pada "kucing" itu. Dan alangkah terkejutnya si Pulan ketika ia mencoba menangkapnya. "Kucing" itu mencakar tangan. Si pulan kesakitan. Ia baru sadar bahwa goresan cakar di tangannya bukanlah cakaran kucing, tapi cakaran anak harimau kumbang.

"Begitulah." Si Pulan mengakhiri cerita.

Kami tersentak. Pantaslah harimau-harimau itu mengaum setiap malam. Ternyata mereka mencari anaknya yang hilang. Kami merasa bodoh. Tak mengerti pertanda kenapa mereka hanya mengaum. Mengacak-acak ladang, tanpa ada jatuh korban. Maka, di rumah si Pulan itu juga, kami telah sepakat untuk mengembalikan anak harimau kumbang. Tapi bagaimana cara mengembalikannya?

"Kita kembalikan saja beramai-ramai." Seseorang memulai pembicaraan.

"Jangan. Mereka akan mengamuk bila melihat anaknya ada di tangan kita."

"Lantas bagaimana?"

"Kita utus saja satu orang untuk mengembalikannya."

"Bagaimana, setuju?"

"Setujuuuu!"

Kami sepakat untuk mengembalikan anak harimau itu. Kami mulai merasa lega. Keadaan akan kembali seperti semula. Tak ada aum harimau. Kami akan kembali tenang seperti biasa-biasanya. Tapi persoalan muncul lagi ketika di antara kami ada yang bertanya, "Siapa yang akan pergi mengantarnya?"

Kami mulai panik. Di antara kami tak ada yang bersedia mengantarkan anak harimau itu. Kami takut. Mereka akan mengamuk. Mengoyak-goyak tubuh kami. Kami kembali diskusi. Tak ada jalan keluar. Semua takut berhadapan dengan harimau kumbang. Tetapi kemudian, ketika salah seorang di antara kami tiba-tiba bersuara, maka kami bagai diingatkan pada kebiasaan harimau kumbang.

"Sebaiknya anak si Pulan yang mengantarkan, karena ia pernah diselamatkan harimau kumbang."

"Ya, anak si Pulan. Harimau kumbang tak akan menerkam orang yang pernah diselamatkannya."

Si Pulan tak setuju. Ia takut anaknya diterkam. Lalu ada yang berkata, "Kalau bukan sekarang, kapan lagi anakmu akan membalas kebaikan harimau kumbang?"

"Ingatlah, Pulan, harimau kumbang tak akan menerkam orang yang pernah diselamatkannya."

Ya, harimau kumbang tak akan menerkam orang yang pernah diselamatkannya. Kami ingat anak si Pulan. Anaknya pernah diselamatkan harimau kumbang. Waktu itu anaknya hilang di tengah hutan ketika si Pulan sedang mencari rotan. Kami sudah berusaha mencarinya waktu itu, tapi tidak ketemu. Anaknya tersesat tak tahu jalan keluar. Dan waktu itu, harimau kumbanglah yang menunjukinya jalan. Kami ingat. Waktu itu ia berkata bahwa ia mendengar suara ranting patah dari satu pohon ke lain pohon, lalu ia ikuti asal suara itu. Dan tanpa melihatkan badannya yang hitam, harimau kumbang telah menunjukannya jalan.

Anak si Pulan selamat. Dan biasanya, orang yang pernah diselamatkan harimau kumbang, maka orang itu sudah mendapat "berkah". Kalau orang itu memiliki ladang, maka babi hutan tak akan berani memasuki ladangnya. Karena konon, babi hutan akan mencium bau harimau kumbang dari orang yang pernah diselamatkannya. Babi hutan akan lari ketakutan. Dikiranya harimau kumbang benar-benar ada di ladang.

"Kaupikirlah, Pulan. Kenapa anak harimau itu bisa bertemu dengan anakmu? Ia memang tersesat. Tapi ingatlah, harimau kumbang tak mau menampakan badan pada sembarangan orang. Dan ketika anak harimau itu mencium bau harimau di tubuh anakmu karena ia pernah diselamatkan, maka saat itulah anak harimau itu hendak meminta tolong. Ia percaya pada anakmu."

"Ayo, tunggu apalagi. Kita utus saja anakmu."

Si Pulan terdiam. Akhirnya ia setuju. Kami merasa lega. Kami langsung memutuskan bahwa anak harimau itu akan dikembalikan selagi hari masih siang. Tak bisa ditunda. Anak harimau itu harus dikembalikan ke dalam hutan. Maka, saat itu juga, kami siapkan keberangkatan anak si Pulan bersama anak harimau kumbang.

Kami pesankan agar anak harimau itu dilepaskan bila sudah jauh di tengah hutan. Kami percaya anak si Pulan tak akan tersesat. Kami pesankan juga agar ia kembali sebelum hari benar-benar kelam. Kami ingin anak si Pulan pulang ketika langit masih terang. Kami pesankan semua. Dan di siang yang terang itu, kami lepas anak si Pulan.

***

Kami lega. Tak ada ada lagi aum harimau kumbang. Tak ada lagi yang mengacak-acak ladang. Mereka sudah kembali tenang. Begitulah harimau kumbang. Kami hidup berdampingan. Bila siang sudah menjelang, kami akan masuk ke dalam hutan mencari rotan. Dan bila malam datang, maka harimau kumbang pun akan masuk ke dalam ladang. Bukan untuk mengacak-acak, tapi untuk menjaga ladang kami dari gangguan babi hutan. Kadang bila sesekali terdengar aum harimau dari ladang kami, maka itu adalah pertanda bahwa mereka sedang mengusir babi hutan.

Mereka menjaga ladang kami. Kami pun menjaga hutan mereka. Begitulah kami hidup berdampingan. Tak ada terkaman. Tak ada gangguan. Kami jaga tatanan. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Kami hidup dengan tenang.

Akan tetapi, ketika para penebang itu sudah mulai berdatangan, entah datang dari kota mana atau entah dari perkumpulan apa--lalu masuk ke hutan dan merusak tatanan, maka harimau kumbang kembali mengamuk. Mulanya hanya mengaum. Tapi ketika para penebang itu sudah mulai menembaki harimau kumbang dan bahkan sampai ada yang mati mengenaskan, maka saat itulah kawanan lain mulai menuntut balas. Mereka mulai menerkam, dan mengoyak-goyak tubuh penebang.

Dan, bagai tak mau kalah, para penebang itu pun balas menerkam. Mereka membabi-buta, menembaki harimau kumbang. Satu-per satu mundur. Harimau kumbang mundur ke perdalaman. Para penebang terus mengejar. Mereka tak ingin terancam ketika sedang merusak hutan. Mereka ingin aman dari terkaman. Mereka bunuh harimau kumbang.

Berhari-hari. Berminggu-minggu. Mereka sudah merasa aman dari terkaman. Lalu dengan tenang mereka tebangi hutan. Dan ketika mereka sudah terlalu jauh mengacak-acak ke dalam hutan dan menghalang-halangi kami mencari rotan, maka saat itulah kami tak bisa tinggal diam. Kami beri peringatan. Tapi salah satu dari mereka malah berkata: harimau mati meninggalkan belang.

Kami diancam.

Ah kalian, benar-benar lupa pada harimau kumbang. Tubuhnya tak berbelang. Badannya hitam. Sering berkeringat. Dan bila ia sudah merasa terancam dengan kehadiran kalian, maka jangan harap kalian akan keluar dengan selamat. Karena kami: harimau kumbang, akan menerkam kalian dengan parang ....

Padang, 26 Januari 2009

------

Romi Zarman, lahir di Padang, 15 Februari 1984. Cerpen dan puisinya dimuat di berbagai media. Dia meraih salah satu hadiah lomba cipta puisi Departemen Pariwisata dan Kebudayaan RI Jakarta 2006. Salah satu puisinya masuk 60 puisi Indonesia terbaik Anugerah Sastra Penakencana 2009.