Sabtu, 18 Juni 2011

Esai Faisal Syahreza


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 10 Mei 2009
Wacana: Budaya Literasi Buruh Kita

Dan menurut ilmu pengetahuan modern/Buruh ialah sekrup mesin

Dipakai selagi masih berkekuatan/Dibuang kalau karatan

Seperti juga para kerbau/Dicambuk kalau loyo

Dan jika tenaganya habis/Disembelih dan diiris-iris

Demikianlah/Apa saya kurang bijaksana?

Maafkanlah kalau memang ya/ Sebab kebijaksanaan

Bukan milik saya/Bahkan diri saya

Pun bukan hak saya//

(Emha Ainun Nadhib. Sajak Buruh dalam Sesobek Buku Harian Indonesia)

DALAM kesejarahannya pada tanggal 1 Mei tahun 1886, sekitar 400 ribu buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama empat hari, di mulai 1 Mei, dan puncaknya 4 Mei 1886. Para Demonstran melakukan pawai besar-besaran, mengakibatkan polisi Amerika menembaki para demonstran tersebut, ratusan orang tewas dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati, para buruh yang meninggal dikenal sebagai martir. Peristiwa itu kemudian disebut dengan Peristiwa Haymarket. Tiga tahun kemudian, pada Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia.

Berangkat dari catatan sejarah singkat di atas, hari jadi mempunyai makna penting, bahkan begitu berarti untuk kalangan yang mengalami hal serupa yang dirasakan. Betapa kemanusian adalah persoalan yang mendasar. Menuntut setiap orang untuk bisa sadar ruang dan mempunyai kewajibannya memperjuangkannya. Dalam kondisi apa pun, dan di mana pun kesadaran itu muncul, baik meluapkannya dalam bentuk sebuah kebudayaan aksara, literasi, atau karya sastra.

Seperti sebuah sajak yang ditulis tahun 1981 oleh budayawan Emha Ainun Najib, berjudul Sajak Buruh. Emha memang dalam kehidupannya tidak sempat tumbuh dan hidup sebagai buruh, tapi dalam sajaknya dengan gamblang sekali bahwa filosofi seorang buruh bisa diwakilkan dalam bentuk "sekrup" atau "kerbau" yang dekat dengan kehidupan kita. Yang jelas, kadang kita memasuki ruang itu tanpa sadar, tidak memedulikan keberadaannya dan baru mengetahuinya bila kita merenungkannya.

Bagaimana sebuah puisi menjadi ketekunan dalam merepresentasikan kehidupan, dalam hal ini kemanusiaan yang dicampakkan dari satu golongan dalam hal ini buruh? Ini suatu kelebihan kebudayan literasi yang bisa dipecahkan dari berbagai cara sudut pandang. Misalnya mengetahui keberadaan fungsi sastra masa kini, yang banyak dijadikan alternatif media perlawanan. Atau bisa saja dengan mengatakan sastra bagian dari realita yang ada, bisa saja merupakan kenyataan yang sering kita anggap tidak tampak.

Buruh sebagaimana juga manusia, ketika harus menerima dalam kesehariannya "diperah" tenaganya oleh jam pabrik dengan rutinitas yang tiada beda setiap harinya, akan sadar bahwa dirinya pun manusia biasa. Pertimbangan dan kesadaran dalam diri muncul akibat hakikat naluri mahluk hidup, yang dipunyai siapa pun. Ketika muncul kesadaran itu memang selalu berbenturan dengan keberadaan atau posisi sebagai pekerja di bawah sistem kapitalisme industri yang mulai melanda-menggila. Ekonomi-politis hak-hak industrial jadi terbengkalai. Hasilnya pengetatan disipilin dengan menambah pengintensifan jam kerja, minimnya upah, belum lagi buruknya pelayan pabrik untuk para buruh tidak terhindarkan. Semua itu semata-mata desakan memenuhi kebutuhan hidup. Jelas ini sudah menjadi ketimpangan sosial.

Lewat aksi mogok kerja, dan demonstrasi mereka akhirnya mulai turun dan mencoba menyerukan suara mereka. Hingga banyak sekali peristiwa tercatat sebagai kesejarahan perubahannya sistem pabrik dalam memperlakukan buruh. Lantas bila semua itu tuntas, buat apa sebuah karya sastra khususkan puisi masih membicarakan pesoalan ketimpangan nilai kemanusian dan sosial pada buruh?

Ditarik ke dalam wilayah kesadaran manusia menjaga setiap nilai kehidupan, sastra--khususkan dalam hal ini puisi buruh--boleh dimaknai sastra yang bicara persoalan buruh yang ditulis bukan oleh seorang buruh. Atau bahkan sebuah karya yang lahir dari tangan buruh (Husnul Khulqi, Wowok Hesti Prabowo, Aris Kurniawan, dll) merupakan suatu investasi humanisme yang direkam untuk disuguhkan ke masyarakat luas, termasuk di dalamnya golongan buruh sendiri, untuk ditindak-lanjuti sebagai refleksi diri. Dari itulah, yang pernah direkam dalam hal ini menjadi tradisi literasi, orang bisa benar-benar belajar mengambil sebuah hikmah pembelajaran. Orang akan banyak bercermin dan membandingkan kembali secara ulang apa saja yang patut diperjuangkan. Apa saja yang ternyata sering kita lewatkan sebagai tindakan yang sebenarnya kewajiban, tapi tetap dihiraukan. Dengan seperti itu, sebuah literasi atau puisi buruh dalam hal ini akan banyak berbicara, jalan alternatif yang mampu menunjukan gejala kesadaran beraksara dan tetap terpelihara identitas realita.

Semua yang dituliskan menjadi ungkapan, atau lebih menarik bila disebut sebagai hasil cipta perenungan manusia dalam menghadapi kehidupan yang terkadang rumpang. Di luar dugaan, yang telah diciptakan menjadi sesuatu yang besar dan mencatat jalannya perkembangan kesejarahan manusia sebagai mahluk peradaban.

Faisal Syahreza, Sekrrtaris Komite Sastra Dewan Kesenian Cianjur