Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 22 Maret 2009
Sajak Andha S.
Lilin Dingin >> judul
mungkin kau hanya akan menemukan
seungguk kenangan buruk
tentang rumah kami. di sana tak ada teman
untuk bercakap-cakap. sepasang sendok
dan garpu, gelas keramik putih bertangkai, juga
sebuah piring yang pinggirnya sumbing tepat di tubir meja
hanya berbisik-bisik sesama mereka.
sementara beberapa orang penghuni rumah
larut dengan diri masing-masing
diam dan kaku, berkeras ingin menjadi batu.
kau telah telanjur di dalam, maka ingatlah pintu
tempatmu masuk. sebab jendela-jendela
kadang menyembunyikan jalan keluar. kami selalu merasa
seseorang atau sesuatu, telah memasang semacam perangkap
sebab kami selalu mesti kembali meski setiap hari
adalah langkah yang kami niatkan untuk pergi.
tapi, sebuah gerhana yang tak jadi
tengah melelehkan tubuh kami. dan kami pun segera
tak jadi menyebutnya air mata.
dan dalam nikmat rintih-rintih kami berharap
ibu api di kepala kami segera melahirkan anak-anaknya.
kami berharap jika kelak anak-anak tersebut lahir
salah satu dari mereka akan segera menghambur
ke pangkal mulut perempuan itu
memberi terang kepada seorang pertapa di sana.
(semoga saja sang pertapa mau mengganti mantranya
sebab kami pun sedang suluk:
diam dan kaku, dipaksa jadi batu!).
sedang perempuan di sudut dipan itu masih saja meracau,
laki-laki di depan kursi kayu sehabis membanting pintu
segan membatu, sepasang bocah ingusan itu pun
ingin menjadi gadis korek api dalam kisah lalu.
namun, di wajah sepasang bocah itu
kami melihat jutaan kenangan berhamburan dari
kepala kami. kisah-kisah yang terus terbakar
seperti sayap kunang-kunang disayat jutaan bintang
nun di langit yang tak lagi bisa kami cengkramai.
padahal saat ini kami tak ingin membicarakannya
sebagai kesedihan.
kami sungguh tak ingin kembali dari malam, pulang
ke waktu yang tak bisa diulang. kami
adalah pohon berbuah matahari.
dalam rumah ini.
maka kami izinkan kau pungut buah-buah kami
yang berserakan ke segala penjuru; ke liang jantung
para penghuni rumah ini. walaupun kelak
kau hanya mampu menyalakannya dalam hatimu
dan membangunkan segala yang telah tertidur
dalam hati mereka.
lalu kita akan sama-sama merasakan alpa
kepada selain dari diri kita. kita akan merasakan
betapa keruhnya bunyi jantung yang memperdengarkan hidup
sebagai panghambaan pada diri masing-masing.
kita akan tahu, kami telah pasi dan kaku,
dingin seperti batu.
tepat pada saat itu kita telah terpisah sangat jauh.
kau telah datang ke pulang yang tak bisa ditempuh.
orang-orang seperti tak ada lagi. seperti gerhana
yang tak jadi. namun matahari telah padam di kepala kami.
barang kali ada yang berhasil mencuri korek api
kemudian menghabiskannya sendiri?
perempuan di sudut dipan itu akhirnya pergi
ke dipan orang lain. di depan pintu hanya ada kursi kayu
tanpa patung lelaki batu di situ.
lalu kau, barang kali akan menemukan
lebih banyak ingatan buruk tentang rumah ini.
semuanya telah berubah kini. dan lihatlah
sepasang bocah itu hanya berhasil menjadi lilin
seperti gadis korek api
membakar mimpi sendiri.
Kapalo Koto, 2008-2009
Fabel >> judul
nenek, bacakanlah kembali sebuah dongeng
pada kami. agar kami tahu matahari yang akan
kami jenguk esok pagi bukanlah mata pemabuk
yang terjaga dari sinema silat siang hari, agar
wangi jendela jati yang kami hirup pertama kali
adalah wangi batang kayu yang menceritakan
bahwa musim seharusnya memang berganti, agar
malam ini ketakutan terkunci rapat dalam kenangan
meski esok diulang kembali sebagai kenyataan.
buatlah kami percaya bahwa burung bukanlah
bocah usia belasan yang mengepakkan-ngepakkan tangan
dan melulu hinggap di pagar sekolahan, bahwa gelak
tawa perempuan muda di gubuk samping jembatan
tidak serupa suara angsa di antara gerombol musang jantan,
bahwa setiap hari sepulang belajar, pada malamnya
kami akan selalu mendapatkan sebuah dongeng
sehingga kami tak lagi ingin jadi macan
seperti anak-anak lain dalam iklan televisi.
buatlah kami mengerti kenapa orang bisa berenang
sedang ikan tak bisa berjalan, kenapa monyet
memiliki empat tangan namun tetap bisa melangkah,
kenapa sedari kecil kami disusui oleh sapi
sedang kami tidak kunjung memiliki tanduk?
ayolah nenek, bacakanlah secepatnya berita itu lagi
kami mesti segera tidur sebab esok harus bangun pagi sekali.
esok kami akan berdarmawisata ke kebun binatang,
tempat paling mudah bagi kami untuk menjelaskan
mana orang dan mana binatang.
2008
Petak, Umpet! >>> judul
yang alpa dari kita hanyalah halaman belakang
kau mencari ke dalam rumah
sedang aku menyuruk ke waktu yang tak bisa diulang
kita terpisah meski aku selalu bisa melihatmu
menjauh, mendekat, sesekali berteriak
melampaui genting gelak kanak-kanak
tetapi tahun-tahun kian lepas dari hitungan
selalu ada sekian cerita baru
semakin kita urung bertemu
kau telah menerobos pintu depan
ketika aku tetap menunggu
lalu mencuri bosan dari tanaman tetangga
mencari persembunyian baru
di sana aku memanjat tinggi batang
mengumpeti daun rindang
dan menjawab sendiri dalam hati
bahwa permainan telah usai
sejak kau berhenti berlari
dan membangun rumah tangga sendiri
2008
Bias Laut >> judul
hari mungkin belum petang
ketika kita berpikir untuk pulang
sauh itu belum diangkat
dan senja tak juga kunjung merapat
ada baiknya kita bermain-main di sini
lebih lama.
membayangkan seorang nakhoda tua
menebas angin dan bayang kekasihnya
yang mulai dingin. hingga akhirnya
ia berangkat juga. dan kita akan tak sengaja
menemukan alasan bertukar cara
dalam merasakan tipu daya.
atau duka. sebab banyak kisah selain itu
hanyalah reka-reka.
tapi kita percaya juga akhirnya
sebab laut selalu memulangkan bangkai:
bayang dirimu, atau mimpiku
yang mulai lunglai
2009
Kota Mati >> judul
bagaimana membaca peta
ketika garis-garis tubuhmulah
jalan menuju kota itu? kota
yang hanya menyisakan puing-puing,
tempat jauh yang hanya erang dan asap
ke langit genting. asal paling pangkal
seorang perindu bebal.
di sini tak ada jejak sesiapa selain kita,
tak ada suara, kertap kereta kuda,
atau sekadar sisa bait doa sia-sia.
entah materialnya dipungut dari serpihan
degup jantung siapa.
sehingga tak ada yang mesti diumumkan
meski di sini pernah terjadi pertumpahan darah.
tentu saja juga ada yang pernah bertahan
dan kalah?
namun kota ada sebab peristiwa di sini
pernah dibangun. dan mimpi-mimpi
pernah diracun.
namun kita, yang bertahan
tanpa mempedulikan nama-nama,
akhirnya juga menyerah kalah. tanpa sampai
ke kota siapa pun. lalu menyingkir
ke puing masing-masing.
Kapalo Koto, 2009
Andha S. lahir di Kota Solok, Sumatera Barat, 26 November 1987. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, giat di Teater Langkah FSUA, Ranahteater, dan komunitas Kandangpadati.