Selasa, 14 Juni 2011

Cerpen Syarif Hidayatullah


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 11 Januari 2009
Cerpen Syarif Hidayatullah

Perempuan Penanti Jibril

Kaukah itu yang datang di malam hari atau itu hanya angin belaka? Entahlah, yang jelas perempuan itu selalu menanti Jibril lantaran tahajud terus mengalir di tubuhnya dan malam selalu membisikinya tentang arti kehidupan.

Sejenak ia renungi angin gurun, mencoba menaksir apakah ada kehidupan yang lebih indah tanpa ada cobaan? Siluet api bergerak, membenturkannya kembali untuk mengingat Jibril, adakah kau yang datang malam hari?

Belum sempat air matanya menitik menjelma bongkahan kesedihan. Perempuan itu tergerak seketika setelah mendengar geliat anaknya di atas kasur. Dilihatnya anak itu seperti malaikat yang terbaring. Akankah kau menjadi malaikat, anakku? Ia mengecup kening anaknya. Anaknya kembali terdiam.

Di kamar yang kecil itu, kembali ia rebahkan tubuhnya. Kerut kening di wajahnya semakin membias. Wajahnya menampakan luka yang semakin mendalam. Ia raba punggungnya perih. Bekas luka terkena air panas itu masih belum kering juga. Jam berdetak semakin cepat. Tengah malam sudah ia lewatkan. Pagi benar ia harus segera bangun atau luka di tubuhnya akan bertambah lagi. Ia berusaha memejamkan matanya. Namun semakin keras ia paksakan dirinya untuk tidur, matanya semakin kehilangan rasa kantuk. Ia semakin khawatir. Ia tidak mau kejadian itu menimpanya lagi. Kejadian yang membuatnya dimarahi habis-habisan oleh Hazayeb yang tidak lain adalah mertuanya sendiri.

Hazayeb terperanjak kaget ketika melihatnya pingsan. Bukan karena ia merasa kasihan, bukan pula karena iba, melainkan ia begitu dongkol. Tamunya yang datang malah bersimbah air teh yang seharusnya dijamukan.

"Fatimah, apa yang kau lakukan?!" hardiknya kasar. Fatimah yang terjatuh karena kelelahan hanya memandangnya samar. Mikail melihatnya di kejauhan. Sejenak ia terhenti untuk memainkan kafayeh yang diberikan Fatimah. Anaknya itu menghampiri ibunya. Menatap Hazayeb dengan tatapan penuh amarah.

"Apa yang Kakek lakukan. Kenapa Kakek selalu memperlakukan ibu dengan kasar?!" Anak berumur 12 tahun itu menatap kakeknya dengan wajah yang garang.

"Jangan sebut aku Kakek! Ingat, kau dan ibumu hanya pembantu!" Jawabnya dengan nada angkuh.

"Tapi ayah adalah anakmu?!" kembali Mikail menentang.

"Dasar anak kurang ajar."

Satu pukulan keras menghantam pipi Mikail. Mikail jatuh linglung di samping ibunya. Ibunya mendekapnya penuh kasih sayang, sambil kemudian bangun dan pergi dengan tertatih-tatih.

Perempuan itu memeluk erat tubuh Mikail, malaikat kecilnya. Sejenak malam menjadi hening, kemudian perasaan itu kembali datang. Kaukah itu yang datang di malam hari atau itu hanya angin belaka?

"Fatimah, ambilkan aku segelas kopi!" Belum selesai ia menghangatkan air panas, Hazayeb kembali memanggilnya dengan teriakan yang terdengar mirip seperti auman serigala.

Sambil membawa segelas kopi hangat, Fatimah menghampiri Hazayeb yang berada di ruang tamu. Di atas meja ada selembar surat, Hazayeb segera mengambil surat itu setelah menyadari Fatimah sedang berusaha membaca surat itu.

"Apa yang kau lihat?" tanya Hazayeb kasar.

Fatimah segera meninggalkan Hazayeb sendirian. Namun sebelum jauh ia meninggalkan, terdengar jerit marah-marah dari kamar mandi. Ternyata itu istrinya Hazayeb, Shafra. Dengan tubuhnya yang tambun ia memaki-maki Fatimah.

"Ada apa istriku?" tanya Hazayeb.

"Biasa, Fatimah," ujarnya ketus. Fatimah menunduk.

"Sudah kubilang! Setiap aku mandi kau harus menyiapkan air hangat untukku!"

Kembali hal sepele dipermasalahkan. Dulu hanya karena perempuan itu pergi tanpa izin, perempuan itu dimarahi habis-habisan. Padahal, perempuan itu keluar semata-mata untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang telah menipis. Namun, penjelasannya itu tak diterima mereka sama sekali. Mereka malah terus mencaci makinya tanpa ampun dan tidak jarang ocehan mereka itu diikuti oleh pukulan-pukulan yang cukup keras.

Fatimah tidak bisa berontak, ia hanya bisa menunduk dan bersabar. Karena itulah yang selama ini diperintahkan Jibril. Ya Allah, sampai kapan kau menakdirkanku untuk hidup bersama dua orang tua ini. Kapan Jibril kau kirim untukku? Kapan ia akan datang untuk membawaku terbang? Terbang hingga menuju arsy-Mu! Gelisah hati Fatimah kembali membahana di relung jiwanya.

Namun, hanya omelan dua orang suami-istri yang didengarnya. Di luar angin semakin gaduh meramalkan cuaca. Tapi tak sebegitu gaduh hatinya.

Malam kembali melajang, bintang berkedip sesaat sebelum akhirnya kembali terang. Suara radio terdengar serak-serak basah mengilhami malam. Radio bercerita tentang meledaknya perang antara tentara intifada di Al-Quds terjajah dan Negehev, diikuti dengan kabar mundurnya pasukan Israel. Hatinya membahana. Akankah kau mengetuk pintu malam ini, lalu mencium keningku?

Malam kembali tak berbicara. Tidak pula memberinya kepastian esok matahari akan terbit sempurna. Kini tahajud kembali menenggelamkan dirinya dalam ayat-ayat Tuhan. Sederet tangis menjelma gerimis.

***

Dari ruang dapur, perempuan itu sudah bisa menebak bahwa ada tamu di depan. Namun, kenapa Hazayeb tidak pula memanggilnya? Perempuan itu menjadi begitu penasaran. Air panas yang sedang bergemuruh segera ia tuangkan ke dalam bak kamar mandi. Kali ini, Shafra tidak akan mengomel lagi padaku, ujarnya dalam hati.

Perempuan itu bergegas menuju ruang tamu. Beberapa orang berbaju tentara sedang berdiri di depan pintu. Wajah mereka ditutupi oleh kafayeh. Ya Allah! Kejutan apa yang kau kirim kepadaku? Pasti kau mengirim Jibril kepadaku! Pasti! Fatimah membatin.

Namun tak pula ia menemukan mata khas Jibril, mata yang selalu menggodanya ketika ia pulang dari masjid. Mata yang membuatnya memutuskan untuk menjadi bidadari di sisinya. Mata yang selalu memberikan dirinya secercah cahaya.

Masih teringat di otaknya ketika ia dan suaminya membangun rumah bersama. Ketika itu Mikail tersenyum bahagia walaupun umurnya masih menginjak 8 tahun. Mikail berteriak begitu senang, semua tersenyum memandangnya. Perempuan itu tersenyum sedikit mengenang hal tersebut.

Namun senyumnya tiba-tiba pudar, ketika ia mengingat pada suatu malam suaminya datang dengan membawa ayah dan ibunya, entah apa yang membuat mereka mau berkunjung pada keluarganya yang selama ini tidak pernah mereka restui.

Semula perempuan itu begitu senang menyambut mereka, karena itu berarti pernikahan mereka telah direstui. Suaminya menjelaskan bahwa rumah yang selama ini dijadikan tempat tinggal oleh mereka di Al-Quds terjajah telah digusur secara paksa oleh tentara Israel. Hal itu semata-mata dilakukan oleh tentara Israel demi menjalankan program Cleaning Etnic. Padahal, itulah satu-satunya kekayaan mereka. Hal inilah yang membuatnya bertambah yakin. Mertuanya pasti akan benar-benar menerimanya sebagai menantu.

Sebetulnya ia tidak pernah mengira hal ini benar-benar terjadi pada dirinya. Setelah suaminya memutuskan untuk bergabung dengan tentara intifadah di daerah tempat rumah mereka selama ini tinggal. Ini pasti bujukan kedua orang tuanya, mereka masih tidak rela harta mereka dirampas. Salah satu alasan yang membuatnya yakin adalah karena selama ini suaminya tidak pernah mengikuti perang.

Beberapa hari setelah kepergian suaminya, keadaan sedikit demi sedikit berubah. Kedua orang tuanya memperlakukannya seperti pembantu. Bahkan, ketika ia sakit karena kelelahan mereka masih memaksa dirinya untuk bekerja. Beberapa kali ia melihat Mikail dipukul lantaran membela dirinya. Ternyata, anggapan yang selama ini diyakininya salah. Hazayeb dan Shafra tidak pernah menerima dirinya sebagai menantu walaupun diri mereka kini tidak mempunyai apa-apa, kecuali harta anaknya.

Perempuan itu tersadar dari alam khayalnya ketika anaknya Mikail datang lalu memeluknya. Ia kembali mencari mata Jibril dari balik kafayeh yang menutupi tentara khas Palestina.

"Jibril tidak pernah berbohong," kata seorang yang kafayeh-nya mulai dibuka.

"Ya, kau seperti bidadari. Tidak salah lagi, kau seperti bidadari," ujar yang lain yang juga mulai membuka kafayeh-nya.

Ketiga orang tamu itu masih berdiri di sana, wajah mereka tampak begitu lelah. Pasti bermil-mil telah mereka lewati. Perempuan itu tersipu sedikit lantaran pujian yang selama ini tidak pernah ia terima.

"Kau juga Nak, kau mirip seperti Jibril," kini seorang telah memegang dagu Mikail. Mikail tersenyum.

"Apakah ayah seperti saya?" tanya Mikail pada perempuan yang terus mencari bayangan mata suaminya. Hazayeb tampak diam membisu di depan pintu.

"Ya tentu," jawab salah seorang dari mereka. "Kau akan menjadi malaikat sepertinya!"

"Di mana ayah sekarang?" tiba-tiba Mikail bertanya. Pertanyaan yang sebetulnya membenak sedari tadi di dada perempuan itu.

Tiga orang itu tiba-tiba memasang muka sedih. Perempuan itu dapat membaca, pasti ada yang tidak beres dengan suaminya.

"Kenapa? Ada apa dengan suamiku?"

Mereka bisu. Mikail bertanya-tanya dengan matanya yang berkilau.

"Di mana suamiku?" tanya perempuan itu dengan suara yang terdengar sangat panik.

Mereka masih bisu. Tak ada kata yang harus diucapkan, kecuali wajah yang menunduk untuk ikut membelasungkawa.

"Maaf, kami hanya bisa memberikan ini," suara seseorang memecahkan keadaan.

Sebuah surat yang sama persis dengan surat yang sering ia lihat disembunyikan oleh Hazayeb ketika ia ingin mengetahuinya. Perempuan itu meraba surat itu. Sebelum pergi, ketiga orang itu berbicara bahwasanya mungkin ini surat terakhir darinya. Jibril selalu membuat surat seperti itu untuk istrinya. Sejenak perempuan itu memandang Hazayeb, Hazayeb tampak diam membisu seakan ingin terus menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Perempuan itu kembali masuk ke dalam kamarnya yang kecil. Mikail berjalan di sampingnya.

"Apakah itu dari ayah?"

Perempuan itu tidak menjawab. Hanya kesunyian yang dapat memahami jawabnya.

Ia buka surat itu. Sebuah foto kumal berisi dirinya, Mikail serta Jibril yang berdiri di depan rumah yang baru saja dibangun. Ia menitikan air mata. Kembali ia mengambil secarik kertas dari dalam surat itu. Beberapa baris puisi menggaris di atasnya. Tulisan khas Jibril, yang tak pernah ia lupakan.

Kelak surga akan mempertemukan kita/Seperti ziarah lautan menuju benua

Tapi tidak sekarang, tidak pula esok/Karena sekarang dan esok hanyalah kekekalan yang fana.

Air matanya makin menderas. Mikail memeluknya hangat, air matanya pun berlinang. Terdengar teriakan Shafra menggelegar di kamar mandi, diikuti teriakan kemarahan Hazayeb yang melihat istrinya melepuh. Tapi tak ia hiraukan. Sebab tiada hal yang lebih perih selain penantian, penantian menunggu Jibril.

----

Syarif Hidayatullah, lahir di Bogor, alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep, Madura. Mendapat penghargaan sebagai penulis terbaik tingkat internasional dalam lomba cerpen remaja yang diselenggarakan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Forum Lingkar Pena (FLP) dalam Bulan Bahasa tahun 2005. Cerpen Syarif Hidayatullah lainnya >>klik di sini>>