Selasa, 14 Juni 2011

Sajak Dian Hardiana


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 11 Januari 2009
Sajak Dian Hardiana
DESMIARTI

Kau terlahir sebagai matahari

mengayun di udara

menjadi kawan bagi burung yang membumbung.

Nyalakan matamu, demi bumi, dengan hasrat bergelora

aku tak ingin mendengar lagi nyanyian murung itu

atau gugur mata air yang tak pernah deras

kecuali cemas yang keras.

Kaulah sartika si anak mawar, berduri sepi

sesepi bujang yang berlindung

ketika hujan mengaburkan jalan pulang.

Sebagai kau, desember adalah bulan hangat di dadaku

melahir anak-anak kabut, membuka petak-petak baru

mengalirkan susu untuk tiba di rumah waktu.

Tapi mengapa kau mesti kembali, mengulang tualang

menyiasati sunyi yang merambat

di mimpi paling mimpi, di suatu kenangan yang lain.

Padahal kau telah berjanji

kelak di suatu malam tanpa dendam

secepatnya mengeringkan air mata

mengaji ruh leluhur, masuki tubuh-tubuh yang terluka.

Jauh dari balik gunung tinggi itu

sebuah rumah kayu setia menunggu

sebagai pepunggung rindu, sebagai lintasan nasib

mendambamu perlahan membuka Pintu.

Bandung 2007

AKU MENEMUKAN WAJAHMU

RETAK DI SEBUAH CERMIN

Di suatu malam yang tenang

ketika jangkrik berhenti berzikir

dan waktu tertahan mengalir

aku menemukan wajahmu retak di sebuah cermin.

Malam itu aku benar-benar dikejutkan

setelah begitu lama aku menunggu kedatangan.

Padahal kita harus menikah

pada hujan, pada bulan, pada sebuah pertemuan.

Bandung 2007

KEPADA BULAN

Bulan terasa tawar, tidak bulat tapi semakin segitiga

pada malam seperti ini, adakah rindu yang terburu?

atau sebuah pertemuan rahasia

tempat jam-jam melebur, kemudian pecah begitu saja.

Sementara, langit terus mengingatkanku padamu

sebagai cahaya

ketika lampu-lampu kota menjadi matamu yang kedua.

Malam ini, bulan tak lagi membawa percakapan

orang-orang telah kembali pada mimpi

berduyun-duyun, hingga cahaya terlipat sepanjang sepi.

Adakah rindu yang terburu?

sebelum bulan hambar dan aku jatuh terkapar.

Jakarta 2008

NARCISSCUS

Tiba-tiba aku menjadi narcisscus

aku begitu mencintai diriku sendiri

bukan danau, bukan pula angin yang berbisik

tapi dirimu yang menuding

ketika danau beranjak kering dan angin

melempar sunyi.

Tiba-tiba aku menjadi narcisscus

aku tergila-gila pada bibir, rambut, dan mataku sendiri

di sebuah malam kabut

jauh di utara, di antara rumah-rumah sederhana.

Bandung 2008

KEMARAU

Tahun ini, matahari lebih pucat dari biasanya

angin berkabung dan hujan turun sedikit saja.

Tak ada peperangan

meski orang-orang telah berpikir tentang kehancuran

takut dan terus mengurung diri.

Jakarta 2008

Dian Hardiana, lahir di Bandung, 25 Januari 1983. Bergiat bersama Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS UPI) dan Teater Tari Mahesa (TTM). Sajak Dian Hardiana lainnya >>klik di sini>>