Sabtu, 18 Juni 2011

Esai Febrie Hastiyanto


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 3 Mei 2009
Wacana: Melacak Asal Usul Orang Lampung

SEBAGIAN (besar) masyarakat Lampung percaya bila mereka berasal dari Sekala Brak, Lampung Barat. Sekala Brak pertama kali dihuni suku bangsa Tumi. Setelah kedatangan empat umpu dari Pagaruyung sekitar abad XV atau XVI, yakni Inder Gajar bergelar Umpu Lapah di Way, Pak Lang bergelar Umpu Pernong, Sikin bergelar Umpu Nyerupa, Belunguh yang bergelar Umpu Belunguh, dan seorang putri Indarwati bergelar Puteri Bulan terjadi migrasi Sukubangsa Tumi ke berbagai penjuru. Yakni hampir seluruh wilayah Lampung, hingga ke Sumatera Selatan bagian selatan dan pantai utara Banten. Dari Sekala Brak ini kemudian lahir sembilan keturunan (kebuayan) besar yang berkembang menjadi puluhan marga.

Melupakan Pagaruyun

Asal usul orang Lampung menurut mitologi hanya menyebut berasal dari Sekala Brak yang saat itu didiami suku bangsa Tumi. Dari catatan cerita tutur saja ada satu realitas yang sering dilupakan: Orang Lampung juga memiliki garis keturunan dari Pagaruyung. Ada dua rekonstruksi mengenai nenek moyang orang Lampung sejak kedatangan empat umpu yang datang ke Sekala Brak. Pertama, umpu-umpu ini mengalahkan suku bangsa Tumi dan menguasai Sekala Brak. Bila tesis ini benar, berarti empat umpu yang datang memimpin wilayah dan yang menurunkan orang Lampung adalah umpu-umpu dari Pagaruyung. Kedua, umpu yang datang hanya singgah, dan mengajak sebagian warga Sekala Brak melakukan migrasi sehingga nenek moyang orang Lampung berasal dari Sekala Brak dan Pagaruyung.

Rekonstruksi migrasi dari Pagaruyung ini menarik untuk didiskusikan karena beberapa sebab. Selain bersumber dari tambo, adakah alasan pembenar lain yang menguatkan kemungkinan kedatangan umpu dari Pagaruyung. Alasan pembenar ini dapat berupa analisis konteks terhadap pengaruh budaya Pagaruyung terhadap kebudayaan Lampung saat ini. Bila migrasi dilakukan antara abad XV atau XVI, Pagaruyung kuat dugaan telah memeluk Islam. Islam mewarnai kehidupan sosial masyarakat Pagaruyung sehingga kita mengenal istilah: Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Masyarakat Lampung juga paralel dengan masyarakat Pagaruyung adalah pemeluk agama Islam yang taat. Kuntara Raja Niti, kitab (hukum) adat Lampung juga banyak memuat kodifikasi yang dipengaruhi hukum agama Islam.

Namun, bila kita bandingkan dengan sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Lampung, terlihat perbedaan yang mencolok. Masyarakat Pagaruyung dikenal luas sebagai masyarakat dengan tradisi kekerabatan yang bersifat matrilineal, berbeda dengan sebagian besar kebudayaan Indonesia, termasuk Lampung yang menganut sistem patrilineal. Bila Umpu Sekala Brak berasal dari Pagaruyung, tentunya akan memengaruhi sistem kebudayaan masyarakat Lampung juga, termasuk sistem kekerabatannya.

Tidak Tunggal

Saya cenderung percaya bahwa nenek moyang orang Lampung tidak berasal dari satu wilayah atau keturunan yang tunggal. Artinya, nenek moyang orang Lampung tidak mutlak berasal dari Sekala Brak. Dalam sejarah, Sekala Brak saja setidaknya menyebut-nyebut Pagaruyung. Ada beberapa tesis yang dapat direkonstruksi mengenai kemungkinan nenek moyang orang Lampung berasal. Yang perlu diteliti lebih lanjut adalah kemungkinan nenek moyang orang Lampung berasal dari Tanah Batak. Meski mitologi masyarakat Lampung tidak menyebut Batak, justru mitologi Batak menyebut salah satu garis keturunan mereka melakukan migrasi ke Lampung. Isneini (Lampost, 23 Desember 2007) menulis bahwa masyarakat Batak terdiri dari Raja Batak yang bernama Toba, dengan dua adik bernama Lapung yang bermigrasi ke Lampung dan Sumatera Selatan dan Boni (Bone) yang bermigrasi ke Sulawesi Selatan.

Dalam buku Sejarah Daerah Lampung (1977), disebutkan bahwa orang Lampung adalah keturunan Ompu Silamponge (Silamponga) yang melakukan migrasi dari Tanah Batak setelah terjadinya gunung meletus yang mengakibatkan terbentuknya Danau Toba. Ompu Silamponge beserta rombongan berlayar dan terdampar di Pantai Krui. Mereka kemudian mendaki Gunung Pesagi, sebagian rombongan menuju Rejang Lebong dan Komering, sebagian lagi menetap di Sekala Brak. Asal kata Lampung diduga berasal dari nama Ompu Silamponge. Dugaan keterkaitan antara Batak dengan Lampung dapat dilacak dari beberapa kesamaan bentuk Aksara Batak dengan Aksara Lampung serta kesamaan sejumlah kata dalam Bahasa Batak dan Bahasa lampung. Meskipun kesamaan ini dapat diartikan bukan saling memengaruhi, tapi karena sama-sama berasal dari sumber aksara dan bahasa yang sama dan kemudian berkembang di wilayah masing-masing.

Saat melakukan riset mengenai etnografi Way Kanan, saya mendapat informasi ada kemungkinan nenek moyang orang Lampung sebagian berasal dari Jawa. Hal ini dapat dirujuk pada sejumlah toponimi kota-kota di Lampung yang menunjukan pengaruh Jawa. Seperti toponimi Blambangan Umpu di Way Kanan. Ada dugaan, istilah Blambangan merujuk pada Kadipaten Blambangan wilayah Majapahit di bekas Karesidenan Besuki sekarang (Banyuwangi dan sekitarnya). Meskipun analisis berdasarkan toponimi sebenarnya masih lemah secara metodologis.

Pengaruh Sumatera Selatan dan Banten tentu juga cukup mewarnai kehidupan masyarakat Lampung, termasuk kemungkinan asal keturunan masyarakat Lampung sebagian dari wilayah tetangga ini. Di Lampung, misalnya, terdapat marga Rebang Pugung di Talang Padang, marga Rebang Kasui di Kasui, marga Rebang Seputih di Tanjungraya, marga Way Tenong di Way Tenong (yang beradat dan berbahasa Semendo), serta marga Way Tuba di Bahuga yang beradat dan berbahasa Ogan. Di pesisir selatan Lampung, pengaruh Banten lebih terasa. Terlebih menurut catatan sejarah, Lampung pernah dikuasai Banten.

Hampir sulit kita mengatakan nenek moyang orang Lampung berasal dari satu wilayah dan keturunan yang tunggal. Keturunan bermula dari perkawinan. Dan hampir dapat dipastikan bila dalam perkawinan terjadi perilaku eksogami (perkawinan antarsuku, atau antarklan), bahkan pada masyarakat yang disebut menganut sistem endogami sekalipun (pernikahan dengan sesama warga satu suku atau klan). Eksogami membuka ruang bagi terjadinya asimilasi asal keturunan. Eksogami juga memungkinkan pengaruh kebudayaan luar masuk dan mewarnai kebudayaan lokal. Sebab, seperti yang dikatakan Prof. Slamet Muljana (1964), tidak ada kebudayaan paling murni atau paling asli dalam sejarah peradaban umat manusia. Tabik.

Febrie Hastiyanto, alumnus Sosiologi FISIP UNS. Menulis naskah Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Etnografi Kebuayan Way Kanan, Lampung