Sajak-sajak Agus Kindi |
Minggu, 02 October 2011 04:21 |
Pemanggil Embun
rupanya
embun masih sudi menyuntingku pagi hari, bukan sebagai kelopak yang
baru tumbuh bukan untuk tubuh yang baru bergegas berpacu.
sebab kabut masih menyimpan baik detak waktu dan hujan sesekali datang pada tubir jendela
mungkin entah ada batasnya saat kusampaikan beningnya dengan air mata yang mengisak dalam malam suyi sendiri saat terjaga
dan kantukku jadi bunga-bunga semesta yang bernyanyi lirih dan diam jadi dengkur. harus dengan apa kupanggil embun
karena
hidup tak lagi berdaya melempar caci maki dan sakit cerita yang suram
mejelma bayang-bayang ketika langit mulai tinggi ketika nasibku diundi
kemudian haruskah kau sebut aku sebagai lelaki pemanggil embun
sebab jiwa tak lagi punya kesejukan cuaca, sebab tangis menumpahkannya sesering aku mampu
kukabarkan
pada matahari untuk segala kesakitan yang melambung jadi uap dan cerita
terbuka tirai untuk bersandiwara dalam episode kehidupan,
fana yang niscaya, aku bunga tak bernama berserah jadi sajadah di ujung doa
September 2011
Sabda Mata
mata hampa yang dulu pernah menjadi kunang kunang. mata yang menympan rusuk mimpi masa depan setelah jadi keranjang jadi bedil
mata yang kutenteng setiap malam mengucurkan kisah sunyi beterbitan
mata syahdu yang pernah menjadi kunang~kunang. mata mimpi yang menjadi bulan
mata yang menjadi ceruk sepi dalam sabda panjang tentang kisah yang putus kembli dari pengembaraan sepasang mata
menyisakan abu dari mimpimu yang terbakar
September 2011
Malam tanpa Nama
malam mengirim kereta tanpa nama
datang sebagai pencuri, menyusup dalam kemah
sementara tangan tak henti menulis memo serta tanggal
perjalanan yang berpatahan
mimpi berkejaran bagai pengantin, sepinya ombak
dalam malam tanpa nama kucantumkan pengenal
sang pemimpi yang mencari telur colombus
dalam malam tanpa nama tak ada yang kukenal
selain tubuh yang susut karena purnama
malam tak berujung menggulung, panah tanya berlonctan
sementara diri dan baying-bayang tak lagi mengenal
September 2011
Menyimpan Namamu
seperti menyimpan bara dalam batu-batu
rindu menderas dalam darah
dan dingin melarungkan tidurku
: melepas kepergian, memadamkan lampu langitku, meniadakan waktu
lorong-lorong subuhku
18 Juli 2011
Agus Kindi, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 14 Agustus 1985. Saat ini masih tercatat sebagai anggota Forum Lingkar pena (FLP) Wilayah Lampung.
---
Agus Kindi, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 14 Agustus 1985. Saat ini tercatat sebagai anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Lampung.
|