Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 3 Mei 2009 |
Sajak-sajak Bode Riswandi |
Menjadi Kayu Lalu, Kembali lagi aku ingin jadi kayu. Seperti dulu ketika kita bertukaran musim Di gelas-gelas yang telah kita sisakan kemabukkannya Hanya satu sloki, sambil menyapu satu-persatu Butiran parfum di batang lehermu dan bertukar kehangatan Yang sama-sama kita pahamkan : seperti perapian itu, katamu. Lagi-lagi, Aku haus menjadi kayu. Ketika kesepian yang kita tunggu-tunggu Datang dari kesendiriannya yang panjang, Menggondol bergelas-gelas kemabukkan yang baru, Sambil menantikan tikaman bibirmu : yang serupa pisau serut itu, kataku. Tak bosannya, Ia pun tetap merindukanku menjadi kayu. Ketika banyak musim yang terbakar, Ketika banyak semak dan belukar, dan ketika Segalanya ludes terbakar di ranjang yang baru dipesan Menjelang kepergian bulan madu kita Ke hutan-hutan : lalu kita tidak lagi berkata-kata. Jangan menolak, Aku musti jadi kayu, pintamu. Meninggalkan segala bulan madu Yang kita jalani berwindu-windu. Serta menggantikan waktu-waktu istirah Dengan pelaminan-pelaminan dan doa akad nikah Bagi hutan-hutan carang dan tanah kerontang : meski kita harus ketinggalan nostalgia di stasiun-stasiun dan terminal-terminal. Melulu, Aku menerima tawaranmu menjadi kayu. Meski daun-daun mengering, dan hutan-hutan Jadi tebing. Kemudian kita menulis dengan angin Tentang orang-orang yang gelisah, serta bangsa yang Punah. Kemudian kita membacanya dengan azimat Tentang sejarah yang kadung jadi keramat : kemudian kita pun dingin untuk berhadapan juga berbagi kehangatan. Sesungguhnya, Aku betah menjadi kayu yang tumbuh di mana pun Tubuhmu minta. Lalu kita pun menyukainya Sebagai keintiman yang luar biasa. Sentuhan termesra. Kedekatan tak berkata, meski berkali-kali tersesat di sungai antara buah dadamu. Sebelum akhirnya sampai ke belukar rawa-rawa Yang bukan lagi rumah kita : ini bulan madu terpahit, yang datang dan berulang-ulang, katamu. Ternyata, Aku harus bertahan menjadi kayu. Menjadi apa yang kau mau. Lalu aku betah Pada kuluman bibirmu yang serupa Pisau serut itu, lalu kau menikmatinya Sampai aku benar-benar mengkilap dalam jilatanmu : sebelum orang-orang gelisah itu menebang menjadikan kita potongan tak bersahaja, kataku. Lagi pula, Sebagai kayu aku lebih menikmatimu sebagai hutan. Lebih menikmati eranganmu yang panjang, lebih Menikmatimu sebagai perempuan yang memiliki Banyak rambut, dan lebih menikmatimu Sebagai ranjang di musim dingin, ketika kehangatan Musti kuledakkan dan kukabarkan Pada malam-malam berkabut. Lagi pula, sebagai kayu Telingaku lebih syahdu mendengar nyanyian hijau ladang gambutmu. Lebih kerasan menarikulur kenyal lidahmu. 2006 Ritus Romantisme Tubuh Hari-hariku merobohkan rumah-rumah Dalam keramaian tubuh ini. Tahun-tahunku Membangun tiang-tiang kesunyian Dalam jiwa. Dan langkahku menyertai waktu yang terlampaui. Telah kuakrabi kemiskinan yang bergulung dalam sumsum Terasa ringan dunia kutimang, namun malam dan siang Begitu berat membebani pundakku. Selalu kuramaikan musim yang berkubang di ubun-ubun Dengan teriakan, dengan mantra, serta kesepian Langkah peziarah: Bumi takkan kekeringan kata-kata Tapi dalam tubuh ini terdapat sungai-sungai yang kering. Seperti itu pula malam dan siang Begitu berat membebani pundakku. Sebagian dari tubuh kita adalah kemiskinan, remukan Batu-batu dari sisa bangunan yang diambrukkan. Sebagian dari tubuh kita adalah kenyataan Yang tercipta dari seribu kutukan Aku telah membuat pagar dari kuburan-kuburan keramat Menempatkan diri dalam pemasrahan yang cukup khidmat Aku memucatkan bulan dalam tempurung, kemudian Membekukannya di ujung-ujung rambut: Seperti dirimu Rambutku berkibar ketika tak ada yang bisa kukawini lagi. 2006 Bode Riswandi, lahir di Tasikmalaya 6 November 1983. Alumnus FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia (Unsil) bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST), Teater 28, Study Oriented Cultur Tasikmalaya (SOCuT). Menulis puisi, cerpen dan naskah drama di berbagai media dan antologi bersama. Tahun 2005 mejadi Duta Kesenian dalam Misi Kebudayaan ke Malaysia. |