Sabtu, 18 Juni 2011

Cerpen Dhe A. Sujana


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 17 Mei 2009
Cerpen Dhe A. Sujana

Pada Satu Ibu

AKHIRNYA, kamu menemukan bahwa ibu serupa dengan mama, bunda, umi dan, kamu juga tahu setelah bermain ke rumah Joko, bahwa ibu bisa disebut mbok. Tapi, ibu tak pernah bisa diganti dengan bapak, papa, papi, ayah. Bahkan, seusai kamu berkunjung ke rumah Tante Susan, istri seorang lelaki yang selalu tertawa kalau kamu panggil Om Barat, kamu paham kalau sebutan daddy (sebagaimana kamu dengar ketika Shilla, sepupumu, memanggil Om Barat) pun tak bisa kau pakai untuk memanggil ibumu.

Jalan untuk memahami hal itu pertama kali terbuka di teka nol besar ketika pelajaran bercerita sedang berlangsung.

"Hayo, siapa yang bisa jawab pertanyaan Ibu?" kata gurumu.

"Siapakah yang mengutuk Malin Kundang menjadi batu?" lanjutnya.

Ari cepat sekali mengacungkan jari. "Ibunya, Bu guru," ucap Ari lantang.

"Betul."

"Tapi Bu, yang mengutuk Malin Kundang itu bukan ibunya," sergahmu cepat.

"Lalu siapa?" ibu guru yang cantik itu mengeluarkan suara dengan lembut sambil sedikit membungkukkan badannya.

"Mama Malin Kundang, Bu."

Aduh, kamu polos sekali saat itu.

Dan itulah kamu, kanak yang berdiri sambil berpegangan pada pinggiran meja makan. Ibumu yang duduk, sibuk memotong bayam, itu lama-kelamaan merasa jengah terus diperhatikan olehmu. "Ada apa? Kok diam saja?" katanya perlahan. "Mending bantu mama beresin ini," lanjutnya sambil menunjuk ke arah meja makan yang jadi semerawut karena sisa potongan bayam ada di sana-sini.

Kamu, walau terlihat malas, segera mengambil batang-batang bayam itu dan memasukkannya ke kantung plastik. "Kamu tidur siang saja," ibumu berkata sambil tersenyum (dia seolah sangat paham perasaanmu yang malas membantunya itu). "Gak ngantuk, Ma."

Kamu memang sedang tak mengantuk karena pikiranmu tengah mengelana. Kamu sedang bingung karena tak mengerti satu jalan yang bisa dipakai untuk memampatkan pikiranmu agar bisa mengeluarkannya dengan mudah.

"Kamu kenapa sih?" kali kedua ibumu bertanya. Kamu ingin menjawab. Tapi kamu tetap memilih diam karena masih belum menemukan jalan yang bisa mengeluarkan semua pikiran yang karut-marut di otakmu secara teratur. Padahal, seorang bijak yang melihat adegan ini akan berkata; "Tumpahkan segala hal yang kau pikirkan, biarkan tercecer ke mana-mana. Orang yang kau ajak bicara pasti akan berusaha merapikannya."

"Kamu lagi kepikiran apa? Ngomong saja. Jangan kolokan dong," ibumu tampaknya kian penasaran. Kini ia sampai berhenti mengulek bumbu untuk memasak bayam itu.

Lihatlah, kamu mulai berani bicara. "Ma, ehmm...tapi jangan marah ya kalau ditanya."

"Ya," kata ibumu sambil menyeka keningnya. Kemudian kembali mengulek.

"Ehmm...kenapa sih, kok saya memanggil mama dengan sebutan mama?"

"Heee...maksudnya?" ibumu berhenti mengulek lagi. Ia mengernyitkan dahi.

"Iya, kok enggak dipanggil ibu atau mami saja. Tadinya, saya pikir ibu itu beda dengan mama. Ibu untuk panggil bu guru saja dan Ibu Kartini, kayak diajarin di sekolah. Tapi, kemaren ibu guru bilang kalau ibu dan mama sama saja. Mana yang betul, Ma?"

"Hehe...Bu guru betul," jawab ibumu sambil mengelapkan kedua telapak tangan ke celemek merah yang terikat di pinggangnya. Ia kemudian melangkah mendekatimu yang duduk di bangku plastik kecil berukiran Donal Bebek.

"Kalau gitu, kenapa saya enggak pakai ibu saja buat memanggil mama."

"Yaaa...karena...," ibumu membelai kepalamu dengan perlahan. "Kamu anak Mama..." Kemudian ia berjongkok untuk memelukmu.

Jawaban itu begitu singkat (dan kamu tentu tak menduga akan mendapatkan jawaban seperti itu). Namun, pelukan ibumu yang erat dan hangat itu membuat jawaban itu terasa padat. Bahkan menancap di hatimu dengan tepat.

"Kenapa? Kamu malu ya kalau panggil mama pakai kata mama?"

Kini ibumu menempelkan kedua telapak tangannya ke pipimu dengan lembut.

"Enggak kok, Ma. Cuma pengen tahu saja," jawabmu sambil mengarahkan pandangan ke bawah.

Ada perasaan malu, namun kelegaan justru menguasaimu.

"Ma," ucapmu sambil menengadahkan kepala dengan cepat agar bisa melihat mata ibumu. "Kita makan bayam, biar kayak Popeye, ya?"

Nama tokoh kartun itu kamu ucapkan sesuai dengan tulisan yang tertera di televisi.

"Hehe...bukan, Sayang," ibumu berdiri untuk kembali mengulek bumbu. "Bayam itu bikin sehat."

"Tapi, Ma, Popeye enggak makan bayam. Dia itu minum bayam."

Ibumu mengambil wadah plastik warna hijau yang sudah berisi potongan daun bayam, kemudian meletakkannya di bawah kran air di tempat mencuci piring.

"Itu kan kalau di tivi," kata ibumu sambil mencuci dedaunan bayam. "Bayam itu lebih baik dimakan. Habis makan, baru minum air. Begitu yang benar."

Tak ada gambaran bosan di wajah ibumu, padahal pertanyaan-pertanyaanmu sangat menjemukan, bukan?

***

Hey, lihatlah, ada kanak memakai seragam dengan atasan putih dan berbawahan merah. Badannya kian tinggi pula. Kamulah kanak itu.

Ibu yang kamu kenal makin banyak pula. Pemilik warung tempatmu membeli es krim, kamu sebut dengan panggilan ibu. Demikian jua para guru perempuan yang ada di sekolahmu.

Tapi, kamu pasti tak mengetahui kalau Amin, temanmu ketika berada di kelas empat es-de, kerap mendapatkan jawaban berupa tamparan di pipi setiap bertanya kepada ibunya. Konon, menurut kabar yang berkembang di kalangan tetangga, ibu itu stres karena suaminya lari untuk bisa kawin dengan gadis.

O, coba perhatikan baik-baik, kanak itu sudah duduk di bangku kelas tiga es-em-pe.

"Bu, kenapa hitungan harus dimulai pada angka satu?" katamu usai mengacungkan jari. Perasaanmu lega bukan kepalang; pertanyaan itu sudah kau pendam sejak es-de, entah di kelas berapa tepatnya.

"Pertanyaan macam apa itu?" kata guru yang ada di kelas itu. Padahal sebelumnya, guru itu memberi kesempatan kepada para murid untuk mengajukan pertanyaan.

"Sudah, yang lain saja. Saya malas menjawabnya. Cobalah, bertanya itu yang cerdas sedikit," lanjutnya sinis.

Demikiankah cara guru itu saat menjawab pertanyaan serupa yang diajukan oleh anak kandungnya?

Tentu saja, kamu tak tahu. Sebab semenjak itu, kamu hanya tahu bahwa belajar di sekolah berarti duduk, diam-mendengarkan, dan menanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh guru.

***

"Tapi kamu masih mending karena hanya beroleh dampratan dari guru itu," kata Santi, temanmu satu es-em-a, usai kamu ceritakan kejadian di masa es-em-pe itu.

"Di es-em-peku, banyak yang dipukul kakinya dengan rotan hanya karena tidak pakai sepatu warna hitam."

"Ah masa sih," ucap Husen tak percaya.

"Ya. Malah si Romi sampai bengkak kakinya. Ngeri banget deh pokoknya. Untung aku dibelikan sepatu Warior oleh ibu."

"Kok bisa, cuma Romi yang dipukul sampai bengkak?" akhirnya keluar juga suaramu.

"Waktu itu, sehabis diadakan razia sepatu, murid yang tak pakai sepatu hitam dijejerkan di tengah lapangan untuk disabet rotan oleh wakil kepala sekolah, Romi bilang, "Apa salah pakai sepatu ini, Pak? Kan yang penting pakai sepatu kalau ke sekolah." Eh, wakil kepala sekolah malah makin marah. Romi diteriakin kurang ajar sambil dipukul berkali-kali."

"Kasihan, ya," ucapan itu hampir serempak berbunyi.

Husen, Santi, Iwan, dan kamu lantas mengisahkan peristiwa-peristiwa sejenis yang pernah terjadi di sekolah masing-masing sambil terus melangkahkan kaki menuju Texas College, tempat kursus bahasa Inggris. Iwan bercerita bahwa ia pernah mendapat nilai lima untuk pelajaran Matematika. Dan guru yang mengampu mata pelajaran itu malah berkata begini kepada Iwan: "Makanya Wan, ikut les di rumah Bapak biar kau dapat nilai bagus."

Kamu hanya perlahan tapi pasti, menyadari bahwa hidupmu kian teratur. Bangun pagi, mandi, membersihkan rumah, lantas ke sekolah. Kemudian pulang, membantu ibu, bermain dengan teman-temanmu, belajar di malam hari dan tidur. Itu rutinitasmu sampai seragam es-em-a yang kamu pakai dicorat-coret; tanda kamu selesai sekolah (yang berarti kamu dihadapkan pada pilihan: kerja atau kuliah).

Hidup yang teratur itu membuatmu paham satu hal saja. Keteraturan hanya akan menabukan keluarnya pertanyaan-pertanyaan yang remeh.

***

Wow, perhatikanlah orang dewasa yang melangkah tergesa di jalanan itu. Bahagiakah orang yang ketika berjalan tak sempat melihat keadaan sekitar? Kamu tentu tak tahu. Namun, kamulah orang dewasa itu.

Duniamu penat, tak lagi hangat. Tapi hidup terus berjalan; jentera tak bisa dicegah untuk terus berpindah. Keteraturan membuatmu seringkali hilang kesabaran. Kini, kamu tak segan membentak orang-orang yang kamu anggap tak sejalan denganmu.

Bagimu, sekarang, hidup yang berarti ialah menjalani hal-hal besar dan meninggalkan segala sesuatu yang kecil, yang remeh.

O, lihatlah dirimu yang sudah tak polos lagi. Kamu memang telah berwarna, dan hanya ada satu warna pada dirimu. Maka wajar saja kalau Sandra, temanmu satu organisasi kemahasiswaan, menjulukimu "manusia paling tega". Kamu punya alasan: "Hidup itu gampang saja, San. Mereka ikut kita atau sebaliknya. Tapi, sekarang kan kita punya kuasa. Sah dong kalau kita memaksa mereka untuk manut ke kita."

Kamu memang bukan Malin Kundang. Tapi kamu telah serupa batu walau ibu tak mengutukmu. Semua ini terjadi, karena kamu mungkin sudah sangat lupa pada satu kesabaran yang maha sabar, ketangguhan yang paling tangguh, dan kelembutan yang mengalahkan sutra. Pikiranmu tak pernah lagi mengelana pada satu ibu yang kamu kenal di masa kecilmu.

Seputaran Gumuk Kerang, 2008

Dhe A Sujana, lahir pada 21 Desember 1983. Alumnus Program Studi Sosiologi Fisip Universitas Jember. Saat ini bermukim di Jember, Jawa Timur. Sejumlah puisi dan cerpen termuat di berbagai media dan antologi bersama.