Sajak-sajak Ari Pahala Hutabarat |
Minggu, 09 October 2011 04:16 |
Bob Dylan
1.
Lelaki
berkacamata malam dan berambut rimbun abu awan itu memandang lukisan
laut di ruang pamer di tengah kota New York itu—tak ada tepi pada laut
ini. Aku akan menambahkannya. Memberinya garis kemerahan di tiga
perempat atasnya. Dan akan kutambahkan warna biru sedikit. Biar harapan
sekaligus ketakutanku kepada manusia bisa kaulihat. Tanpa sepengetahuan
satpam ia menurunkan lukisan itu dan menggoreskan tak hanya garis, tapi
juga camar dan uap-uap air yang bergerak ke langit diangkut panas.
Semua yang berasal dari bawah akan kembali ke atas, katanya. Kau tak
mengerti maksudnya. Semua yang menghindari langit akan kembali ke
langit, katanya. Kau mengerti maksudnya. Lalu kau buka kacamata lelaki
itu. Di matanya malam telah pergi.
2.
Tempat
yang berulang kau datangi dalam mimpi itu sesungguhnya nyata adanya.
Memang padang rumputnya, dinding kayu rumahnya, serta sepeda kecil yang
bersandar di pohon cemara tua itu tak sebiru seperti dalam benakmu.
Tapi jalan kecil yang menurun ke kelokan di ujung daun terakhir itu
jelas mengarah ke pelabuhan kecil, tempat ia menantimu. Ikan-ikan
salmon yang segar dan kerang-kerang kecil berwarna pandan berkerumun di
keranjang sambil menatapmu. Seperti menantikan kekasih masa kecil yang
telah puluhan tahun berkelana ke lain benua. Padang rumput dan
pelabuhan mungkin jauh dari senandung pujian ke tuhan atau puisi
tentang luka para pahlawan. Tapi, derak kayu karena diimpit paku dan
kelepak sobek layar kaulihat umpama sepasang pengantin yang terlalu
muda. Aku memang inginkan warna biru yang utuh di setiap perabot, tapi
kau juga tak hendak lupa betapa cuaca adalah raja dan kau hanya hamba.
Lalu, kapan kau ingin berniaga ke kota? Nanti, setelah kau menjadi
betul-betul yakin bahwa mimpi tentang dinding rumah kayu, pelabuhan
ikan dan kerang, dan genit teriakan lampu pertokoan telah berciuman di
dalam satu lukisan. Dan sudah pasti—kau akan mengecat semua hal itu
dengan warna biru.
3.
Rumah
yang perabotannya berantakan dan sekarang merasa sedang amat lapar itu
telah lama bermimpi—ia rindu percakapan sehabis magrib di meja makan di
bagian belakang. Ia rindu resah nafsu dan geliat tertahan-tahan dari
pinggul yang hampir meledak di peraduan. Ia rindu becek sepatu
petualang yang telah lelah berjalan sepanjang padang karena mencari
bintang. Rumah berantakan yang begitu lapar.
Siapa
yang bisa memberikan kasih sayang untuk sesuatu yang sesungguhnya tak
pernah ada; seperti sekuntum mawar, sehampar ladang jagung, dan pagar
kandang yang lapuk karena hujan. Sesungguhnya apa yang dinanti saat
purnama, ketika kau membuka sekilas tirai di jendela rumah—matamu tak
berkedip (dan mata hijau itu begitu nyalang). Kau menunggu. Tetapi apa.
Seperti menanti langkah sepatu yang mndekat. Tapi tidakkah kau hanya
mendengar degup jantungmu sendiri, dan derak dahan aksia diterpa
kemarau, dan ricik sungai kecil di belakang yang kedinginan.
Tanpa
sadar kau dan rumah itu sama berantakannya. Jika rumah itu berlubang,
sungguh, jantungmu pun turut berlubang. Sama hitam dan dalamnya.
Seperti lorong panjang di bawah jembatan—yang bergetar saat kereta batu
bara lewat di atasnya. Kereta itu kau sangka mengangkut batu-batu hitam
yang bisa saja kau pakai untuk menghangatkan ruangan dalam. Tidak. Ia
bisa kau pakai untuk membakar rumah, ketika kau mulai melangkah ke
pekarangan dan membiarkan nyala api berkerumun kehausan.
Setelah
rumah tiada, kau melamun melihat ke padang rumput yang ada di depan.
Tak ada jejak kuda. Tak ada lekuk bekas sepatu di lumpur kecokelatan.
Kau cuma mendengar kelepak elang di balik deretan akasia. Langit begitu
biru. Dan kau tak tahu—apakah harus berjalan atau menunggu.
4.
Di
persimpangan, antara ladang gandum dan kerumunan bukit-bukit pasir,
panas matahari jam 12 siang mengejek matamu. Ada semak-semak bulat yang
berlarian. Ada selarik melodi tentang tuhan dan perang yang entah
muncul dari mana dan kini tiba-tiba meniup kupingmu. "Aku tak menuju
rumah. Dan tak kuhendak memastikan arah," ujarmu.
Ibrahim
Di
puncak Moria ini, aku kembali akan menebas kepala berhala, seperti
dahulu aku menebas kepala berhala bikinan bapakku. Maafkan aku, anakku,
rupanya Dia juga menganggap kau adalah berhala bikinanku. Di puncak
Moria ini, aku jadi tahu, ternyata hati bukanlah tempat
yang aman untuk mencinta.
Nuh
Ada yang
aneh dari mimpiku semalam—hujan akan menghujam kota tujuh hari tujuh
malam. Pesta akan tenggelam. Dan rumah-rumah, ladang, kecipak ikan
hasil tangkapan di sungai cuma meninggalkan bahana, tanpa pengeras
suara. Dan di hari ketujuh upacara keramat itu, aku dan berpasang
hewan, serta sedikit anggota keluargaku melenggang meninggalkan
genangan. Seharusnya aku berbahagia, karena telah selamat, bukan
sekadar dari murka, tapi terlebih lagi dari keragu-raguan untuk tetap
setia. Seharusnya aku berbahagia….
-----------
Ari Pahala Hutabarat,
alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Lampung.
Sekarang giat berteater di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) dan Ketua
Komite Sastra Dewan Kesenian (DKL) Lampung.
|