Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 3 Mei 2009 |
Sajak-sajak Arya Winanda |
Menjelang Petang kamu tidak lagi tiba di rumah di permukaan payung berlompatan bunga air tergelincir pecah 2008 Lagu Burung Hantu aku mampir bertengger di ranting rambutan, di halaman rumahmu mataku ditata begitu besar, suka bersuara di tengah lemah cahaya aneh, kau mendengar dan memandangku dengan gusar rambut tengkukmu berdiri, darah berlari turun ke arah kaki mungkinkah rindu kepada tanah, tempat ia pernah tersusun sebagai buah mengapa gumpalan daging dalam dadamu melonjak tergesa mendengar nyanyianku, begitu banyakkah debu yang kausimpan di biliknya hingga ia seperti segera melompat, keluar dari dirimu umpama biji mataku pada matamu dalam hayalanmu. jika begitu nikmatilah laguku, seperti kau melihat hantu masa kanakmu bukankah tengkukmu yang kini dingin, tabu menengok ke belakang hingga kau ganjil padaku, pada riak waktu ketika gumpalan lenganmu sepersis arum-manis segempal awan putih, seharum tahu-cina yang kau lumat ke wajah Ibumu. berpalinglah dengan rasa takutmu, purnama pengantinku akan menambahkan malam merah ke gelap matamu bulu-bulu yang menghuni tengkukmu akan tegang meremang laguku di waktu kanakmu akan terkenang sebagai lolongan hantu igau demam yang terbirit-birit dari bibirmu. 2009 Tunawicara bila sekadar decak-kecap tiada lagi sanggup ditanggung langit-langit lidah heninglah genap kilap kilat dan getar guruh dilontarkan selisih awan kilau batang-batang air sempurna tertuang disesap bibir tanah saksikan lengan yang menunggu setia, terulur menyisip dari gelap celah membentangkan daun pertama dengarlah desis angin menggoyang-goyangnya 2009 Malam Ibu, di depan sana gores sisa cakarmu 3 tombak dari dadaku (sebenarnya itu hanya sisa air yang biasa mengalir 15 menit usai makan malam berakhir) Ibu, bila dinding itu berdaging tentu sayatanmu akan membuatnya tak getas untuk lekas melepas lengking (ia sangat tahu itu tak mungkin sebab niscaya air mengalir meruncing dari ujung benda-benda memasak yang menggantung kepada pasak selesai kotoran disingkirkan di lubang pencucian) Ibu, apa dinding itu demam sebab bertahun-tahun ia mesti pandai menanggung lepuh bekas cakarmu hingga warnanya terkelupas pasi kehijauan (merasa pandir dengan nada pertanyaan ini, tanpa sadar ia pun menerbitkan senyum setengah terpejam) Ibu, mengapa kau memandang 3 tombak di hadapan sedang mata-tombak yang licin dingin kausisipkan di antara rusuk di dada kiriku (kini aku ragu apa yang dipantulkan cahaya lampu pantat kuali hangus atau nyala meteor yang lesap—di dada terbakar, berekor sekejap di langit malam mata) 2009 ---------- Arya Winanda, lahir di Kotabumi, Lampung Utara, 14 Juli 1980. |