Rabu, 15 Juni 2011

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 15 Maret 2009

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka

Edelwis

"Namamu seperti nama bunga."

"Memang..."

"Ayahmu tentu seorang pencinta alam."

"Ia pencinta bunga."

"Oo...Aku juga pencinta bunga."

Edelwis tersenyum. Matanya bercahaya begitu indah. Aku melihat aura kecantikan mekar di atas kulitnya yang putih bersih. Mungkin inilah alasan kenapa senyuman seorang gadis dapat melahirkan berjuta-juta puisi romantis di tangan penyair.

Edelwis gadis yang ramah. Aku mengenalnya saat aku mengikuti sebuah pertemuan kebudayaan di sebuah kota. Ia seorang mahasiswi; satu di antara laison officer yang memandu para peserta. Label card selalu tergantung di baju bagian dadanya, di situlah tertulis namanya.

"Sungguh, aku seorang penyinta bunga," tegasku lagi.

"Apakah itu istimewa?" sahutnya bertanya.

"Pastilah banyak keistimewaan dari seorang pencinta."

"Oh ya...?!"

"Setidak-tidaknya seperti ayahmu. Mungkin edelwis adalah bunga yang pmemiliki arti begitu dalam bagi kehidupannya. Dengan warna serupa kulit padi ditaburi bulu-bulu lembut berwarna putih. Edelwis adalah bunga abadi yang melambangkan kesucian, tekad, dan semangat menyala-nyala. Bunga yang memaknai cinta dan kenangannya."

"Romantis sekali..."

"Itu satu di antara keistimewaan sang pencinta. Sehingga ayahmu ingin menghidupkan filosofis bunga edelwis dalam kehidupannya nyata. Ia ingin memberikan ruh, memberikan pikiran dan perasaan. Dan obsesinya itu diwujudkan dengan memberimu nama Edelwis."

"Ach, bisa aja."

"Aku seorang pengarang. Seorang yang menggunakan teknologi imajinasi, intelektual, dan energi kreatif untuk menangkap nilai-nilai yang tak terjelajah oleh awam."

"Ich...sombong dech!"

"Maaf. Aku hanya ingin mengatakan bahwa dirimu merupakan misi kebudayaan dari visi kehidupan ayahmu."

"Oh ya...?! Tapi bisa nggak omonganmu yang ringan-ringan saja."

Giliran aku yang tersenyum sambil menatap matanya yang bercahaya indah.

"Bisa! Berapa nomor hp kamu...???"

****

Sejak itu aku suka menelponnya. Atau kami SMS-an. Menjalin komunikasi, lantaran kota tempat tinggal kami berjauhan. Butuh waktu 6--8 jam untuk bertemu. Dan setiap kali kami berkomunikasi, kami selalu terlibat dalam perbicaraan yang mengasyikkan.

"Hai, pencinta...," suatu kali suara Edelwis menyapa melalui telepon.

"Hai, bunga...," aku membalas salamnya.

"Adakah sesuatu yang indah hari ini?"

"Segalanya begitu indah. Bukankah sang pencinta selalu dikelilingi keindahan?"

"Ge-er lagi..."

"Hehe...dan keindahan itu semakin sempurna ketika diwarnai kesegaran dan keharuman bunga yang rupawan."

"Gombal...!"

"Hehe..."

"Kok sudah tiga hari gak nelpon, kemana?"

"Kangen ya...?"

"Jawab dulu pertanyaan aku dong!?"

"Aku menulis cerpen."

"Menulis cerpen? Cerpen apa sampai kamu gak sempat menelepon aku?"

"Edelwis..."

"Apa...?!"

"Aku menulis cerpen tentang kamu. Judulnya Edelwis."

"Itu untuk merayu aku, ya? Capek dech...he he he."

"Kamu anggap itu merayu?"

"Terus apa dong kalau bukan merayu?"

"Mengungkapkan perasaan."

"Dasar pengarang!"

***

Ya, karena aku seorang pengarang! Itulah alasan kenapa Edelwis suka berteman dengan aku. Menurutnya seorang pengarang adalah seorang genius. Sebab, pengarang mampu menciptakan hal-hal yang baru dan segar bagi kehidupan. Sama seperti seorang ilmuwan yang berjasa menemukan teknologi baru untuk kenyamanan kehidupan.

"Bahkan para pengarang yang selalu bertolak dari imajinasi kreatifnya mampu memberikan inspirasi bagi para ilmuwan untuk menciptakan penemuan-penemuan baru. Betulkan?"

Aku mengiyakan.

"Kamu pernah nonton film Star Wars?"

Aku mengiyakan.

"Betapa energi kreatif penulis skenario dan sutradaranya telah meneror daya intelektual kita."

Aku mengiyakan.

"Mereka bisa menghilang dengan bantuan teknologi mutakhir seperti ilmu sihir."

Aku mengiyakan.

"Jadi aku berkesimpulan bahwa puncak teknologi mutakhir adalah ilmu sihir, he he..."

Aku mengiyakan.

"Kok not responding?"

"Hehe...Aku setuju dengan pendapatmu. Aku diam karena aku terkesima."

"Terkesima? Sebab apa?"

"Sebab kamu lebih pintar dari pengarang. He he..."

"Kamu tidak sedang mengolok-olok aku, kan?"

"Ya enggaklah, masak ya nggak dong. He he..."

"Aku ngambek. Kamu pasti mengejek aku!"

"Bukan, dengar aku dulu..."

"Tut tut tut..."

Edelwis mematikan hape-nya.

***

Setelah itu lebih dari satu minggu kami tidak berkomunikasi. Setiap kali kuhubungi, hape-nya tidak aktif. Aku cukup menyesal. Ternyata Edelwis betul-betul ngambek. Dan ternyata Edelwis memiliki sikap yang tegas. Tidak plin-plan. Kalau suka bilang suka. Kalau marah bilang marah.

Aku suka pada gadis yang memegang prinsip seperti Edelwis. Aku kangen padanya. Serupa ada sesuatu yang hilang dari diriku; hari-hari aku dimiangi keresahan. Merasa sepi di tengah keramaian. Merasa gemuruh di dalam kesunyian.

"Edelwis...!!!???"

Secara reflek aku menyebut namanya. Edelwis tersenyum. Matanya bercahaya begitu indah. Aku melihat aura kecantikan mekar di atas kulitnya yang putih bersih. Tapi sungguh aku belum percaya. Edelwis berdiri di hadapanku.

"Surprise...!!!" Ia berteriak dengan ceria.

"Kamu...?!"

"Ya, ini aku," ucapnya seraya memelukku. Aku masih bergeming. Membiarkan saja kedua tangannya merengkuh tubuhku. Aku betul-betul terkesima.

"Aku sengaja berlibur ke kotamu ini," katanya.

"Seperti yang pernah kubilang, aku punya tante di sini. Aku datang kemarin bersama kedua orang tuaku. Kamu harus berkenalan dengan mereka. Bukankah kau bilang kau pencinta bunga seperti ayahku?"

Aku masih bergeming.

"Hei, kok bengong?"

Suaranya membuatku terkejut. Aku tersenyum sambil menatap matanya yang bercahaya begitu indah. Lalu giliranku yang memeluk dirinya.

"Kamu datang ke rumahku?"

"Ya, aku kangen padamu."

Seketika aku merasa serupa dedaunan di pagi hari yang ditaburi butiran embun. Bergoyang dengan lembut disapa angin. Sementara matahari baru mengintip di ufuk Timur. Langit begitu biru. Awan putih yang menghias. Burung-burung berkicau, terbang atau hinggap di dahan-dahan pepohonan. Bunga-bunga di taman mekar berseri. Sungguh panorama paling jelita.

"Aku juga kangen padamu."

Kami saling menggenggam tangan. Jemari kami saling mengait begitu kuat. Seakan ingin menghapus jarak dan waktu. Menghapus kerinduan yang mengharu. Biarlah semesta luruh.

"Edelwis...maukah kau tumbuh di hatiku?"

Edelwis tersenyum. Matanya bercahaya begitu indah. Aku melihat aura kecantikan mekar di atas kulitnya yang putih bersih. Ia mengangguk perlahan.

"Bukalah hatimu," ujarnya.

Tiba-tiba aku merasakan seperti ada ledakan dalam diriku. Sesuatu yang kemudian terbuka. Melebar dan semakin melebar. Tanpa sedikitpun aku dapat mencegahnya. Dan setelah itu aku melihat diriku bagai sebuah taman yang dikelilingi pelangi. Warna-warni kupu-kupu beterbangan. Lalu dengan langkah pasti Edelwis memasuki taman jelmaan diriku. Ia menari. Ia menyanyi. Berlarian ke sana-kemari di antara kupu-kupu.

Akulah Edelwis, akulah Edelwis

Bunga semesta yang putih

Kekasih sang penyinta

Aku tumbuh dan mekar di hatinya

Edelwis terus berlarian ke sana-kemari di antara kupu-kupu. Ia menari. Ia menyanyi. Dengan berselendang pelangi ia berputar-putar mengelilingi taman diriku. Ia terus berputar, berputar, berputar hingga yang terlihat kemudian hanya seleret warna putih yang bergulung-gulung.

Dan ketika putaran itu berhenti, aku tidak lagi melihat Edelwis. Kecuali sekuntum bunga yang bewarna serupa kulit padi dengan bulu-bulu lembut berwarna putih berseri. Kuntum bunga edelwis. Bergoyang perlahan ditiup angin. Ia mengangguk-angguk ke arah diriku. Seakan kulihat lagi tatapan mata Edelwis yang bercahaya begitu indah. Memekarkan aura kecantikan di atas kulitnya yang putih bersih.

Aku segera mendekatinya. Merengkuh dan menciumnya. Mencium Edelwis yang telah menjadi bunga. Sungguh-sungguh menjadi bunga. Seperti kisah Malin Kundang menjadi batu. n Bandar Lampung, Desember 2008

Syaiful irba Tanpaka lahir di Telukbetung, 9 Desember 1961. Saat ini dipercaya sebagai Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung.