Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 18 Januari 2009 |
Sajak M. Raudah Jambak |
SUNGAI PENGEMIS 1. Seorang pengemis duduk di pusat kota menggenggam terompet yang dibuang oleh pemiliknya. Jalanan mulai sunyi. Seorang pengemis duduk di simpang kota meniup terompet yang basah terimbas air hujan. Suaranya tersekat. Seorang pengemis duduk di tiang lampu jalan raya yang mati arusnya, pengendara satu-satu. Bibirnya membiru. 2. Pada malam tahun baru ini, para pengemis mengais rezeki dari sisa terompet yang ditinggalkan para pejalan kaki. Hujan baru saja reda, meninggalkan segala sisa. sepanjang malam pengemis itu menahan gigil tulang, memungut segala bekas di jalanan. Pesta baru saja usai, menjejakkan segala mimpi yang terburai. Lalu perlahan ia pergi meninggalkan sisa nasib yang tak sempat dikutip. Di simpang jalan, lampu merah tak jua padam di antara langkah yang tertahan 3. dan perlahan suara malam senyap meninabobokkan bulan di peraduan. Suara terompet dan jerit petasan sedari tadi telah dibungkam. Menjelang pagi seorang pengemis membangun kepingan mimpi. Bersama tumpukan sisa hujan yang perlahan meninggalkannya di sepanjang selokan 4. Di antara pagi Pengemis kecil duduk sendiri Mendekap sisa hujan Di dadanya Sementara waktu terus berpacu Kendaraan terus melaju Satu per satu Pengemis kecil duduk sendiri menumpukkan sisa nasib mengumpulkan kepingan mimpi dalam nyenyak tidurnya 5. Pulanglah, Dik Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu Membawa kepada segala kenistaan Dan persekongkolan Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu Di kepalamu yang murni Pulanglah, Dik Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam Wajah burammu menjadi senyuman 6. Pengemis kecil bertubuh dekil menyanyikan senandung sunyi lagu dari segala kepedihan Berhenti di traffic-light Simpang jalan raya Kencringan di tangan kanan Merangkai harapan Pengemis kecil bertubuh dekil Menghalau masa lampau Tentang bulan dan matahari Terjebak arus pikiran belia Yang terbang bersama debu Sepanjang jalan raya 7. Di simpangsimpang jalan raya Seorang pengemis kecil menunggu rindu Sisa mati lampu dan deru segala hujan Entah tanggal yang ke berapa Zikir mengalir Di simpangsimpang jalan raya Seorang pengemis kecil menunggu ragu Pada pilu hati yang kuyu Entah ngilu yang ke berapa Sendu memalu 8. Di jalan ini Pasir menyisir pagi Menyemai gigil kerikil Ah, betapa angin mengganggu pintu-pintu Tak berdaun dalam bangunan pikiran Pada sudut rumah daun-daun berguguran Bunga-bunga telahpun melayu Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan Baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa Karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan Di setiap titik peron-peron lengang Dan daun-daun yang melayang berpeluh Pada jejak-jejak perjalanan 9. Di pintu tahun baru Seorang pengemis kecil mengumpulkan sampah Yang ditinggalkan peradaban kata-kata Entah muntahan yang ke berapa Serapah yang ia rasakan Di pintu tahun baru Seorang pengemis kecil mengutip sampah kata Pada pilu hati yang kuyu, lugu Entah ngilu yang ke berapa Sendu memalu MENYUSURI KOTA KOTA SUNGAI 1. Menyusuri sungai, ketekketek bersin Menggeram pada isak gemuruh mesin riakriaknya menari pada perih segala sedih rindu muara penawar tubuh segala ringkih di gemuruh hati yang gaduh ada luka membawa cerita di sepanjang alirannya ada sesuatu yang belum terbaca tentang sebuah pemandian putriputri raja yang menari melintasi perkampungan dan pabrikpabrik yang berdiri bagai raksasa pada tepiannya, serta sejarah terkubur yang tersusun sempurna menutupi kubangan lumpur di bawah kayukayu penyangga dari kidung buaian ah, apakah dayangdayang tengah menarikan tarian selamat datang atau sekelebat ibuibu yang tengah mencuci di depan jamban kayu sepanjang tepian perigi segala sepi Eit, sepasang camar saling bertatap mesra, di atas sampan yang melintas pelan. Wajah mereka terlihat kelelahan. Angin berhembus sangat lamban mengantar ke sebuah kota yang bernama kenangan setua usia benda-benda purbakala Sambil meneguk setetes air membawa ingatan tertahan dari sebuah perjalanan pergi dan kembali sebuah kenangan sepanjang hari awan merangkak pelan mengabarkan permulaan salam perjumpaan 2. Menyusuri sungai, terbayang segala kenang tongkang menerjang. Berlari kencang garang Permukaannya membelah memberi jalan Musa dari kejaran raja Fir'aun yang memendam luka Pada peta hayalku yang aduh terdaftar ragam cinderamata Serta hadiah perpisahan upah sebuah pelukan sepanjang kota Warnanya menggambar sebuah kecemasan juga rahasia yang belum sempat terpecahkan semesta laksana kendaraan Musa, lajunya menikam-tikam terjebak monopoli minyak Fir'aun sepenuh dendam yang usianya melampaui batas keserakahan tentang sebuah keimanan dan keyakinan anak angkat kepada Tuhan yang terpendam nyaman kerakusan ayah angkat yang ingin melampaui kekuasaan saat gelombang terbawa pulang. Riaknya yang tenang begitu meninabobokkan. Di depan terpampang kenang sebuah kanvas perjalanan yang kita susuri yang bergoyang kita seolah diajak menari 3. Menyusuri sungai, pengeruk klutuk pasir menyisir Laiknya seorang gadis yang menunggu penyair permukaanya menggelombang sesekali di tepiannya bocahbocah telanjang menari Menyusuri sungai, kota-kota seolah menyendiri Menyusuri sungai, kota-kota seperti sepi SUARA MENYERUAK DARI DASAR SUNGAI 1. pada aliran sungai bangkai melintasi bebatu tak kuharap kau senandungkan debu-debu pun mungkin ceracau bajaj yang berlari hiruplah aroma kesumat birahi ini di hirukpikuk pengendara atau pengguna jalan raya 2. disesaki asongan dan gelandang kau bukanlah pemakaman tanpa kenang hanya saja kau selalu hembuskan aroma bangkai pada air menggenang aku haru pada pekat airmu, haru pada senandung lapar zikir terbuang menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah yang menghanyutkan suara-suara dari mulut penuh serapah 3. dan rauplah cuka lalulalang aroma segala pembusukkan segala pembusukkan 2008 UJUNG PENA SUNGAI TINTA 1. Sepenuh musim kugali kata dari ujung pena sungai tinta. Sepanjang musim itu pula kusemai lembar kota, menusuk--merasuk di rampak tik tak tik tak jarum jam yang berdetak. Seutuh musim ke musim mewarta dendam peta sengketa, menceracau bak pemabuk berdiplomasi. Menguras sumur alkisah dengan segala menu basi, berakhir suka atau duka. Seluas musim- musim melayarkan perahu galau, pulau demi pulau, bersama kemudi kecemasan. Menembus segala musim membebas ruang kuli tinta, menggali sumur kata-kata pengab rahasia. dan, di titik penentuan, beragam ujung pena- musafir, mereguk cinta dari sumur kata-kata. 2. Setelahnya prosesi sunyi. Kemudian kehadiranmu persis sekadar kemunculan yang tak beraturan di setiap desis Menunggumu pun tercipta ritual ujung pena. sebuah pesta dari segala napas peristiwa cahaya matahari menghadirkan madu makna menetes dari mata air jiwa dan para kuli tinta terus menguras sumur kata pada lembah segala wacana, menyisir-ranjaunya di setiap titik perhentian langkah pena Yang tertinggal mungkin tapak-tapak kaki juru bicara, bertopengkan segala wawancara para dasamuka Pun lenyapkan segala jejak tapak-tapak para musafir gagak yang berwajah kuda berbulu serigala. Lesapkan segala gerak 3. langkah yang mengonak Pada tubuh, peluh mulai terasa membasuh lesatkan aroma sesak segala muak ke udara. Lalu orkestra zaman menggumuli musim berkali, meninabobokkan sepenuh istirah. Lalu sunyi, lalu sepi, menutup diri. Bibirpun meloncatkan segala rahasia sumur kata, ladang menggemuruh-hutan belantara Para pemburu sempat kehilangan panah dan busurnya, memburu di setiap perhentian kata menggumulinya untuk kemudian dilahirkan pada cerita gerbang penghabisan para jagal maupun casanova. Pada ujung pena kuli tinta menggali sumur kata-kata. Ada mata air yang terus melimpahkan peristiwa. 4. Pada limpahan peristiwa, orasi kata menghambur makna. Sumur kata-kata adalah petanya. Menetapkan warta Kita pun dapat memahat atau mengukir wajah kita, mengukur seberapa bersihnya. Di pisau bedah, kata Juru bicara pun mengukir abadi rasa, membulat harap pada keyakinan menyimpannya-menumpuk dekap di etalase kaca bersama sekumpulan perompak yang lupa membajak, ketika kita membaca rahasia cuaca. Cermin-cermin retak merupakan sekumpulan arak-arakan yang melontar, menghunus, menghujat dan meninabobokkan Yakinku mewarna rindu, bersimpul pena, para kuli tinta Dengan ujung pena, para kuli tinta menggali sumur kata-kata, Mewarta segala peristiwa. Mewarta segala cuaca 2008 DOA SUNGAI KESEPIAN 1. Di dalam ruang dadaku ada irama degup yang menarikan jantung dengan irama tertahan. Mendesah seperti tangkai ranting patah. Irama itu kadang naik-kadang turun menembus lorong-lorong di ujung telinga mengiringi larik terakhir sebelum senandung yang lesap terbawa angin. Irama itu berhamburan pada sesak irama pada degup dada yang menembus lorong di ujung telinga yang berseberangan. Ada isak yang mendesak butir embun jatuh pada lembar waktu dan cucaca. Lalu suhu udara yang berbeda membawa irama itu seolah nyanyian nina-bobo yang akan mengantarkanmu pada alam, alam yang sulit kau baca. Dan akhirnya seperti yang telah kau duga sebelumnya irama itu adalah lagu dengan irama tembang kenangan sebagai sebuah salam perpisahan. 2. Aku tersedak dadaku menafsirkan detak seluruh irama dari degup yang berbeda menyatukan irama debar pada tembang yang hampir tak terbaca Aku tersedak merindukan lagu sukacita memenuhi segala rasa bahagia yang pernah dipenuhi irama dari degup yang tertahan. Dan aku ingin membisikkan sesuatu, tapi irama kelumu menghardik harapku, aku ingin membisikkan ke telingamu, tapi mulutku begitu kaku. Aku hilang suara. Aku hilang cahaya. 3. Tubuhku tak berasa, udara dingin yang kau kabarkan seperti sekawanan daun yang gugur ke bumi. udara dingin itu melahirkan beribu gunung es di sekujur tubuhku, menutupi rongga pori kulitku yang pernah mengalirkan ribuan sungai-sungai kecil tempat para nelayan menebarkan jala untuk menangkap ikan-ikan kecil yang pernah kau pelihara. Lalu bongkahan es itu perlahan mencair Dihancurkan ceracau kemarau yang menghambur Dari mulutmu. Laut matamu membuncah. Sungai-sungaimu pecah. Irama lain memainkan sendiri nadanya dari degup yang lain. Menghantarkan suara lain ke langit yang lain. Membawa cahaya yang lain ke negeri yang lain. Entahlah, aku tak tahu apakah irama yang lahir dari degupmu adalah doadoa sebagai penghantar tidur abadiku. Atau doa-doaku yang menghantarkannya pada degup isak dari irama kebadian. M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar Panca Budi, Budi Utomo dan UNIMED. Sajak M. Raudah Jambak lainnya >>klik di sini>> |