Rabu, 15 Juni 2011

Sajak Sunlie Thomas Alexander

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 22 Februari 2009

Sajak Sunlie Thomas Alexander

UNTUK ROSTATING

rasanya kau seperti arwah

sesekali datang

menganyam biji mataku

pada malam-malam aneh

dan kelabu

ah, aku mencintai kegelapanmu

serupa bintang bintang yang padam

di mataku; kedunguan menempuh jarak berdebu

ke rimbun rumahmu

berkerdiplah: mungkin matamu

masih seperti dulu

bagai matahari di pulau jauh

yang menghangatkan ubun-ubunku
: anggun membangun rumah

di tepian ibu!

walau semua kabar yang kita kirim

selalu menghanguskan masa lalu

dalam bahasa rindu;

tangis puisi paling pilu

yang kutulis di hatimu:

takdir jatuh di pulau jauh

serupa pecah kelapa di batu

buat apa aku berkeluh


karena pada akhirnya:

kau bakal lupakan juga gelap mataku,

atau justru makin kurindu terang matamu

di dunia abu-abu yang menolak gairah

dan logika itu!

ya, begitulah kita terus berseteru

Yogyakarta, 2008


ABIGAIL CHRISTIE

aku telah mencintai bayang-bayangmu

di daun jendela

serupa Tuhan yang iri pada rupa

sehingga menciptakan semesta

yang dipantulkan rindunya

tapi kau menyelam dalam keangkuhan

alam benda yang elok, dan mengamsal

setiap organ tubuh sebagai properti semata

dalam duniamu yang bisu

denyut jantungku adalah kursi berdebu, dan

kecewa di hatiku hanyalah gelas pecah!

maka siang hari di dunia yang sunyi ini,

aku pun jadi sebatang kara

mengangankan rupamu yang sempurna

seperti bayangan pohon di halaman rumah

dan jika malam tiba,

aku hanya punya rasa

tak tersuarakan alam benda;

pemandangan menjadi gelap semua

padahal benda jatuh ada sebabnya

seperti cerita adam hawa

ah, seperti tuhan

kau telah menciptakan rupamu yang buta

sejak dunia dilahirkan kembali oleh bahasa;

ruang dan waktu dibentuk lagi oleh kata...
: kesakitanku menunggu firman

di bumi baru yang renta!

Yogyakarta, 2007-2008


SAJAK PUTIH
: kepada lia

di musim ini, aku telah menyimpanmu

sebagai nyanyian bersahaja di tengah kota

(berkelok menyusuri musi

sampai teduh selatku)

tapi pada musim mendatang,

sebelum hujan singgah

barangkali kau bakal menjelma getir doa

karenanya aku harus bergegas

menyiapkan mantel hujan

agar kita tak kedinginan

atau sakit saat cuaca tak ramah

mari berkemas

melawat setiap musim

yang mendahului tiba

agar sekalipun pada musim gugur paling pilu,

kau tampak begitu indah

di mana kita akan berjalan

di bawah jatuhan daun daun

yang menimbun rambutmu

lalu aku akan membersihkannya,

mungkin sembari membisikimu

kalimat mesra yang terdengar mirip doa

lia, di saat badai datang nanti

dan pintu pintu rumah mesti terkunci,

biarlah aku menerimamu sebagai doa

dan mengamsal setiap musim duka

jadi restu tuhan buat kita bercinta

Palembang-Bangka-Yogyakarta, 2008


EXPATRIA PRO ECCLESIA

--jan josef langenhoff


di akhir Juli, aku menjengukmu

dalam kenangan patah

hambar seperti roti tak beragi

aku melihatmu bergumam di tepi altar

bagai seorang santo yang sangsi

terbata menyelesaikan doa pagi

sementara jendela berornamen suci

menjaring bayang bayang matahari

langit Juli begitu pucat seperti kulitmu

sepanjang jalan ke kapel lebat oleh perdu

matamu, seperti mengajak ombak

berdebur di mataku

oh, demi tubuh kristus

yang terpancang di sungai selan,

aku telah berdoa bagimu

dalam bilik kanak-kanakku yang ragu

sembari membayangkan hujan

perlahan berlalu

seperti jejak para padri

yang membangunkan abad abad nyeri

di ujung ujung bumi dan tanah ini

hanya di akhir Juli, biarlah aku berkunjung

ke rabuk sejarahmu

menulis ulang semua nama orang suci

di dadaku yang degil, di kebun kebun lada

dan penambangan timah

agar sempurna kesangsianku pada kristus

yang tersalib lagi di punggungmu

Pangkalpinang-Yogyakarta, 2008


SERDADU PLASTIK

begitulah aku mengenang perang itu:

kalian berbaris gagah di dekat kaki meja;

ada genangan sup tumpah

kubayangkan lagi

tank-tank plastik yang bersiaga,

pesawat dan kapal laut berjaga

dalam sebuah pertempuran tak bernama

dengan kapur tulis

telah kutandai batas wilayah

yang terentang dari kolong meja ke lemari tua

sementara di bawah tangga kayu,

berdaulat lain negara

lalu bom pun berjatuhan

dari angan anganku

dan pesawat menderu lewat

dengan dengung dari mulutku

yang lebih mirip lebah

bukankah aneh rasanya,

mendengar kematian begitu girang

bernyanyi di hatimu?

kau hanya menatapku dengan

sepasang matamu yang buta

seolah ingin menegaskan

kalaulah pertempuran itu

permainan kanak-kanakku semata

ah, sosokmu tampak ringkih,

kuraba kakimu yang tinggal sebelah

dan alangkah kusam seragammu,

veteran celaka!

(begitulah aku merindukan perang itu:

siang sepulang sekolah, dan

aku belum mengerjakan pekerjaan rumah)

Belinyu-Yogyakarta, 2008


Sunlie Thomas Alexander lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Belajar senirupa di Institut Seni Indonesia dan teologi-filsafat di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta sembari bergiat di Komunitas Rumahlebah dan Komunitas Ladang.