Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 11 Januari 2009 |
Sajak Dian Hardiana |
DESMIARTI Kau terlahir sebagai matahari mengayun di udara menjadi kawan bagi burung yang membumbung. Nyalakan matamu, demi bumi, dengan hasrat bergelora aku tak ingin mendengar lagi nyanyian murung itu atau gugur mata air yang tak pernah deras kecuali cemas yang keras. Kaulah sartika si anak mawar, berduri sepi sesepi bujang yang berlindung ketika hujan mengaburkan jalan pulang. Sebagai kau, desember adalah bulan hangat di dadaku melahir anak-anak kabut, membuka petak-petak baru mengalirkan susu untuk tiba di rumah waktu. Tapi mengapa kau mesti kembali, mengulang tualang menyiasati sunyi yang merambat di mimpi paling mimpi, di suatu kenangan yang lain. Padahal kau telah berjanji kelak di suatu malam tanpa dendam secepatnya mengeringkan air mata mengaji ruh leluhur, masuki tubuh-tubuh yang terluka. Jauh dari balik gunung tinggi itu sebuah rumah kayu setia menunggu sebagai pepunggung rindu, sebagai lintasan nasib mendambamu perlahan membuka Pintu. Bandung 2007 AKU MENEMUKAN WAJAHMU RETAK DI SEBUAH CERMIN Di suatu malam yang tenang ketika jangkrik berhenti berzikir dan waktu tertahan mengalir aku menemukan wajahmu retak di sebuah cermin. Malam itu aku benar-benar dikejutkan setelah begitu lama aku menunggu kedatangan. Padahal kita harus menikah pada hujan, pada bulan, pada sebuah pertemuan. Bandung 2007 KEPADA BULAN Bulan terasa tawar, tidak bulat tapi semakin segitiga pada malam seperti ini, adakah rindu yang terburu? atau sebuah pertemuan rahasia tempat jam-jam melebur, kemudian pecah begitu saja. Sementara, langit terus mengingatkanku padamu sebagai cahaya ketika lampu-lampu kota menjadi matamu yang kedua. Malam ini, bulan tak lagi membawa percakapan orang-orang telah kembali pada mimpi berduyun-duyun, hingga cahaya terlipat sepanjang sepi. Adakah rindu yang terburu? sebelum bulan hambar dan aku jatuh terkapar. Jakarta 2008 NARCISSCUS Tiba-tiba aku menjadi narcisscus aku begitu mencintai diriku sendiri bukan danau, bukan pula angin yang berbisik tapi dirimu yang menuding ketika danau beranjak kering dan angin melempar sunyi. Tiba-tiba aku menjadi narcisscus aku tergila-gila pada bibir, rambut, dan mataku sendiri di sebuah malam kabut jauh di utara, di antara rumah-rumah sederhana. Bandung 2008 KEMARAU Tahun ini, matahari lebih pucat dari biasanya angin berkabung dan hujan turun sedikit saja. Tak ada peperangan meski orang-orang telah berpikir tentang kehancuran takut dan terus mengurung diri. Jakarta 2008 Dian Hardiana, lahir di Bandung, 25 Januari 1983. Bergiat bersama Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS UPI) dan Teater Tari Mahesa (TTM). Sajak Dian Hardiana lainnya >>klik di sini>> |