Rabu, 15 Juni 2011

Cerpen Rudi S. Kalianda

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 8 Maret 2009

Cerpen Rudi S. Kalianda

Dopok!

"Dopok!". Perempuan paro baya mengumpat. Ia duduk paling belakang dalam pertemuan itu. Tidak ada yang mendengar umpatan perempuan berkebaya jingga agak lusuh itu. Umpatan yang terekspresi dari merah wajah dan gemetaran kepalan tangan kurusnya. Hanya ia yang tahu; begitu juga ketika satu peristiwa membentang jelas di benaknya. Satu cerita yang menghayutkan pikiran, berpadu serentetan caci maki yang terus mengalir dari hatinya.

Namun, tidak banyak yang bisa dilakukan selain membisu ketika janji-janji manis serombongan orang berpenampilan perlente yang duduk di depan membius peserta dalam pertemuan di rumah salah seorang pemuka kampung tua itu. Pertemuan itu persis lima tahun silam. Saat bulan-bulan menjelang pemilihan orang-orang yang akan duduk mewakili rakyat. Orang-orang yang bakal menjadi anggota Dewan yang terhormat.

"Dopok! Mengapa kau ulangi! Lima tahun terlalu singkat untuk melupakan peristiwa menyakitkan. Terlalu singkat. Aku bukan warga yang mudah melupakan masa lalu. Ingat itu Dopok!"

Sama dengan lima tahun silam, rombongan orang-orang yang mengundang itu membawa aneka ragam bingkisan untuk diberikan pada peserta, juga sebekhuyun program pembangunan yang katanya untuk kesejahteraan rakyat. Bagi perempuan paro baya berkebaya jingga itu, pertemuan itu sudah tiga kali selama lima belas tahun terakhir.

"Dopok!" Lagi-lagi perempuan paro baya itu mengumpat dalam hati. Lagi-lagi hanya itu yang bisa dilakukan. Lalu mendenguskan napas dengan mata lurus ke orang-orang itu.

Terbayang dalam ingatan perempuan yang lebih banyak menundukan kepala pada pertemuan itu, anak lelaki tuanya mengantarkan undangan peringatan empat puluh hari ayah mertuanya. Anak lelaki tuanya kembali dengan secarik kertas undangan yang bagian belakangnya terdapat tulisan "mohon maaf, saya tidak bisa hadir karena ada urusan penting". Tulisan itu diembel-embeli juga tanda tangan orang yang diundang. Itu terjadi dua tahun silam.

Terbersit juga dalam ingatannya, ketika harga beras awal-awal mengalami kenaikan. Perempuan paro baya yang ditinggal suaminya mencari rezeki di tanah rantau itu tidak mampu membeli beras; ia dan kedua anaknya harus ikhlas tidur dengan perut keroncongan.

Ia tak ingin hidup sebagai peminta-minta. Agamanya melarang menadahkan tangan, sepahit-pahit kondisi. Ia bertahan. Tapi...suatu malam, kedua anaknya menggigil karena tidur dengan perut kosong. Ia bertahan. Namun, ia tak kuasa mendengar gigi anak-anaknya gemerutukan dan tubuh-tubuh kurus itu melingkar seperti ban dalam di dekat tumpukkan sampah. Ia khawatir, tifus menyerang. Dari mana mendapatkan biaya berobat di tengah kondisi seperti ini? Ahhh...Dooopoookk!

Dengan terpaksa, diayunkan langkah ke rumah permanen yang berjarak setengah kiloan dari rumahnya. Ia agak ragu tetapi dikuatkan hatinya mengetuk pintu rumah yang lebih mewah ketimbang rumah-rumah lain di kampung yang sudah jadi kelurahan itu. "Tok...tok...tok..." Dua daun pintu semiukiran itu terbuka sebelah.

"Ooo...Bu Tukinah. Ada apa, Bu?" ujar seorang wanita 35 tahunan. "Kita ngobrol di teras aja ya?," lanjutnya, tanpa mempersilakan masuk perempuan paro baya yang disebutnya Bu Tukinah itu. Wanita dengan kecantikan hasil karya salon kecantikan itu melenggang menuju kursi yang tidak jauh dari pintu. "Kita ngobrol di sini saja ya, di dalam bapaknya lagi istirahat, tadi katanya kecapean habis sidang paripurna," tambah wanita yang membuka pintu tadi.

Perempuan paro baya itu hanya mengikuti tanpa mengerti apa yang diucapkan lawan bicaranya. Yang ada dibenaknya hanya beras. Ya, tidak lebih. Mau ngutang beras.

"Ada apa, Bu?" kata perempuan pemilik rumah.

"Saya kemari mau pinjam beras," ujar perempuan paro baya, tanpa basa-basi, dengan tatapan berselimut harap ke perempuan yang duduk persis di samping kanannya.

"Berapa banyak Bu Tukinah perlu beras?" timpal perempuan yang ditanya, sambil menggeser bokongnya karena tiba-tiba entah dari mana ada seekor semut menyeruak masuk dan menggigit pantatnya.

"Sepuluh kilo saja, Bu," kata perempuan yang dipanggil Tukinah tadi.

"Sebentar ya, Bu," itu yang terucap sebelum wanita cantik itu masuk rumah. Sayup-sayup terdengar perbincangan wanita dan pria dari dalam rumah, tetapi tidak jelas benar apa yang dikatakan mereka.

"Kalo sepuluh kilo, beras di rumah kami bisa-bisa tidak ada stok lagi, Bu. Tapi kalau dua kilo, ada," kata wanita itu saat kembali menjumpai wanita paro baya yang saat itu mengenakan kaus cokelat dan bagian bawahnya berbalut batik.

"Kalau dua kilo hanya cukup untuk saya dan anak-anak saya. Nanti kalau suami saya datang, saya mesti balik kembali lagi, Bu," ujar perempuan itu dengan intonasi rendah syarat iba.

"Bagaimana kalau saya dipinjamkan uangnya saja, Bu," tambah Tukinah menyodorkan alternatif.

"Kalau uang kami punya, tapi nanti gimana Bu Tukinah mengembalikanya," kata wanita itu.

Bak tertimpa beban sangat berat, perempuan paro baya itu menundukan kepala, sebelum ia pamit meninggalkan rumah yang baru dua tahun bagus dipugar itu. "Maaf Bu, saya permisi," kata akhir itu yang terlontar menutupi perjumpaan keduanya.

***

Saat ini, wanita dan suaminya itu ada di hadapan perempuan paro baya itu. Saat ini, wanita dan suaminya itu datang dengan teman-teman sesama calon anggota parlemen yang lain, tengah menyanjung-nyanjung warga yang hadir dalam pertemuan yang dikemas dalam kampanye dialogis. Saat ini, wanita dan suaminya itu meminta warga memilih suaminya menjadi wakil warga. Saat ini, wanita dan suaminya itu tanpa diminta dan dipinjami membawa bingkisan untuk dibagikan pada warga. Persis lima tahun silam: Sembako, bendera, kaus, dan iming-iming kemajuan pembangunan di kota dan di kampung. Janji membangun jalan yang baru dibangun sudah rusak lagi. Janji membangun ini itu hingga sanggup membantu tempat-tempat ibadah asal warga memilih orang-orang berpakaian perlente yang duduk di barisan depan, termasuk suami wanita itu.

"Kami mohon doa restu dan dukungan warga kampung. Banyak yang harus dibenahi. Sebagai calon wakil rakyat, kami sangat prihatin dengan apa yang terjadi di kampung ini. Banyak hal-hal yang harus dibenahi dan dibangun di kampung ini. Tanpa dukungan warga, kami tidak dapat mewujudkan impian warga kampung. Setelah kami jadi, kami akan bahas persoalan kampung ini dengan teman-teman di parlemen. Jangan salah pilih ya bapak-bapak, ibu-ibu," ujar lelaki dengan stelan jas yang datang ke pertemuan itu, menumpangi mobil bagus warna hitam. "Kami mengerti apa yang bapak-bapak inginkan. Kesejahteraankan?" imbuh lelaki itu. Sementara teman-temannya memberi spirit, termasuk wanita itu dan suaminya.

Tidak urung, suasana pertemuan menjadi riuh. Terlebih lagi, hampir separo warga yang ikut pertemuan itu mengajukan beberapa pertanyaan. Pak Tukirin minta kelangkaan pupuk segera diatasi. Pak Sugiman minta jalan di kampung yang masih onderlaag dan tanah agar diaspal. Pak Syaiful dan Pak Ratman minta sumur bor karena warga kampung kesulitan air terutama musim kemarau--apalagi perusahaan air minum milik pemerintah belum menjangkau kampung itu. Tidak sedikit juga ibu-ibu yang minta kerudung. Pak pengurus tempat ibadah minta dibuatkan pagar dan keramik di rumah ibadah.

Semua usulan itu ditanggapi pimpinan rombongan dengan menunjuk notulen supaya mencatat seluruh aspirasi warga. Tak seorang pun dalam rombongan itu yang menolak atau berkata tidak terhadap permintaan warga kampung. Semua dijawab dan dikemas dengan kata "mudah-mudahan". Mungkin, dalam situasi seperti ini, tidak satu pun ada yang berani membuat warga tersinggung, apalagi sampai melukai hati. Suara warga benar-benar sangat berarti pada momen seperti ini.

Tidak demikian dengan perempuan paro baya berkebaya jingga itu. Dia akhiri diamnya. Dia memberanikan diri mengangkat wajahnya yang sejak awal tertunduk. Satu-satu bergantian ditatapnya dalam-dalam, wanita dan suaminya yang juga memberikan sambutan acara itu. Ada amarah dan kebencian yang menggunung di balik tatapan mata yang mulai berkaca-kaca karena air mata. Rahangnya gemeretuk. Wajahnyanya memanas.

"Dopok! Aku tidak akan memilih kamu! Aku tidak akan memilih kamu! Aku tidak akan memilih kamu! Dopok! Dopok! Dopok!" teriak wanita paro baya itu. Tapi tidak satu pun yang mendengar teriakan yang melesat dari dalam hati itu. Tidak ada satupun yang peduli saat wanita itu diam-diam meninggalkan tempat pertemuan.

Rudi S. Kalianda, lahir di Kalianda, Lampung Selatan, Maret 1970. Menulis buku bertajuk Kumpulan Dongeng dari Kalianda dan cerita bersambung Serial Ramakarla: Pendekar Lembah Belerang.