Sabtu, 18 Juni 2011

Sajak-sajak Arya Winanda


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 3 Mei 2009
Sajak-sajak Arya Winanda

Menjelang Petang

kamu tidak lagi tiba di rumah

di permukaan payung

berlompatan bunga air

tergelincir pecah

2008

Lagu Burung Hantu

aku mampir bertengger di ranting rambutan, di halaman rumahmu

mataku ditata begitu besar, suka bersuara di tengah lemah cahaya

aneh, kau mendengar dan memandangku dengan gusar

rambut tengkukmu berdiri, darah berlari turun ke arah kaki

mungkinkah rindu kepada tanah, tempat ia pernah tersusun sebagai buah

mengapa gumpalan daging dalam dadamu melonjak tergesa

mendengar nyanyianku, begitu banyakkah debu yang kausimpan di biliknya

hingga ia seperti segera melompat, keluar dari dirimu

umpama biji mataku pada matamu dalam hayalanmu.

jika begitu nikmatilah laguku, seperti kau melihat hantu masa kanakmu

bukankah tengkukmu yang kini dingin, tabu menengok ke belakang

hingga kau ganjil padaku, pada riak waktu

ketika gumpalan lenganmu sepersis arum-manis

segempal awan putih, seharum tahu-cina yang kau lumat ke wajah Ibumu.

berpalinglah dengan rasa takutmu, purnama pengantinku

akan menambahkan malam merah ke gelap matamu

bulu-bulu yang menghuni tengkukmu akan tegang meremang

laguku di waktu kanakmu akan terkenang

sebagai lolongan hantu

igau demam

yang terbirit-birit dari bibirmu.

2009

Tunawicara

bila sekadar decak-kecap

tiada lagi sanggup

ditanggung langit-langit lidah

heninglah

genap kilap kilat

dan getar guruh

dilontarkan selisih awan

kilau batang-batang air

sempurna tertuang

disesap bibir tanah

saksikan lengan

yang menunggu setia, terulur

menyisip dari gelap celah

membentangkan daun pertama

dengarlah

desis angin menggoyang-goyangnya

2009

Malam

Ibu,

di depan sana gores sisa cakarmu

3 tombak dari dadaku

(sebenarnya itu hanya sisa air

yang biasa mengalir 15 menit

usai makan malam berakhir)

Ibu,

bila dinding itu berdaging

tentu sayatanmu

akan membuatnya tak getas

untuk lekas melepas lengking

(ia sangat tahu itu tak mungkin

sebab niscaya air mengalir

meruncing dari ujung

benda-benda memasak

yang menggantung kepada pasak

selesai kotoran disingkirkan

di lubang pencucian)

Ibu,

apa dinding itu demam

sebab bertahun-tahun

ia mesti pandai menanggung

lepuh bekas cakarmu

hingga warnanya terkelupas

pasi kehijauan

(merasa pandir dengan

nada pertanyaan ini, tanpa sadar

ia pun menerbitkan senyum

setengah terpejam)

Ibu,

mengapa kau memandang

3 tombak di hadapan

sedang mata-tombak yang licin

dingin kausisipkan

di antara rusuk di dada kiriku

(kini aku ragu

apa yang dipantulkan

cahaya lampu

pantat kuali hangus

atau nyala meteor

yang lesap—di dada

terbakar, berekor sekejap

di langit malam mata)

2009

----------

Arya Winanda, lahir di Kotabumi, Lampung Utara, 14 Juli 1980.