Selasa, 14 Juni 2011

Sajak M. Raudah Jambak


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 18 Januari 2009
Sajak M. Raudah Jambak

SUNGAI PENGEMIS

1.

Seorang pengemis duduk di pusat kota

menggenggam terompet yang dibuang

oleh pemiliknya. Jalanan mulai sunyi.

Seorang pengemis duduk di simpang kota

meniup terompet yang basah terimbas

air hujan. Suaranya tersekat.

Seorang pengemis duduk di tiang

lampu jalan raya yang mati arusnya,

pengendara satu-satu. Bibirnya membiru.

2.

Pada malam tahun baru ini, para pengemis

mengais rezeki dari sisa terompet yang ditinggalkan

para pejalan kaki. Hujan baru saja reda, meninggalkan

segala sisa.

sepanjang malam pengemis itu menahan

gigil tulang, memungut segala bekas di jalanan.

Pesta baru saja usai, menjejakkan segala mimpi

yang terburai.

Lalu perlahan ia pergi meninggalkan sisa nasib

yang tak sempat dikutip. Di simpang jalan,

lampu merah tak jua padam di antara langkah

yang tertahan

3.

dan perlahan suara malam senyap

meninabobokkan bulan di peraduan.

Suara terompet dan jerit petasan sedari

tadi telah dibungkam.

Menjelang pagi seorang pengemis

membangun kepingan mimpi. Bersama

tumpukan sisa hujan yang perlahan

meninggalkannya di sepanjang selokan

4.

Di antara pagi

Pengemis kecil duduk sendiri

Mendekap sisa hujan

Di dadanya

Sementara waktu terus berpacu

Kendaraan terus melaju

Satu per satu

Pengemis kecil duduk sendiri

menumpukkan sisa nasib

mengumpulkan kepingan mimpi

dalam nyenyak tidurnya

5.

Pulanglah, Dik

Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu

Membawa kepada segala kenistaan

Dan persekongkolan

Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah

Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu

Di kepalamu yang murni

Pulanglah, Dik

Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam

Wajah burammu menjadi senyuman

6.

Pengemis kecil bertubuh dekil

menyanyikan senandung sunyi

lagu dari segala kepedihan

Berhenti di traffic-light

Simpang jalan raya

Kencringan di tangan kanan

Merangkai harapan

Pengemis kecil bertubuh dekil

Menghalau masa lampau

Tentang bulan dan matahari

Terjebak arus pikiran belia

Yang terbang bersama debu

Sepanjang jalan raya

7.

Di simpangsimpang jalan raya

Seorang pengemis kecil menunggu rindu

Sisa mati lampu dan deru segala hujan

Entah tanggal yang ke berapa

Zikir mengalir

Di simpangsimpang jalan raya

Seorang pengemis kecil menunggu ragu

Pada pilu hati yang kuyu

Entah ngilu yang ke berapa

Sendu memalu

8.

Di jalan ini

Pasir menyisir pagi

Menyemai gigil kerikil

Ah, betapa angin mengganggu pintu-pintu

Tak berdaun dalam bangunan pikiran

Pada sudut rumah daun-daun berguguran

Bunga-bunga telahpun melayu

Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan

Baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa

Karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan

Di setiap titik peron-peron lengang

Dan daun-daun yang melayang berpeluh

Pada jejak-jejak perjalanan

9.

Di pintu tahun baru

Seorang pengemis kecil mengumpulkan sampah

Yang ditinggalkan peradaban kata-kata

Entah muntahan yang ke berapa

Serapah yang ia rasakan

Di pintu tahun baru

Seorang pengemis kecil mengutip sampah kata

Pada pilu hati yang kuyu, lugu

Entah ngilu yang ke berapa

Sendu memalu

MENYUSURI KOTA KOTA SUNGAI

1.

Menyusuri sungai, ketekketek bersin

Menggeram pada isak gemuruh mesin

riakriaknya menari pada perih segala sedih

rindu muara penawar tubuh segala ringkih

di gemuruh hati yang gaduh ada luka membawa cerita

di sepanjang alirannya ada sesuatu yang belum terbaca

tentang sebuah pemandian putriputri raja yang menari

melintasi perkampungan dan pabrikpabrik yang berdiri

bagai raksasa pada tepiannya, serta sejarah terkubur

yang tersusun sempurna menutupi kubangan lumpur

di bawah kayukayu penyangga dari kidung buaian

ah, apakah dayangdayang tengah menarikan tarian

selamat datang atau sekelebat ibuibu yang tengah mencuci

di depan jamban kayu sepanjang tepian perigi segala sepi

Eit, sepasang camar saling bertatap mesra, di atas sampan

yang melintas pelan. Wajah mereka terlihat kelelahan.

Angin berhembus sangat lamban mengantar ke sebuah kota

yang bernama kenangan setua usia benda-benda purbakala

Sambil meneguk setetes air membawa ingatan tertahan

dari sebuah perjalanan pergi dan kembali sebuah kenangan

sepanjang hari awan merangkak pelan

mengabarkan permulaan salam perjumpaan

2.

Menyusuri sungai, terbayang segala kenang

tongkang menerjang. Berlari kencang garang

Permukaannya membelah memberi jalan Musa

dari kejaran raja Fir'aun yang memendam luka

Pada peta hayalku yang aduh terdaftar ragam cinderamata

Serta hadiah perpisahan upah sebuah pelukan sepanjang kota

Warnanya menggambar sebuah kecemasan juga

rahasia yang belum sempat terpecahkan semesta

laksana kendaraan Musa, lajunya menikam-tikam

terjebak monopoli minyak Fir'aun sepenuh dendam

yang usianya melampaui batas keserakahan

tentang sebuah keimanan dan keyakinan

anak angkat kepada Tuhan yang terpendam nyaman

kerakusan ayah angkat yang ingin melampaui kekuasaan

saat gelombang terbawa pulang. Riaknya yang tenang

begitu meninabobokkan. Di depan terpampang kenang

sebuah kanvas perjalanan yang kita susuri

yang bergoyang kita seolah diajak menari

3.

Menyusuri sungai, pengeruk klutuk pasir menyisir

Laiknya seorang gadis yang menunggu penyair

permukaanya menggelombang sesekali

di tepiannya bocahbocah telanjang menari

Menyusuri sungai, kota-kota seolah menyendiri

Menyusuri sungai, kota-kota seperti sepi

SUARA MENYERUAK DARI DASAR SUNGAI

1.

pada aliran sungai bangkai melintasi bebatu

tak kuharap kau senandungkan debu-debu

pun mungkin ceracau bajaj yang berlari

hiruplah aroma kesumat birahi ini

di hirukpikuk pengendara

atau pengguna jalan raya

2.

disesaki asongan dan gelandang

kau bukanlah pemakaman tanpa kenang

hanya saja kau selalu hembuskan aroma bangkai pada air menggenang

aku haru pada pekat airmu, haru pada senandung lapar zikir terbuang

menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah

yang menghanyutkan suara-suara dari mulut penuh serapah

3.

dan rauplah cuka

lalulalang aroma

segala pembusukkan

segala pembusukkan

2008

UJUNG PENA SUNGAI TINTA

1.

Sepenuh musim kugali kata dari ujung pena sungai tinta.

Sepanjang musim itu pula kusemai lembar kota,

menusuk--merasuk di rampak tik tak tik tak jarum jam

yang berdetak. Seutuh musim ke musim mewarta dendam

peta sengketa, menceracau bak pemabuk berdiplomasi.

Menguras sumur alkisah dengan segala menu basi,

berakhir suka atau duka. Seluas musim- musim melayarkan

perahu galau, pulau demi pulau, bersama kemudi kecemasan.

Menembus segala musim membebas ruang kuli tinta,

menggali sumur kata-kata pengab rahasia.

dan, di titik penentuan, beragam ujung pena-

musafir, mereguk cinta dari sumur kata-kata.

2.

Setelahnya prosesi sunyi. Kemudian kehadiranmu persis

sekadar kemunculan yang tak beraturan di setiap desis

Menunggumu pun tercipta ritual ujung pena.

sebuah pesta dari segala napas peristiwa

cahaya matahari menghadirkan madu makna

menetes dari mata air jiwa dan para kuli tinta

terus menguras sumur kata pada lembah segala wacana,

menyisir-ranjaunya di setiap titik perhentian langkah pena

Yang tertinggal mungkin tapak-tapak kaki juru bicara,

bertopengkan segala wawancara para dasamuka

Pun lenyapkan segala jejak tapak-tapak para musafir gagak

yang berwajah kuda berbulu serigala. Lesapkan segala gerak

3.

langkah yang mengonak Pada tubuh, peluh mulai terasa

membasuh lesatkan aroma sesak segala muak ke udara.

Lalu orkestra zaman menggumuli musim berkali,

meninabobokkan sepenuh istirah. Lalu sunyi,

lalu sepi, menutup diri. Bibirpun meloncatkan segala

rahasia sumur kata, ladang menggemuruh-hutan belantara

Para pemburu sempat kehilangan panah dan busurnya,

memburu di setiap perhentian kata menggumulinya

untuk kemudian dilahirkan pada cerita

gerbang penghabisan para jagal maupun casanova.

Pada ujung pena kuli tinta menggali sumur kata-kata.

Ada mata air yang terus melimpahkan peristiwa.

4.

Pada limpahan peristiwa, orasi kata menghambur makna.

Sumur kata-kata adalah petanya. Menetapkan warta

Kita pun dapat memahat atau mengukir wajah kita,

mengukur seberapa bersihnya. Di pisau bedah, kata

Juru bicara pun mengukir abadi rasa, membulat harap

pada keyakinan menyimpannya-menumpuk dekap

di etalase kaca bersama sekumpulan perompak yang lupa

membajak, ketika kita membaca rahasia cuaca.

Cermin-cermin retak merupakan sekumpulan arak-arakan

yang melontar, menghunus, menghujat dan meninabobokkan

Yakinku mewarna rindu, bersimpul pena, para kuli tinta

Dengan ujung pena, para kuli tinta menggali sumur kata-kata,

Mewarta segala peristiwa.

Mewarta segala cuaca

2008

DOA SUNGAI KESEPIAN

1.

Di dalam ruang dadaku ada irama degup

yang menarikan jantung dengan irama tertahan.

Mendesah seperti tangkai ranting patah.

Irama itu kadang naik-kadang turun

menembus lorong-lorong di ujung telinga

mengiringi larik terakhir sebelum senandung

yang lesap terbawa angin.

Irama itu berhamburan pada sesak irama

pada degup dada yang menembus lorong

di ujung telinga yang berseberangan. Ada

isak yang mendesak butir embun jatuh

pada lembar waktu dan cucaca.

Lalu suhu udara yang berbeda membawa

irama itu seolah nyanyian nina-bobo yang

akan mengantarkanmu pada alam, alam

yang sulit kau baca.

Dan akhirnya seperti yang telah kau duga

sebelumnya irama itu adalah lagu

dengan irama tembang kenangan

sebagai sebuah salam perpisahan.

2.

Aku tersedak dadaku menafsirkan detak

seluruh irama dari degup yang berbeda

menyatukan irama debar pada tembang

yang hampir tak terbaca

Aku tersedak merindukan lagu sukacita

memenuhi segala rasa bahagia yang pernah

dipenuhi irama dari degup yang tertahan. Dan

aku ingin membisikkan sesuatu, tapi irama

kelumu menghardik harapku,

aku ingin membisikkan ke telingamu, tapi

mulutku begitu kaku.

Aku hilang suara. Aku hilang cahaya.

3.

Tubuhku tak berasa, udara dingin yang kau

kabarkan seperti sekawanan daun

yang gugur ke bumi.

udara dingin itu melahirkan beribu gunung es

di sekujur tubuhku, menutupi rongga pori kulitku

yang pernah mengalirkan ribuan sungai-sungai kecil

tempat para nelayan menebarkan jala untuk menangkap

ikan-ikan kecil yang pernah kau pelihara.

Lalu bongkahan es itu perlahan mencair

Dihancurkan ceracau kemarau yang menghambur

Dari mulutmu. Laut matamu membuncah.

Sungai-sungaimu pecah. Irama lain memainkan

sendiri nadanya dari degup yang lain. Menghantarkan

suara lain ke langit yang lain. Membawa cahaya

yang lain ke negeri yang lain.

Entahlah, aku tak tahu apakah irama yang

lahir dari degupmu adalah doadoa sebagai

penghantar tidur abadiku. Atau doa-doaku

yang menghantarkannya pada degup isak

dari irama kebadian.

M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar Panca Budi, Budi Utomo dan UNIMED. Sajak M. Raudah Jambak lainnya >>klik di sini>>