Cerita Lama dari Kami |
Minggu, 09 October 2011 04:18 |
Cerpen Budi Saputra
LENGANG,
dan tak banyak yang dapat kami perbuat di sini. Sebuah rumah tua dengan
arsitektur dan ornamen lama. Lukisan hitam putih para petani, dan
patung harimau Sumatera yang setia menemani lenguh birahi kami di kamar
pengap miskin cahaya. Di luar itu, hanyalah hamparan kesepian dan
barisan makhluk hijau yang menatap kami setiap harinya. Bahwa selalu
ada yang kami rasa datang menyusup di kala malam merayap. Dari
kedalaman hutan rumbia yang lebat, selain kabar seorang gadis belia
yang pernah diperkosa dan dibakar, juga bunyi-bunyi aneh yang kerap
kami dengar dan merangkak menuju rumah kami di tengah malamnya.
Ya,
selama bertahun-tahun memang seperti itulah. Sebuah masa yang berlari
dari nyala lilin, dari sinar petromaks yang hanya menyala di kala
malam. Usia yang terkungkung, terisolasi dari lalu lalang kemanusiaan.
Anjing betina dan jantan yang kerap kami saksikan kawin pun, hanyalah
percakapan konyol kami pada benda-benda yang tak bisa memberikan
sesuatu yang menguntungkan selain untuk berjaga-jaga. Kalau pun ada
tetangga yang bertandang ke rumah kami di malam harinya, itu pun hanya
sesekali. Bercakap tentang rencana nonton organ tunggal atau doa selamatan di rumah tetangga lain yang jaraknya lumayan jauh dari sini.
Dan
mengenai keadaan ekonomi kami. Apalah yang bisa kami perbuat saat itu.
Hanya ladang ubi dan jagung yang bisa kami gantungkan untuk menyambung
hidup. Pasar kecamatan yang juga jauh kami tempuh untuk menjual hasil
ladang saat musim panen tiba.
***
Mana
lagi cerita orang lama yang belum kami dengar. Tak ada. Semuanya akan
kami ceritakan bila ada yang minta diceritakan. Tentang bigau, hantu
suluh, hantu karung, palasik tudung, orang bunian, hingga
tentang dewa yang kawin dan hidup dengan tukang bendi selagi ada paku
menancap di kepalanya. Di zaman Belanda dulu, konon ada seorang tukang
bendi yang menaikkan seorang perempuan di tengah malam. Ia tahu bahwa
perempuan itu adalah dewa yang menjelma. Maka, ditanamkanlah paku di
kepalanya. Mereka kawin dan akhirnya punya anak.
Di suatu hari, ketika si anak mencari kutu di kepala ibunya, maka terkejutlah si anak.
"Apa ini, Bu?" Si anak bertanya pada ibunya saat meraba kepala paku di ujung telunjuknya.
Namun,
belum sempat ibunya menjawab, secara tiba-tiba si anak mencabut paku
itu di kepala ibunya. Sungguh aneh, dalam detik itu jua si ibu
menghilang. Menghilang dan kembali ke alamnya yang entah berantah.
Sebuah peristiwa yang membuat si tukang bendi hanya bisa menyesali
kehilangan perempuan cantik yang semerbak harum itu.
Hahaha....
zaman ketumbarlah namanya (bahasa lain dari istilah jadul). Saat itu
memang masih lengang. Belum seperti yang sekarang, rumah-rumah penduduk
yang kian bertumbuhan dan segalanya telah digerakkan dengan listrik.
Lihatlah pohon kapuk ini, berapakah usianya? Cukup tua sekali. Tak
jarang, dulu anak-anak didikan subuh selalu lewat bergerombol jika
melawati pohon ini. Mereka tak berani sendirian. Jika pun ada yang
berani, maka larilah pontang-panting sambil mengucap doa-doa pengusir
setan.
Memang,
soal perkara cerita lama, kami sudah kenyang dibuatnya. Siapa pula yang
tak kenal dengan Sibuih pemaling besar saat itu. Pemaling yang sering
menyantroni rumah dan menguras harta penduduk. Ia kebal peluru,
walaupun ditembak dari dekat oleh polisi. Konon, kabarnya ia punya ilmu
hitam. Ada sesuatu benda keramat yang ditanam di betisnya dan dihuni
hantu balau.
***
Begitulah
hidup kami, melalui perubahan demi perubahan. Dari memelihara anjing,
kemudian berkembang memelihara ayam dan kambing. Dari zaman lampu
petromaks, kemudian kami mendapat suntikan listrik untuk menerangi
kamar buram kami. Ya, semuanya perlahan berubah. Satu demi satu orang
telah mulai membangun rumah dan bersawah. Jalan menuju pasar kecamatan
pun telah bisa memanjakan roda kendaraan dengan aspalnya yang hitam
legam dan mulus. Sungguh, kemajuan zaman yang membuat segala aktivitas
menjadi mudah. Mana ada dulu mobil mewah seperti saat ini? Mana ada
mesin bajak yang menggantikan peran si kerbau kubang? Hingga akhirnya,
hanyalah perubahan itu yang kami cecap dan kami saksikan saat ini.
***
Anjing.
Ya, anjing. Hewan peliharaan yang satu ini memang setia menemani kami
selama bertahun-tahun. Kami beranak pinak, mereka juga beranak pinak
hingga kami pun lupa jumlah generasinya. Anjing yang semenjak perbaikan
jalan atau semenjak daerah ini mulai membangun, tingkahnya, dan
salaknya yang bergetar hanya membuat kami terkadang malu oleh orang
yang melintas di depan rumah kami. Kadang kami sempatkan jua minta maaf
jika kebetulan tengah berada di halaman.
Walaupun
di sini rumah tidak rapat-rapat, tetap saja anjing kami seolah paling
berkuasa menguasai daerah ini. Pernah kejadian yang membuat kami geram
saat itu. Anjing kami mati. Mati karena dikasih tuba oleh orang yang
tentunya tak senang dengan keberadaan anjing kami. Hmmm.. Kasus
pertama. Kasus yang membuat kami mulai sensitif terhadap orang-orang
baru. Hanya karena sering disalak dan digertak saat melintas di depan
rumah kami, mereka dengan entengnya membunuh anjing kesayangan kami.
Jelas,
jelas kami merasa sedikit dikucilkan. Semakin banyak pertumbuhan rumah
di sini, semakin membuat kami berpikir-pikir untuk berhenti memelihara
anjing. Pernah kami dengar dari Haji Kapeh, jika memelihara anjing,
malaikat tak akan masuk ke rumah. Rahmat jauh dan rezki dari Tuhan pun
jauh.
Maka
dari nasihat Haji Kapeh dan atas desakan anak tertua kami-lah, akhirnya
semenjak tiga tahun yang lalu kami telah berhenti memelihara anjing.
Hanya janin-janin manusia yang terus berlahiran di sini. Lalu lalang
anak-anak sekolah di pagi dan petangnya dari petak-petak mewah yang
mengilap sekitar empat ratus meter menuju rumah kami.
***
Semenjak
bekas ladang tebu itu kian subur ditumbuhi perumahan warga, maka
semenjak itulah keganjilan-keganjilan sering menghampiri kami. Apakah
ini bentuk kesumat atau barangkali disebabkan rumah kami agak terpencil
letaknya (tetangga terdekat berjarak sekitar 30 meter dari rumah kami).
Dengan kondisi di sini temaram pada malam harinya, dikelilingi sawah
warga, pun pohon kapuk yang bertubuh besar ini, rasanya tak akan cocok
untuk tempat keberlangsungan anak kucing, maupun anak anjing. Bukan.
Bukan kami menghendaki kehadiran anjing yang banyak berkeliaran di
sekitaran rumah kami, anak dan induk kucing, atau bahkan janin aborsi
yang pernah kami temukan di suatu pagi. Tapi begitulah yang kami alami
di sini. Halaman rumah kami jadi sasaran tempat pembuangan. Membuang
yang dianggap aib, yang dianggap merusak pandangan mata.
Kami
memang sering kecolongan. Kami tak tahu siapa yang membuang
makhluk-makhluk itu (kebanyakan anak kucing dan anak anjing). Mungkin
pelakunya beraksi di tengah malam saat kami tengah terlelap tidur. Yang
jelas, kami begitu kesal. Kesal dengan si pembuang dan hewan buangan
yang kerap masuk ke dalam rumah kami.
Tapi
pernah suatu malam kami menyaksikan dua orang lelaki tengah membuang
anak kucing dari dalam karung. Di halaman rumah kami ini, mereka
mengendap-ngendap di bawah pohon kapuk. Merasa tak ada orang yang
tengah memperhatikan mereka.
Sengaja.
Ya, sengaja kami tak menghardiknya. Kami biarkan mereka berlalu dengan
motor menuju perumahan mewah. Sialan! Barangkali dari sanalah para
pembuang beraksi di malam hari.
"Mungkin
karena di sini lengang, jadi mereka tak takut kelihatan oleh orang,"
begitulah keluhan kami pada tetangga terdekat tukang sate, Opeang.
Jika
mereka bisa membuang, maka kami pun bisa membuang. Buang apa saja yang
buruk-buruk pada mereka. Seperti dalam sebuah gurauan kami dengan
Opeang.
"Untuk
membalas mereka, bagaimana kalau kita sate saja daging anjing dan
kucing yang mereka buang itu. Kemudian kita jual pada mereka. Biar
mereka rasain enaknya!"
Dan sejurus kemudian, kami pun tertawa terbahak-bahak bersama.
|