Cermin |
Minggu, 02 October 2011 04:22 |
Cerpen Dahlia Rasyad
TERTEGUN
di depan krematorium anjing dan membaca selebaran lotre yang melekat di
samping etalase, seorang gadis mencoba mengingat urutan digit angka di
selebaran itu sambil merogoh saku. Secarik kupon undian bertuliskan "One way ticket to the Nova"
terselip lusuh. Ia mendapati sederet angka yang persis dengan angka di
selebaran itu. Ia mulai meraba namanya, mencoba memperpendek jarak dan
mempersempit waktu, menemukan seorang artis yang selama ini ia
cari-cari. Seorang artis yang menjadi idolanya selama ini, yang tak
lain tak bukan adalah musuh terbesarnya sendiri.
Ia
sendiri belum mengenal sang artis yang terasa cukup tematik untuk
sebuah karnaval megah di bumi yang serbacanggih dan meriah ini. Ia
tidak mengerti apa yang diharapkannya dari kontestasi periodik yang
banyak dipandang orang-orang sebuah masa agung yang tak ternilai.
Baginya, itu hanyalah kesedihan yang tak pernah terbebaskan sekaligus
tak terhindarkan. Tapi ia tidak ingin menyia-nyiakan tiketnya, bukan
untuk menjadi, tapi merasa jadi. Ingin semuanya selesai, secepatnya.
Ia
masuki krematorium itu dan menemui seorang karyawan yang bertugas
memandikan anjing, menanyakan perihal kupon itu, meminta untuk dicek
dan diproses sebagaimana mestinya. Lalu lelaki itu memberinya stempel
cap dan segaris paraf. Ia lalu menerima sebuah kartu ucapan selamat
setelah lebih dulu ucapan terima kasih. Pengenalan dari tematik yang
terkontestasi itu adalah kesempatannya bertemu sang idola dalam tajuk Chitchat & Dinner with The Nova.
Sejenak lelaki itu menatapnya sebagai torso orang-orang tak terduga.
Durasi tatapan yang sangat berarti dari seorang manusia di peradaban
ini.
***
GADIS itu pun berkemas. Dengan beberapa aksesori terbuat dari flat emas dan sebuah tas clutch dari kombinasi soft leather dan brown suede
berbentuk saku kemeja di tangan kiri, ia tiba tepat di depan pintu sang
artis. Entah mengapa tiba-tiba saja ia cemas luar biasa, membuat
dirinya semakin tak teridentifikasi. Sebenarnya ia ingin segera
mengakhiri, tapi sang artis sudah telanjur berada di hadapannya,
mencekalnya untuk beberapa saat.
Tak
terbayangkan olehnya. Sehari sebelumnya ia berada di depan rumah
krematorium hewan dan sekarang seperti ada dalam akuarium non-CFC yang
tersublimasi di bawah titik beku, menciptakan hexagonal-hexagonal
es. Ruangan itu tiba-tiba seperti kerangga kulkas yang membekukan
bola-bola air menjadi bongkah-bongkah salju sebelum sempat pecah ke
lantai dan menjalar dingin ke seluruh ruangan. Jauh dari balik jendela
yang bening, guntur menggaduh, membuat retak-retak awan kumulonimbus
nyaris seperti cerabut akar yang membelah umbi. Menembus bumi.
"Masuklah.
Tak perlu sungkan," katanya sambil menggurat alis dan bulu mata di
sepetak kaca antik. Sekelebat cahaya resolusi spektra cecar ke ruangan
dan menjadikan gempa. Nova tersenyum. Gadis itu tertegun.
Senyum
itu, yang untuk pertama kalinya hanya dipantulkan secara spekular dari
sebuah ornamen bening dua dimensi dengan daya serap tinggi. Wajah yang
untuk pertama kalinya tercitra dari bayang-bayang polaroid semu namun
tanpa rintangan.
Selain cermin dan jarum dalam jam analog polyalloy di pergelangan tangan Nova, tidak ada yang bisa dimaknainya dengan keabadian.
"Tidak
usah bersusah payah menerka semua yang ada di sini, Sayang. Kaulah yang
harus dideskripsikan," katanya masih membelakangi si tamu dari muka
cermin.
"Aku?"
"Iya kamu, karena akulah yang menemukanmu melalui tiket itu. Bukan kau."
Wajah
sang artis berkilauan seperti pancaran kristal yang terpantul kilat
elektrik, menciptakan magnetik memukau. Tidak ada citra yang berhasil
melukiskan dirinya. Ia lalu beranjak dan berpaling dari cerminnya 360
derajat. Mereka pun saling berhadap. Gadis itu semakin tertegun melihat
paras Nova, aksesorinya, gerak, cara bicara, dan mimik muka, semuanya
sama. Hanya ada satu yang lain, yang membuat mereka berbeda satu sama
lain. Wajah sang artis itu tampak tirus dan pucat. Lingkar matanya
hitam, dalam seperti lubang sumur yang mati. Tak ada binar-binar
kehidupan sama sekali. Nova menyentuh tangan fans-nya. "Ada apa?"
Gadis
itu terkejut. Semburat dingin dari jemari mungil sang artis seketika
membuatnya merinding. Tak kalah dingin dari ruangan itu.
"Aku sudah terbiasa. Bahkan aku tahu betul apa yang membuat ruangan ini begitu dingin," katanya.
Hangat tubuh gadis yang menjadi fansnya itu sama sekali tak mampu melunturkan hawa dingin di ruangan itu.
"Kau belum sedingin aku. Karena itulah kita bertemu."
Gadis
itu bingung mengapa ia selalu saja ingin bertemu dengan sang artis,
mencari-cari keberadaannya, mengidolakannya seolah Nova tak mau lekang
dari ingatan dan jiwanya. Seolah menyatu, menjadi diri yang terbelah,
yang tersembunyi jauh. Idola yang tak pernah ia duga bakal ia kagumi.
Wajah sang artis Nova terasa begitu akrab di matanya tapi diri Nova
sendiri seakan asing baginya. Tak ada hasrat untuk mencintai artis itu
tapi pula tak bisa ia lepaskan begitu saja kedekatan dirinya. Dari mana
artis ini, siapa dia, apa maunya, dan mengapa ia selalu membuat gadis
itu kagum? Selalu membuat gadis itu mencari-cari di mana keberadaannya
selama ini, selalu menempatkannya dalam pencarian yang tak kunjung
usai. Sebuah pertemuan seperti yang diinginkan keduanya, sebuah
pertemuan yang akan mengakhiri segalanya.
"Aku tak pernah mati, Sayang. Tak bisa mati," kata Nova dengan gelengan kepala yang lamban tapi mengancam.
"Setelah
sekian lama aku mendekam dalam dirimu dan merapat pada kehidupanmu,
akhirnya kita bisa bertemu. Akulah Nova yang sebenarnya dan kau cuma
fans," lanjutnya.
"Di mana kau selama ini?"
"Masih di sekelilingmu. Tersembunyi di suatu tempat yang sangat dalam dan gelap," jawabnya dengan sungging senyum.
"Apa yang akan kau lakukan padaku setelah semua ini? Kau telah merampas hidup dan tawa ceriaku."
"Aku menawarkan Kebenaran yang akan membuatmu hidup berabad-abad, tahu!" mata dinginnya mencorong tajam.
"Dan kau pikir itu cahaya?"
Nova mendelik. Diam sejenak.
"Kau
tahu, kau adalah jiwa yang digariskan untuk setan. Kau diri yang sesat.
Kau menawarkanku Kebenaran yang hanya sesaat, yang kau anggap sebagai
yang terkuat," lanjut gadis itu lugas.
"Justru
aku yang telah memberimu kebahagiaan, memberitahumu bahwa dunia itu
adalah kesedihan. Orang-orang yang tertawa dan menjalani hari-harinya
dengan ceria cuma satir yang menggelikan! Tapi kau tidak, Sayang. Kau
kokoh dan abadi. Kau kesayanganku."
Gadis itu tertegun, mencoba mengerti perkataan sang artis. Seketika ia tahu.
"Kau
mengagungkan akal dengan menyingkirkan perasaan. Kau cuma artis redup
yang kalah," katanya lemah dalam sisa-sisa keberanian yang tinggal
sejengkal.
"Aku tidak kalah!"
"Kau
kalah artisku. Kau telah kecewa pada dunia di mana berhembus angin dan
kau cuma debu, di mana ada waktu dan kau akan musnah. Kau benci
ketidakabadian. Dan itulah kekalahan sesungguhnya."
"Jangan
menceramahiku! Kalau kau lebih kuat dariku kenapa kau hanya bisa
terbaring lemah di kasur rumah sakit itu berbulan-bulan dengan infus
melilit dan otak yang semakin hari semakin membusuk?! Andai saja kau
bisa mendengar lirih tangis sanak keluargamu dan melihat teman-teman
membawakan karangan bunga untukmu. Heh, bukankah kehilangan semangat
tapi tidak kritis juga suatu kelemahan? Kelemahan yang sangat bobrok
dan tolol."
Gadis
itu terdiam, semakin lama semakin lemah. Musti dengan apa lagi ia
mengalahkan perempuan getir dan keras hati di hadapannya itu. Apakah
dengan membayangkan perhiasan mahal, rumah megah, mobil mewah,
laki-laki tampan yang penuh cinta, anak-anak yang cerdas dan bersahaja?
Apakah dengan membayangkan punya perusahaan di seluruh dunia dan
membeli sebuah pulau peristirahatan yang maha indah? Apakah dengan
membayangkan betapa nikmatnya menyantap masakan laut setiap hari?
Apakah dengan membayangkan bagaimana terbang tanpa parasut dan
mengitari belahan dunia kapan saja? Andaikan semua itu sudah terwujud
lalu apa setelahnya, apa lagi, bagaimana lagi.
Tapi
kemengertiannya tentang orang-orang dan dunia lebih dalam dari hanya
sebuah berandai-andai. Lebih mudah paham daripada menunggu suatu
khayalan cepat sampai. Pengertian yang sama sekali tak bisa ia tepis
mengapa semakin merajai dirinya. Dan dunia ini sendiri seakan
mengesahkan kebenarannya hingga akhirnya ia terkulai lemas tak berdaya.
Ia tak mau makan jika hanya untuk kembali lapar, tak mau dilahirkan
jika hanya untuk menunggu kematian. Tak mau melakukan apa-apa jika
hasilnya bukan apa-apa, tak mau bernapas jika hanya membuat semuanya
semakin panjang dan tak selesai.
"Aku
hanya perlu menerima apa yang sudah digariskan dan menikmatinya. Baik
aku maupun kau sama-sama kalah dan tak bisa apa-apa. Tapi bedanya, kau
tidak mampu menjadikan kekalahan itu sesuatu yang nikmat dan berharga."
"Heh,
apa karena telingamu sudah bisa mendengar tangisan ibumu sampai kau
bisa berkata seperti itu? Kau plin-plan dan labil. Kau tidak sejati
sepertiku."
"Biarkan
aku kembali bersama keluargaku. Dan tenang saja, aku tidak akan
menyingkirkanmu terlalu jauh dari diriku. Kau akan berguna pada
saat-saat tertentu."
"Apa maksudmu? Itu tetap saja membuatku mati. Aku tidak mau!" dengus sang artis memalingkan muka. Merasa diperalat.
Gadis
itu menghela napas berat. Ia bingung harus melakukan apa selain
membicarakan keindahan. Keindahan satu-satunya cara untuk kembali pada
sanak keluarga dan orang-orang yang dikasihi. Hanya keindahan yang
mungkin bisa menyelamatkannya dari ketidakbergairahan hidup dan
ketiadaan harapan. Cuma dengan membicarakan keindahan dan menikmati
jerat godanya sajalah ia bisa terlepas dari segala kemurungan.
Keindahan yang meski mungkin adalah kutukan, tetapi juga adalah berkah.
Dan hanya kutukan yang busuk itulah yang bisa menyelamatkan dirinya
dari angkara murka sang artis.
Apa
boleh buat, ia mulai membayangkan bagaimana manisnya memberi kasih
sayang dan perhatian pada orang-orang yang sakit dan miskin di dunia
ini. Ia mulai membayangkan bagaimana pilunya hati seorang ibu yang
berjuang mati-matian melahirkan anaknya ke dunia. Ia membayangkan
seorang kekasih yang mengharapkan cintanya. Ia jadi ingin punya cinta
dan berkasih mesra dengan penuh ketulusan dengan orang-orang. Ingin
melihat tawa anak-anak polos dan manja yang melukiskan pensyukuran atas
keberadaan diri yang sia-sia di penjara kelam ini, di kehidupan kosong
tak berujung ini. Tawa anak-anak yang meski terasa pilu tapi begitu
haru. Tawa yang merupakan pertanda jiwa besar dari seorang yang lemah
dan kalah seorang makhluk ciptaan. Dan untuk memuaskan keinginan itu
hanyalah dengan hidup dan berjuang.
"Cuih!
Kau pikir dengan membayangkan kenikmatan dunia, aku akan musnah? Kau
salah! Justru karena itu aku bersemangat untuk hidup dan berjuang
mengalahkan semangatmu yang tolol itu," dengus Nova.
"Kiamat
itu terjadi setiap hari. Maka hidup atau pun mati sama saja, tak ada
awal dan tak ada akhirnya. Tapi hati nurani tak pernah ada kiamatnya.
Ia kekal. Dan sejauh ini aku baru mengerti bahwa mengidolakanmu sama
saja dengan membunuh hati nuraniku."
Sang artis sontak terkejut, menyorot tajam fans lemah di hadapannya.
"Aku
adalah maut bagi gadis yang tak punya rasa kasih sayang sepertimu! Maut
bagi gadis yang amarahnya mudah meletup-letup. Bukankah kau masih sulit
memaafkan orang lain?" ketusnya dengan pandangan tajam.
Tak
lama, Nova artis itu mulai komat-kamit membaca mantra seakan mencoba
menyihir dan menghipnosis sang fans sampai daya pikirnya tadi hilang
dalam sekejap, berganti pikiran-pikiran dingin yang sarat dan begitu
dalam. Pikiran yang akan sangat sulit untuk ditolak dan disingkirkan.
Gadis
itu perlahan mundur. Rasa takut membuat mentalnya ciut. Ia terlalu
lemah untuk mengusir artis itu jauh-jauh. Terlalu lemah untuk membuat
dirinya keluar dari ruangan itu hidup-hidup. Mantra yang diucapkan Nova
menjeratnya penuh dalam ketidakberdayaan pikiran. Pikiran sebagaimana
mantra yang diucapkan Nova, pelan-pelan membuat gadis itu menjadi
dingin dan mengerikan.
Gadis
itu pun tak kuasa lagi. Ia tak bisa lagi mempertahankan pikirannya. Ia
tak sanggup lagi berdiri tegap melawan sang artis. Ia pun keluar dari
ruangan itu tanpa daya. Ia keluar menuju sebuah kamar di mana tubuhnya
terbaring lemah dengan botol-botol infus dan mesin pengatur kestabilan
jantung yang mewah. Sejenak terdengar sayup-sayup orang
memanggil-manggil namanya, tak henti menghibanya untuk kembali.
Samar-samar ia lihat wajah sang ibu yang mendekapnya erat, meletakan
wajah di dadanya dengan leleran air mata. Sesaat kemudian terdengar
mesin pendeteksi denyut nadi berbunyi datar. Tangis pun pecah di sela
jerit pilu ibu yang memanggil anaknya. "Nova!!!"
|