Sabtu, 18 Juni 2011

Esai Christian Heru Cahyo Saputro


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 7 Juni 2009
Transaksi Kultural di Biennale Seni Rupa Nusantara

Catatan Christian Heru Cahyo Saputro

ADA rasa bangga yang menyelinap ketika mengunjungi Biennale Pameran Seni Rupa Nusantara 2009 di Galeri Nasional, Jakarta, ketika menyaksikan dua lukisan bertema Penebar Petaka karya Koliman dan Sebatas Impian karya Nurbaito dan kedua perupa itu ternyata asal Lampung.

Betapa tak bangga, mereka adalah dua perupa di antara 99 perupa dari seantero nusantara yang terpilih dalam ajang pameran bergengsi ini. Apalagi menurut kurator pameran Kuss Indarto untuk biennale kali ini melalui seleksi yang cukup kompetitif.

Jagad seni rupa Lampung kembali mengukir prestasi dalam ajang bergengsi. Tahun lalu, dalam pameran akbar seni rupa Indonesia "manifesto" dalam memarakkan 100 Tahun Kebangkitan Nasional perupa Lampung Pulung Swandaru dan Subarjo terpilih mewakili Lampung.

Pameran Seni Rupa Nusantara 2009 ditaja di Galeri Nasional, Jakarta, dari 19--31 mei 2009. Dua Perupa Lampung Nurbaito dan Koliman tampil mewakili Provinsi Lampung dalam pameran dua tahunan (biennale) yang digagas dan dilaksanakan oleh Galeri Nasional Indonesia, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Menurut Kepala Galeri Nasional Indonesia Tubagus "Andre" Sukmana sejak diselenggarakan pertama kali pada 2001, kegiatan ini betujuan lebih memperkenalkan perkembangan seni rupa modern di berbagai wilayah Indonesia.

Dalam perjalanannya tradisi pameran ini mencoba menggali berbagai kemungkinan bentuk pendekatan kuratorial guna makin meningkatkan kualitas pameran. Untuk tahun ini, format kurasi peserta ditentukan melalui seleksi dan undangan.

Pesta raya seni rupa Indonesia mengusung tema Menilik Akar, dalam proses seleksinya diikuti sekitar 600 peminat, yang kemudian terpilih sebanyak 99 perupa dari 21 provinsi, dua di antaranya perupa dari Lampung.

Pada biennale ini bisa dinikmati berbagai ragam media ekspresi seni rupa, berupa, lukisan, gambar, patung, grafis karya video, dan karya instalasi.

Andre memaparkan ternyata tema Menilik akar yang diusung untuk biennale kali ini mendapat respons kreatif dan inovatif dari para peserta. Para perupa melalui karyanya berhasil mengemas akar tradisi dan kearifan dalam menyikapi era globalisasi.

Menurut Andre, kegiatan pameran beinnale ini hanya merupakan salah satu upaya untuk merangsang iklim dialog yang positif untuk kemajuan ranah seni rupa. "Diharapkan pada gilirannya semangat berkarya bisa bertumbuh kembang di seantero nusantara dan mancanegara," kata Andre.

Pembacaan Rupa

Pembacaan Koliman pada situasi kondisi negara kita yang karut marut dengan berbagai problema ini terasa mengugah. Koliman menarasikan konsep karyanya dalam bahasa rupa yang sederhana tapi menggugah.

Karya Koliman yang bertajuk Penebar Petaka yang sarat pesan moral dan menggugah kesadaran. Lukisan dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 160 X 120 cm bertitimangsa 2009 ini menyodorkan peringatan banyaknya bahaya di sekitar kita.

Menurut Koliman, keangkaramurkaan kini berada di mana-mana. Melalui tokoh pewayangan Buto atawa raksasa--yang serakah dengan sifatnya yang tak pernah puas--menjadi bahasa rupa Koliman untuk membahasakan gagasannya.

Raksasa dikepung kelabang, kalajengking, tikus, dan berbagai binatang yang menyiratkan berbagai ancaman yang mengepung kehidupan kita. "Di sekitar kita banyak raksasa yang bakal menelan kita kalau kita tak hati-hati," ujar Koliman yang mengaku bangga bisa terpilih dalam ajang ini.

Koliman mengaku dia biasa membahasakan dunia kini dengan bahasa jagad pewayangan. "Saya ke depan juga akan berusaha mengarabi budaya Lampung yang pada gilirannya bakal menginspirasi karya-karyanya," ujar Koliman di sela-sela pameran.

Sedangkan dalam ajang ini, Nurbaito menyodorkan karyanya berjudul Sebatas Impian. Dengan gaya realis Nurbaito menggunakan media oil on canvas berukuran 145 X 195 cm dibuat tahun 2009 ini memotret bajaj yang mengambarkan salah satu alat transportasi di Ibu Kota yang mulai terpinggirkan.

Hiruk pikuk Jakarta yang disimbolkan dengan patung tani, patung selamat datang, dan patung Diponegoro membuat kisah bajaj yang merupakan salah satu pilihan transportasi kaum miskin makin termarginalkan. "Di mana-mana wong cilik itu selalu tersingkir," ujar Nurbaito yang kini juga sedang mempersiapkan pameran bersama mahasiswa ISI di Yogyakarta untuk Yogya Art Fair ini.

Transaksi Kultural

Menurut Kuss Indarto, kurator yang mengkurasi biennale kali ini sudah saatnya memandang keberhasilan pameran bukan hanya dari transaksi ekonomi. Pameran bisa dipandang dari sudut lain berupa transaksi kultural dan estetik. Yang pada gilirannya transaksi ini bakal bermanfaat bagi seniman di kemudian hari. Pada ajang pameran perupa menyodorkan karya dengan bahasa dan simbol-simbol ciptaannya kepada publik, dan publik sebagai penikmat mengapresiasinya.

Dengan demikian, diharapkan biennale seni rupa nusantara ini punya potensi dan bisa menyumbangkan terjadinya konsesus di ruang publik atau kontrak sosial-kultural yang sebenar-benarnya.

Dengan demikian, bisa diharapkan publik mencari kriteria baru keberhasilan sebuah perhelatan pameran, bukan sekadar melahirkan selebriti baru. "Selebriti dan komoditi memang penting. Namun, keduanya tak menutup kemungkinan dinisbikan dengan transaksi kultural-estetik," kata Kuss Indarto.

Pengamat seni rupa Joko Irianto mengatakan kehadiran dua perupa dalam ajang biennale ini merupakan sebuah peristiwa yang perlu dicatat: Jagad seni rupa Lampung kini sedang bergeliat.

Perupa Lampung tak pernah absen ikut serta dalam pameran bergengsi. Joko juga mengungkapkan forum-forum pameran seperti ini bisa menjadi ruang belajar dan ruang sosial para perupa untuk membangun jejaring. "Dalam pameran yang dikejar bukan melulu transaksi ekonomi, melainkan juga transaksi ide, dan wacana," kata Joko yang kini bersama kelompoknya Mediart sedang getol-getolnya memfasilitasi para perupa Lampung berpameran.

Sedangkan anggota Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung (DKL) David, mengatakan keberhasilan dua perupa Lampung ini menyejajarkan diri dengan daerah lain ini patut mendapat apresiasi. Paling tidak kita juga bisa menyemai harapan prestasi kedua perupa Lampung ini dapat menggesa ranah seni rupa Lampung untuk terus eksis di jagad seni rupa nasional.

Christian Heru Cahyo Saputro, Pengamat seni rupa, tinggal di Bandar Lampung