Rabu, 15 Juni 2011

Sajak Andha S.

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 22 Maret 2009

Sajak Andha S.

Lilin Dingin >> judul

mungkin kau hanya akan menemukan

seungguk kenangan buruk

tentang rumah kami. di sana tak ada teman

untuk bercakap-cakap. sepasang sendok

dan garpu, gelas keramik putih bertangkai, juga

sebuah piring yang pinggirnya sumbing tepat di tubir meja

hanya berbisik-bisik sesama mereka.

sementara beberapa orang penghuni rumah

larut dengan diri masing-masing

diam dan kaku, berkeras ingin menjadi batu.

kau telah telanjur di dalam, maka ingatlah pintu

tempatmu masuk. sebab jendela-jendela

kadang menyembunyikan jalan keluar. kami selalu merasa

seseorang atau sesuatu, telah memasang semacam perangkap

sebab kami selalu mesti kembali meski setiap hari

adalah langkah yang kami niatkan untuk pergi.

tapi, sebuah gerhana yang tak jadi

tengah melelehkan tubuh kami. dan kami pun segera

tak jadi menyebutnya air mata.

dan dalam nikmat rintih-rintih kami berharap

ibu api di kepala kami segera melahirkan anak-anaknya.

kami berharap jika kelak anak-anak tersebut lahir

salah satu dari mereka akan segera menghambur

ke pangkal mulut perempuan itu

memberi terang kepada seorang pertapa di sana.

(semoga saja sang pertapa mau mengganti mantranya

sebab kami pun sedang suluk:

diam dan kaku, dipaksa jadi batu!).

sedang perempuan di sudut dipan itu masih saja meracau,

laki-laki di depan kursi kayu sehabis membanting pintu

segan membatu, sepasang bocah ingusan itu pun

ingin menjadi gadis korek api dalam kisah lalu.

namun, di wajah sepasang bocah itu

kami melihat jutaan kenangan berhamburan dari

kepala kami. kisah-kisah yang terus terbakar

seperti sayap kunang-kunang disayat jutaan bintang

nun di langit yang tak lagi bisa kami cengkramai.

padahal saat ini kami tak ingin membicarakannya

sebagai kesedihan.

kami sungguh tak ingin kembali dari malam, pulang

ke waktu yang tak bisa diulang. kami

adalah pohon berbuah matahari.

dalam rumah ini.

maka kami izinkan kau pungut buah-buah kami

yang berserakan ke segala penjuru; ke liang jantung

para penghuni rumah ini. walaupun kelak

kau hanya mampu menyalakannya dalam hatimu

dan membangunkan segala yang telah tertidur

dalam hati mereka.

lalu kita akan sama-sama merasakan alpa

kepada selain dari diri kita. kita akan merasakan

betapa keruhnya bunyi jantung yang memperdengarkan hidup

sebagai panghambaan pada diri masing-masing.

kita akan tahu, kami telah pasi dan kaku,

dingin seperti batu.

tepat pada saat itu kita telah terpisah sangat jauh.

kau telah datang ke pulang yang tak bisa ditempuh.

orang-orang seperti tak ada lagi. seperti gerhana

yang tak jadi. namun matahari telah padam di kepala kami.

barang kali ada yang berhasil mencuri korek api

kemudian menghabiskannya sendiri?

perempuan di sudut dipan itu akhirnya pergi

ke dipan orang lain. di depan pintu hanya ada kursi kayu

tanpa patung lelaki batu di situ.

lalu kau, barang kali akan menemukan

lebih banyak ingatan buruk tentang rumah ini.

semuanya telah berubah kini. dan lihatlah

sepasang bocah itu hanya berhasil menjadi lilin

seperti gadis korek api

membakar mimpi sendiri.

Kapalo Koto, 2008-2009


Fabel >> judul

nenek, bacakanlah kembali sebuah dongeng

pada kami. agar kami tahu matahari yang akan

kami jenguk esok pagi bukanlah mata pemabuk

yang terjaga dari sinema silat siang hari, agar

wangi jendela jati yang kami hirup pertama kali

adalah wangi batang kayu yang menceritakan

bahwa musim seharusnya memang berganti, agar

malam ini ketakutan terkunci rapat dalam kenangan

meski esok diulang kembali sebagai kenyataan.

buatlah kami percaya bahwa burung bukanlah

bocah usia belasan yang mengepakkan-ngepakkan tangan

dan melulu hinggap di pagar sekolahan, bahwa gelak

tawa perempuan muda di gubuk samping jembatan

tidak serupa suara angsa di antara gerombol musang jantan,

bahwa setiap hari sepulang belajar, pada malamnya

kami akan selalu mendapatkan sebuah dongeng

sehingga kami tak lagi ingin jadi macan

seperti anak-anak lain dalam iklan televisi.

buatlah kami mengerti kenapa orang bisa berenang

sedang ikan tak bisa berjalan, kenapa monyet

memiliki empat tangan namun tetap bisa melangkah,

kenapa sedari kecil kami disusui oleh sapi

sedang kami tidak kunjung memiliki tanduk?

ayolah nenek, bacakanlah secepatnya berita itu lagi

kami mesti segera tidur sebab esok harus bangun pagi sekali.

esok kami akan berdarmawisata ke kebun binatang,

tempat paling mudah bagi kami untuk menjelaskan

mana orang dan mana binatang.

2008


Petak, Umpet! >>> judul

yang alpa dari kita hanyalah halaman belakang

kau mencari ke dalam rumah

sedang aku menyuruk ke waktu yang tak bisa diulang

kita terpisah meski aku selalu bisa melihatmu

menjauh, mendekat, sesekali berteriak

melampaui genting gelak kanak-kanak

tetapi tahun-tahun kian lepas dari hitungan

selalu ada sekian cerita baru

semakin kita urung bertemu

kau telah menerobos pintu depan

ketika aku tetap menunggu

lalu mencuri bosan dari tanaman tetangga

mencari persembunyian baru

di sana aku memanjat tinggi batang

mengumpeti daun rindang

dan menjawab sendiri dalam hati

bahwa permainan telah usai

sejak kau berhenti berlari

dan membangun rumah tangga sendiri

2008


Bias Laut >> judul

hari mungkin belum petang

ketika kita berpikir untuk pulang

sauh itu belum diangkat

dan senja tak juga kunjung merapat

ada baiknya kita bermain-main di sini

lebih lama.

membayangkan seorang nakhoda tua

menebas angin dan bayang kekasihnya

yang mulai dingin. hingga akhirnya

ia berangkat juga. dan kita akan tak sengaja

menemukan alasan bertukar cara

dalam merasakan tipu daya.

atau duka. sebab banyak kisah selain itu

hanyalah reka-reka.

tapi kita percaya juga akhirnya

sebab laut selalu memulangkan bangkai:

bayang dirimu, atau mimpiku

yang mulai lunglai

2009


Kota Mati >> judul

bagaimana membaca peta

ketika garis-garis tubuhmulah

jalan menuju kota itu? kota

yang hanya menyisakan puing-puing,

tempat jauh yang hanya erang dan asap

ke langit genting. asal paling pangkal

seorang perindu bebal.

di sini tak ada jejak sesiapa selain kita,

tak ada suara, kertap kereta kuda,

atau sekadar sisa bait doa sia-sia.

entah materialnya dipungut dari serpihan

degup jantung siapa.

sehingga tak ada yang mesti diumumkan

meski di sini pernah terjadi pertumpahan darah.

tentu saja juga ada yang pernah bertahan

dan kalah?

namun kota ada sebab peristiwa di sini

pernah dibangun. dan mimpi-mimpi

pernah diracun.

namun kita, yang bertahan

tanpa mempedulikan nama-nama,

akhirnya juga menyerah kalah. tanpa sampai

ke kota siapa pun. lalu menyingkir

ke puing masing-masing.

Kapalo Koto, 2009


Andha S. lahir di Kota Solok, Sumatera Barat, 26 November 1987. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, giat di Teater Langkah FSUA, Ranahteater, dan komunitas Kandangpadati.