Puan Tanjung |
Sabtu, 24 September 2011 21:41 |
Cerpen Muhammad Amin
AKAN
kurampungkan kisah ini lebih cepat karena memang aku bukan Syahrazad.
Dan aku bukan pula seorang pelaut dalam dongeng pengembaraan Simbad.
Aku hanya pelaut yang mendadak kehilangan selera hidup setelah apa yang
tak pernah kuangan-angankan (pun kuingin-inginkan) datang kemudian
berlalu begitu saja.
Sore
itu, seusai mengeja kabar yang dibawa sekawanan camar dan kelepak elang
laut perut putih yang muncul dari balik cakrawala, dan setelah genap
angin barat mereda, kami pun mulai berkemas untuk kemudian bergegas.
Berjalan di atas dermaga yang sepanjang waktu termangu, naik ke geladak
dan mulai mengembangkan layar.
Jika
diriku yang dulu, sebagai pelaut sejati, tak pernah betah berlama-lama
menjejakkan kaki di daratan, kini kakiku terasa tertanam di darat.
Lekat dan berat. Karena aku telah menyemai rindu yang menanamnya di
dada seorang perempuan.
Ia
tinggal berdua dengan ibunya yang sudah renta dan kerap sakit-sakitan
di sebuah gubuk kecil dekat pantai. Ia dengan tekun mengurus orang tua
satu-satunya itu. Kudengar dari cerita tetangganya, ayahnya seorang
pelaut, sudah mati dipulun gelombang diterkam badai puluhan tahun lalu
ketika ia masih kanak.
Ketika
kami merapat, perempuan itu tiba-tiba sudah berdiri di mulut dermaga
dengan mata berbinar-bercahaya. Seolah seseorang yang telah lama
dinantinya telah tiba. Dan aku terlambat menyadari bahwa perempuan itu
sesungguhnya menanti kedatanganku. Aku tak cukup mengerti untuk
menjawab segala tanya, baik yang terlontar dari mulut kawan-kawanku
maupun yang muncul dari dalam benakku.
Tiba-tiba
saja perempuan itu menyambutku dengan penuh sukacita. Aku mulai curiga,
apakah aku pernah mengenalnya? Apakah aku seseorang dari masa lalunya
dan ia seorang dari masa laluku? Tapi tanya itu tak kunjung menemu
jawaban. Perempuan itu seolah hadir begitu saja dalam diriku. Tanpa
basa-basi. Tanpa kompromi. Dia sudah ada begitu saja.
Namun,
kemudian dengan sendirinya aku larut dalam hidupnya. Seperti ia yang
dengan sengaja melarutkan diri dalam hidupku. Tiba-tiba saja kami
seolah memiliki ikatan. Tanpa kusadari benar, tanpa terlihat. Lama-lama
aku tak lagi memasalahkannya. Barangkali aku memang seseorang dari masa
lalunya dan ia seseorang dari masa laluku. Tak perlu kuungkit dan
kupertanyakan lagi. Apalagi di hadapannya.
Menyambutku
di tubir dermaga ia mengajakku pulang ke rumahnya. Sementara
kawan-kawanku mencari penginapan. Tiba di gubuk kecil itu kembali aku
merasa gamang, tak menemukan cara harus berbuat apa dan bagaimana. Aku
tetaplah merasa sebagai pelaut yang tak sengaja menyinggahi tempat
asing ini. Di dalam gubuk kecil itu, sang ibu yang tampak layu karena
tubuh rentanya disarangi penyakit mendadak berubah wajahnya menjadi
berbinar ketika mendapati kehadiranku.
"Sudah
pulang kau rupanya, Nak. Kami di sini selalu menantimu dengan doa dan
air mata, mengharapkan keselamatanku." Aku agak tergeragap. Sebisa
mungkin kukuasai diriku. Perempuan yang menyambutku tadi melirikku. Tak
tahu harus bagaimana menjawab, aku hanya tersenyum. Mungkin saja
terlihat janggal. Tapi mereka tak sedikitpun menangkap kejanggalan pada
diriku.
Perempuan
itu sangat baik dan perhatian kepadaku. Berhari-hari kami hidup
bersama. Aku menjadi bagian darinya dan ia menjadi bagian dariku.
Segala yang kubutuhkan selalu ada dan terpenuhi. Bahkan yang kurasakan
adalah perhatian yang berlebihan terhadapku. Padahal aku kerap
berpikir: Siapakah sebenarnya aku dan apa hubunganku dengannya? Dan
semakin hari ia semakin perhatian dan melayaniku dengan amat baik.
Ketika
suatu waktu kutanyakan kepada tetangganya kenapa ia berbuat demikian
terhadapku. Mereka malah balik bertanya, sembari terheran-heran.
"Kenapa kamu bertanya demikian?" aku semakin tak mengerti.
"Bukankah kamu suaminya? Jadi wajar bila ia perhatian dan melayanimu sebagaimana mestinya."
Suami?
Mereka bilang aku suaminya? Kukira mereka pintar mengada-ada. Padahal
menikah pun aku belum pernah. Sejak umur belasan tahun aku sudah ikut
berlayar dan hingga kini belum sempat memikirkan untuk menikah. Dan
sekarang mereka bilang aku adalah seorang suami dari perempuan yang
baru pertama kali kutemukan di tempat asing ini?
Ketika
kutanyakan kepada tetangga yang lain, jawaban yang kuperoleh sama saja.
Akhirnya aku memutuskan untuk tak bertanya-tanya lagi, baik kepada
orang lain maupun diriku sendiri. Aku tak perlu mempermasalahkan lagi,
itu keputusanku. Toh apa yang kubutuhkan tak kurang satu apa pun.
Bahkan kasih sayang seorang ibu yang sedari kecil tak pernah kudapatkan
juga cinta layaknya dari seorang istri kudapatkan di sini.
Aku
membayangkan kawan-kawanku sedang sibuk mencari pelacur-pelacur murahan
di pelabuhan kecil ini. Atau masih sempat menawar-nawar. Kubayangkan
mereka sedang mabuk dan bersenang-senang di pangkuan perempuan belia di
rumah bordil yang masih sulit dicari.
***
MALAM
itu, seusai bercinta, ia menempelkan telinga di dadaku yang masih
berkeringat. Entah apa yang ia dengar di sana. Kukira hanya detak
jantung dan desah napas yang masih tak beraturan. Ia tersenyum kepadaku.
"Kenapa?" aku bertanya. Dia menggeleng manja. Tiba-tiba aku yang bertanya.
"Mencintai lelaki pelaut memiliki banyak risiko. Kenapa kamu memilih mencintai lelaki pelaut sepertiku?"
"Lelaki
pelaut seperti seekor anak penyu, sejauh mana ia berlayar akan selalu
rindu tempatnya bermuasal. Aku mencintai lelaki pelaut karena di
dadanya selalu terdengar gemuruh ombak, jerit camar, dan badai. Di
dalam dirinya tertanam kepekaan, ketegaran, dan tanggung jawab. Dari
keringat dan tubuhnya meruap aroma asin keluasan samudera. Di dalam
matanya terpijar gairah rindu yang meluap-luap. Kau tahu, yang
melingkupiku kini adalah rasa damai yang menjalar dari dadamu."
"Tidakkah kamu takut mencintai seorang lelaki pelaut?"
"Takut atas apa?"
"Jika orang yang kau cintai akan hilang selamanya?"
"Aku tidak takut," jawabnya.
Beberapa malam berikutnya, ia kembali menempelkan telinganya di dadaku yang masih berkeringat. Lalu aku berkata.
"Kami
para pelaut terkadang merasa jenuh berbulan-bulan berada di tengah
samudra tanpa ada yang menghibur. Tentu saja banyak pelabuhan-pelabuhan
yang minta disinggahi dan di sana banyak wanita-wanita cantik yang akan
menghibur melepas segala kejemuan. Selama di darat menjadi waktu yang
baik buat menyinggahi kedai tuak, warung judi, dan rumah pelacuran."
"Aku tak memasalahkan itu. Yang penting kamu selalu ingat kepadaku dan masih ingin pulang karena menyimpan rindu."
Kemudian
ia memintaku menceritakan kisah-kisah pelayaran. Dengan senang hati aku
menuruti kemauannya. Dan ia selalu menempelkan telinga di dadaku,
menagih kisah-kisah pelayaran yang akan mengantarkannya tidur dengan
sangat lelap.
***
KAMI
harus segera berlayar karena telah terlalu lama kami berada di daratan.
Kawan-kawanku sudah naik ke geladak ketika perempuan itu menyusulku ke
ujung dermaga. Ia menyerahkan serantang makanan kepadaku. Aku berharap
ia akan menangis dan memelukku erat, seolah tak ingin melepaskanku.
Tapi dugaanku salah. Ia tak melakukan itu.
"Ini untuk makan di kapal nanti, supaya selalu ada hasrat untuk kembali ke sini."
Tiba-tiba
saja dadaku telah koyak oleh cemas. Kenapa aku yang cemas? Bahkan ia
yang akan kutinggalkan terlihat lebih tegar seolah telah terbiasa oleh
kepergian seorang yang dicintai. Ah, mungkinkah aku akan singgah
kembali ke pelabuhan ini?
"Janganlah
lupa pesanku, bila rindu telah tanak di dadamu bersegeralah pulang. Aku
akan menyambutmu di sini. Dan kamu harus tahu, akhir-akhir ini aku
merasa di dalam perutku telah terisi sesuatu, mungkin umurnya baru satu
bulan. Kamu akan jadi ayah sebentar lagi."
Sungguhkah aku akan menjadi ayah? Kenapa baru sekarang ia sampaikan kabar bahagia ini di saat perpisahan sudah di ambang mata?
Lalu terdengar suara kawanku berteriak dari atas geladak memanggilku. "Sahdan! Cepatlah naik, kita harus segera berangkat!"
Ia
tak berusaha merengkuh tanganku untuk menahanku beberapa jenak. Untuk
pertama kalinya aku merasa jadi pecundang. Aku kalah oleh diriku
sendiri. Setelah itu tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulutnya.
Desau angin yang terdengar. Tak ada yang bisa kutinggalkan selain
sepotong kalimat yang akan memperteguh keyakinannya. "Aku akan kembali
sebelum kamu melahirkan." Itu saja. Tak lebih.
Setelah
itu aku meninggalkannya. Ia masih membisu menatap kepergianku dari
tubir dermaga. Aku melambai, ia tetap membeku. Rambutnya yang panjang
dan ujung kainnya dikibarkan angin laut yang berembus kencang.
Bayangannya semakin menjauh dan ia masih mematung di tubir dermaga
memandang ke kapal kami yang segera hilang dari pandangannya.
***
TELAH
kami singgahi bandar-bandar dan pelabuhan. Bersama perompak kami
melayari badai. Telah kami arungi tujuh samudera. Telah kami telusuri
tiap lekuk tanjung, ceruk teluk, semenanjung dan selat di dunia. Sekian
purnama kami berlayar, mengembara di segenap penjuru angin. Sekian kali
kami membuang sauh, menggulung layar, dan menyinggahi daratan. Sekian
waktu kami ingin melihat curam karang dan gugus bebukitan. Atau
berhari-hari menatap keluasan laut yang kosong. Namun tetap saja aku
merindui pelabuhan di sebuah tanjung yang menyimpan dirimu.
Telah
lama kami jadi tualang, seperti yang ditingkahi puyang. Dari
tiang-tiang layar yang setiap waktu mengukir angin, lambung kapal yang
dibantun ombak dan di tengah geladak senantiasa aku menulisi rindu yang
mulai berkarat. Di dalam dadaku menyimpan debur ombak. Dan aroma
tubuhmu masih tertinggal di tubuhku, tak hilang sampai berhari-hari
berminggu-minggu berbulan-bulan membuatku selalu berhasrat untuk
mengunjunginya sewaktu-waktu. Bukankah aku telah berjanji kapadamu
bahwa aku akan segera kembali sebelum bayi di rahimmu dilahirkan?
Ah,
sebentar lagi aku akan menjadi ayah. Dan seorang pelaut adalah lelaki
yang peka, bertanggung jawab, dan tegar seperti karang. Maka kutolak
mentah-mentah ajakan kawanku meneruskan kebiasaan lama kami: tenggelam
dalam lautan tuak dan perempuan.
Dan
tatkala rinduku mulai tanak, entah purnama ke berapa telah kulewati,
maka kulunasi janjiku untuk kembali ke pelabuhanmu. Bukankah benih yang
telah kubenamkan di perutmu telah matang sekarang? Kita hanya akan
menghitung minggu-demi minggu. Lalu segera kita akan menjadi sosok
sepasang orang tua.
Bukankah
kau akan selalu merindukan gemuruh di dadaku dan suatu malam akan
kautempelkan telingamu? Dan di ujung dermaga kau menungguku sembari
termangu. Dan ketika ujung layar kapal kami telah terlihat kau sudah
akan menyiapkan ritual penyambutan. Dan hatimu mulai tak sabar
menyaksikan kapal kami mulai merapat.
Namun,
di ujung dermaga itu tak kutemukan dirimu. Memang kami tiba di dermaga
saat malam mulai menua, tentu tak mungkin bagimu menantiku sampai larut
begini. Segera kutepis segala prasangka. Dan aku tak mungkin menyimpan
rasa kecewa lantaran kau tak menyambutku di mulut dermaga. Aku pun
mengerti keadaanmu yang tengah hamil tua.
Kapal
kami merapat. Kami ke penginapan terlebih dahulu. Setelah itu aku
datang ke gubukmu. Sengaja aku ingin memberi kejutan. Tak sabar aku
ingin bertemu. Namun di sana tak kutemukan siapa-siapa selain gubuk
yang kosong. Tak ada tanda-tanda kau berada di sana. Lalu aku kembali
ke penginapan dengan menanggung kecewa.
Tatkala
pagi mulai meriap, kutanyakan keberadaanmu kepada para tetangga. Mereka
menjawab dengan nada murung. Seperti juga burung-burung di pagi buta
itu berkabung. Dan setiap tetangga yang kutanyai menyampaikan jawab
yang sama:
"Ia
selalu menantimu sepanjang waktu. Ibunya telah meninggal sebulan
setelah kepergianmu, setelah itu ia sebatangkara. Ia hanya menghabiskan
waktu duduk termangu di ujung dermaga. Lalu pulang berjalan tersuruk di
malam buta. Tak pernah ada yang mengira ia terjerembab di sisi dermaga.
Pagi itu kami menemukan mayatnya mengambang di laut dengan kedua belah
tangan membekap kandungannya."®
Demi
mendengar itu, lututku lunglai. Apa yang dulu tak pernah
kuangan-angankan (pun kuingin-inginkan) datang kemudian berlalu begitu
saja. n
Kotaagung, 20 Oktober 2010
|