Penembak Misterius di Seberang Front Kemelak |
Minggu, 16 October 2011 00:00 |
Cerpen M. Harya Ramdhoni
LANGIT
di atas sana mulai semburatkan cahaya tipis kemerahan. Pagi telah tiba.
Hujan lebat yang mengguyur Kemelak sejak semalam nyaris tak bersisa
kecuali udara dingin yang kekal menyusup hingga ke sumsum. Jejak-jejak
hujan nyaris tak terbaca. Dihapuskan banjir darah para pejuang republik
pada pertempuran semalam. Tubuh-tubuh muda itu bergelimpangan bagai
sekumpulan bangkai hewan di hari raya kurban. Dingin jasad-jasad
membisu meninggalkan luka. Juga dendam sebuah republik berusia muda. Di
segenap penjuru kota suara tembakan masih terdengar berkali-kali.
Sisa-sisa tentara republik tak serta merta menyerah begitu saja pada
keangkuhan moncong-moncong meriam tentara NICA 1) yang mendongak
congkak.
Front Pertempuran Kemelak-Sepancar, Baturaja, 17 Agustus 1947
"Cepat
atau lambat kita akan dibinasakan. Mereka terlalu kuat. Kita bukan
lawan yang setanding buat mereka. Peperangan modern tak sekadar
mengandalkan otot dan otak tetapi juga persenjataan canggih," suara
perempuan terdengar pelan tapi dengan nada menggugat. Pemiliknya adalah
gadis cantik berdarah indo. Tubuhnya yang tinggi ramping dengan kulit
putih bersih dibalut seragam tentara republik berwarna cokelat muda.
Dialah satu-satunya yang berbeda di antara lima ratus prajurit
republik. Satu-satunya yang berdarah separuh Eropa. Perempuan pula.
"Hei Moeis, aku bicara padamu. Kita sedang menunggu dibinasakan, bukan?"
Lelaki
muda bertubuh tinggi kurus dengan rambut sebahu tak langsung menyahuti
tanya si gadis indo. Ia malah asyik menghembus-hembuskan asap rokoknya
dengan tenang seolah tak ada sesuatu pun telah terjadi pada semalam.
"Entahlah,
tapi yang pasti aku tak takut mati. Mengenai canggih atau kunonya
peralatan tempur kita bukan urusanku. Bagiku menceburkan diri dalam
kancah pertempuran ini, di sini, dengan berbagai ancaman tak terduga
adalah risiko seorang patriot. Tugas suci anak kandung Revolusi
Agustus!"
"Aku hanya tiba-tiba didera rindu pada Akan2)
dan Ibuku di Batubrak. Takut tak sampai umurku bertemu beliau berdua,"
berkata Moeis dengan nada suara dipelankan, "Kau masih punya orang tua
kan?"
Gadis indo berhidung mancung mengangguk dan tersenyum manis. Semanis tebu yang biasa dimamah Moeis dan Pun3)-nya, Maulana Balyan, ketika kecil dulu.
"Aku
kagum padamu, Pauline. Kau khianati darah Belanda dalam tubuhmu demi
membela utuhnya revolusi Agustus. Sejujurnya aku dan kawan-kawan kagum
dan malu pada keberanianmu. Tabik untukmu sahabatku Pauline Gobee!"
Pauline Gobee teruja hebat dipuji seperti itu. Pipinya merah merona. Bola matanya yang berwarna biru bersinar cemerlang.
"Pauline...," sebuah suara terdengar dari arah barisan tenda darurat di belakang Front Kemelak.
"Ada apa, Jabur?" sahut Pauline.
"Komandan memanggilmu. Penting!"
"Baiklah. Aku segera ke sana, dan kau temani Moeis. Dia tengah kesepian merindu Akan dan ibunya yang jauh di Batubrak," canda Pauline sambil meninggalkan Moeis dengan tawa terkekeh-kekeh.
"Kenapa denganmu Moeis?" tanya Jabur.
"Seperti kau tak punya orang tua dan lahir dari batu!" jawab Moeis ketus.
***
"KITA
dalam kesulitan, Pauline. Tidak hanya terdesak oleh balatentara NICA
yang terus merangsek maju ke pedalaman Sumatera Selatan, tetapi juga
munculnya penembak misterius yang beberapa hari belakangan ini menembak
mati beberapa mata-mata kita dari kalangan masyarakat sipil. Kita
terkepung dari berbagai arah."
Kolonel
Ahmad Wahab menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam. Berkali-kali
ia melakukannya. Seolah ingin ia tumpahkan segala beban yang
menyesakkan dadanya. Di luar gerimis mulai bertandang lagi perlahan.
Membasahi kembali tanah Kemelak. Mengguyur hingga bersih jejak amis
darah sisa pertempuran semalam.
"Kau
satu-satunya penembak jitu yang kita punya. Pergilah bersama Moeis
dalam penyamaran. Tembak mati penembak gelap itu. Ditembak mati atau
menembak mati!"
"Siap, Pak!"
Begitu jelas perintah Kolonel Ahmad Wahab baginya dan Pauline merasa tak ada gunanya bertanya apalagi berbantahan.
***
"DARI mana kita mulai perburuan terhadap penembak laknat itu?", tanya Moeis dengan nada suara tak sabar.
"Entahlah,
aku juga bingung. Terlampau sedikit informasi yang kuterima dari
Kolonel Wahab. Buruan kita ini berpindah-pindah dari ujung Kemelak
hingga perbatasan menuju Sepancar."
"Sepertinya ia menguasai keadaan tempat ini..."
"Tampaknya begitu," Pauline menguatkan.
"Doorrrr, ratatatatatatatatatat..."
"Berlindung,
Pauline!" teriak Moeis kala menyadari suara tembakan senapan mesin tak
putus-putus menyambut mereka. Tembakan itu berasal dari sebuah gudang
milik pedagang China yang tak terpakai.
"Di situ rupanya kau bersembunyi bedebah!" umpat Pauline sambil berguling-guling.
"Kita harus cari tempat persembunyian yang aman. Kau tak apa-apa Moeis?"
"Alhamdulilah, masih hidup," jawab Moeis dengan nafas terengah-engah.
Kemudian
keduanya secara sembunyi-sembunyi dan memanfaatkan hari yang mulai
gelap bergegas menuju bekas kantor Jawatan Kereta Api tak jauh dari
situ.
"Dari sini kita bisa leluasa mengintai keberadaannya. Menunggu bedebah itu lengah sampai esok pagi pun aku siap."
"Tak sabar aku berlama-lama menanti buruan. Peluru-peluruku sudah tak tahan hendak menjebol kepala si bajingan tengik itu."
"Bersabarlah Pauline, masih ada hari esok. Dia pasti mati di tanganmu."
"Menurutmu Moeis, siapakah manusia celaka yang tadi mengarahkan moncong senapan mesinnya kepada kita?"
"Siapa lagi kalau bukan anjing-anjing NICA, baik anjing pribumi atau pun anjing totok!"
Pauline menangguk-angguk membenarkan ucapan Moeis. Percakapan mereka
terputus. Sebuah kendaraan lapis baja milik musuh melintas di depan
tempat persembunyian mereka. Tank itu pun berhenti. Jantung Pauline dan
Moeis tak urung serasa berhenti berdetak pula. Dari dalam tank
muncul
kepala seorang prajurit kavaleri. Ia julurkan lehernya, kemudian
menengok ke kanan dan ke kiri. Tampaknya ia mencari sesuatu. Tak lama
kemudian seorang lelaki muda berlari tergopoh-gopoh menghampiri tank
itu. Lelaki itu bicara dengan si prajurit kavaleri. Ia menunjuk-nunjuk
tempat persembunyian Pauline dan Moeis. Prajurit kavaleri pun
menolehkan pandangannya ke arah bekas Kantor Jawatan Kereta Api.
"Keparat itu rupanya!" umpat Pauline sambil mengokang senapannya.
"Jangan! Tahan tembakanmu, Pauline. Bukan dia sasaran kita. Dia cuma mata-mata kelas teri."
"Walaupun begitu sudah sepantasnya dua kunyuk itu mesti mati!"
Hanya
dalam jarak waktu enam detik dua tembakan telah dilayangkan Pauline.
Tepat sasaran. Pertama-tama prajurit kavaleri langsung roboh dengan
leher bolong tertembus peluru. Sesaat kemudian si mata-mata kelas teri
menyusul terjerembab dengan pekik mengerikan. Ia menggelepar sesaat
lalu diam menuju baka. Dahinya jebol ditembus peluru Pauline.
"Dahsyat! Jitu!" Moeis berseru-seru.
"Begitu seharusnya!" Pauline tak mau kalah.
"Ratataatatatatatatatatatattttt...."
Suara senapan mesin membahana dari seberang.
"Aaaaaarghhhhh...," Moeis terpekik. Senapannya terlempar ke luar gedung. Peluru penembak misterius mengenainya.
"Moeis!" Pauline berteriak panik.
Lelaki muda di sampingnya malah tersenyum aneh.
"Kau terluka Moeis?"
"Tak apa-apa. Hanya kaget. Kukira tanganku yang terluka. Ternyata senapan itu yang terkena tembakan."
"Ah, kukira..."
"Dia masih di sana. Bertahan menanti kita. Haruskah kita menunggu sampai malam ini berlalu?" keluh Pauline.
Ia
rasakan penat mulai menjalari tubuhnya. Tiba-tiba ia perlu rehat.
Merebahkan badan dan tertidur dengan lelap adalah sesuatu yang teramat
mahal sejak beberapa bulan terakhir ini. Sejak agresi militer kolonial
Belanda 4) menyerbu Indonesia dari delapan mata penjuru angin, segala
hal yang berbau ketenangan dan kedamaian adalah kemewahan semata.
"Sepertinya
kau bisa tidur lelap malam ini. Lihat itu!" berkata Moeis sambil
menunjuk asap rokok berwarna putih meliuk-liuk dari bekas gudang di
depan mereka. Asap itu terlihat jelas diterangi cahaya bulan terang
benderang.
"Betapa
malang dirimu, kawan," ucapan Pauline diikuti rentetan tembakan susul
menyusul. Puluhan peluru dihamburkan Pauline selama beberapa menit.
Sempat terdengar suara denting puluhan selongsong peluru berjatuhan.
Lalu senyap membumbung di udara. Kemudian hujan turun gerimis lagi.
Bagai tabik bagi keperwiraan Pauline.
"Hebat!
Kau layak menyandang predikat penembak jitu yang dimiliki republik,
bintang terang benderang di atas langit Kemelak dan Sepancar," Moeis
bertepuk-tangan sebagai tanda kekaguman, "Kini giliranku yang merokok."
Pauline tertawa renyah menanggapi pujian sahabatnya itu.
"Ayo pulang. Tak sabar aku ingin laporkan kematian lelaki malang itu kepada Kolonel Wahab."
"Aku pun lapar, ingin makan sekenyangnya dan tidur pulas," Moeis menyahuti.
Keduanya tertawa terbahak-bahak. Pertanda gembira yang tak terpermanai.
Lalu
keduanya pulang menuju markas sambil melewati bekas gudang milik
pedagang China. Sinar rembulan yang bersaingan dengan rerintik hujan
lamat-lamat menyinari sesosok tubuh telungkup berpakaian tentara NICA.
Penembak misterius yang dihujani tembakan Pauline.
"Aku
ingin melihatnya...," Tiba-tiba Pauline dihinggapi rasa ingin tahu. Ia
berbalik arah menerobos hujan gerimis menuju bekas gudang itu. Ia lalui
mayat prajurit kavaleri musuh yang masih tergeletak di tempatnya. Juga
mayat lelaki muda mata-mata NICA tak bergeser sedikit pun. Keduanya
terbiar begitu saja menunggu disantap sekawanan anjing liar yang biasa
mendatangi tempat itu sembari membaung menjelang tengah malam.
"Untuk
apa bersusah payah menjenguk bangkai anjing kompeni?" cegah Moeis.
Tetapi langkah Pauline tak terbantahkan. Ia sungguh penasaran.
"Siapakah
dia yang begitu cekatan dan tepat dalam menembak sasaran? Pasti dia
penembak unggulan yang dimiliki NICA," batin Pauline pada diri sendiri.
Moeis pun tergopoh-gopoh dengan sabar menyertai langkah sahabatnya itu.
Tak
sabar Pauline ingin melihat bagaimana bentuk rupa dari jasad telungkup
berpakaian tentara NICA itu. Pribumikah? Belanda totok-kah? Atau
Indo-Belanda seperti
dirinya?
Ah! Ia tepikan andai-andai itu dan terus bergegas setengah berlari
menuju tempat di mana mayat penembak misterius berada.
"Betapa
hebat dirimu! Nyaris celakakan Moeis di tengah suramnya malam. Tanpa
penerangan apa pun kecuali cahaya bulan yang kadangkala benderang,
kadangkala remang-remang," puji Pauline tak putus-putus terhadap musuh
yang telah dibunuhnya itu.
Didapatinya
mayat itu berada dalam posisi telungkup memeluk erat senapan mesinnya.
Genangan darah bagai banjir yang nyaris menenggelamkan tubuhnya. Kala
ditelentangkannya tubuh itu ia dapati wajah lelaki tampan berhidung dan
berbola mata bagus seperti dirinya. Lelaki Indo berkulit putih yang
sejenis dengannya. Manusia remaja yang memiliki darah separuh Eropa dan
separuh Indonesia sebagaimana dirinya. Demi melihat itu semua tubuhnya
berguncang hebat. Dadanya sesak dan sebak. Seketika jerit tangisnya
membahana membelah sunyinya langit malam garis depan Front Pertempuran
Kemelak-Sepancar. Lolongannya terdengar menghiba dan menyayat hati.
Sementara Moeis yang berada di sampingnya kebingungan tak tahu penyebab
segala histeria perempuan itu.
Lelaki indo yang dibunuh Pauline Gobee adalah kekasihnya sendiri.
Hentian Kajang-Malaysia, 10 Agustus 2011
Pukul 03.15 waktu Malaysia
Mengenang kakek Mendiang Tamong Dalom Hi. Abdoel Moeis gelar Suttan Pangeran Sekala Brak (1930-2003)
-----------
1)
Netherland Indies Civil Administration (pemerintahan sipil Hindia
Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook. NICA tiba di
Indonesia dengan membonceng tentara sekutu untuk kembali memulai proyek
kolonisasi terhadap bekas wilayah Hindia Belanda dan menolak mengakui
proklamasi 17 Agustus 1945 yang diproklamirkan Soekarno-Hatta di
Jakarta.
2)Sebutan untuk Ayah dalam masyarakat Lampung Sai Batin Sekala Brak.
3) Kakak laki-laki tertua dalam adat Lampung Sai Batin Sekala Brak.
4)
Agresi Militer Belanda I adalah Operasi Militer Belanda di Sumatera dan
Jawa yang dilakukan dari tanggal 21 Juli sampai dengan tanggal 5
Agustus 1947.
|